Di tengah berbagai macam isu yang mencuat akhir-akhir ini, tampaknya isu penting mengenai hajat hidup orang banyak yaitu isu Jaminan Hari Tua (JHT) mulai kurang diperhatikan. Padahal regulasi JHT sebagaimana diatur dalam Permenaker No. 2/2022 menuai resistensi yang cukup masif khususnya dari kalangan pekerja.
Bahkan Senin (21/2), Presiden telah memanggil Menko Perekonomian dan Menaker khusus membahas JHT. Keterangan pers yang disampaikan Mensesneg Pratiko menyatakan dalam pertemuan itu Presiden memerintahkan agar tata cara persyaratan pembayaran JHT disederhanakan. Ini menunjukkan polemik soal JHT sangat substantif dan serius, namun sampai dengan saat ini belum ada tindaklanjut atas arahan Presiden tersebut.
Polemik Dasar Hukum JHT
Akar persoalan yang menjadi polemik adalah ketentuan mengenai pemberian JHT yang baru bisa dicairkan setelah pekerja mencapai usia 56 tahun. Jika merujuk kepada UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebenarnya tidak ditemukan adanya klausul mengenai masa atau waktu spesifik pencairan JHT. UU SJSN hanya mengatur tiga kondisi pemberian JHT yaitu memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia [Pasal 35 ayat (2)].
Ketentuan pencairan JHT setelah mencapai usia 56 tahun baru diatur dalam PP No. 46/2015 khususnya Pasal 22 ayat (1). Bahkan hal tersebut juga berlaku bagi pekerja yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun [Pasal 26 ayat (3)]. Di sinilah titik krusial yang mendapat resistensi cukup keras, karena aturan tersebut dianggap tidak memberikan safety net atau unemployment benefit bagi pekerja yang di-PHK atau mengundurkan diri.
Namun demikian aturan tersebut tidak berumur panjang. Setelah mendapat penolakan yang begitu masif, bahkan pada saat itu tercatat 105.000 orang menandatangani petisi online untuk mencabut aturan tersebut, Pemerintah segera merespon dengan melakukan revisi.
Revisi yang dituangkan dalam PP No. 60/2015 akhirnya menghapus norma yang tertuang dalam Pasal 26 ayat (3). Konsideran menimbang PP tersebut menegaskan "bahwa dengan mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan nasional dan aspirasi yang berkembang di masyarakat perlu diatur mengenai perubahan pemberian manfaat jaminan hari tua bagi Peserta yang berhenti bekerja."
Dua hal yang perlu digarisbawahi dari konsideran PP tersebut yaitu; pertama, latar belakang lahirnya PP didasarkan pada aspek sosiologis, kebutuhan hukum, dan aspirasi masyarakat. Kedua, substansi yang ingin diatur dalam PP adalah pekerja yang berhenti bekerja diperlakukan sama dengan pensiun dalam konteks pencairan JHT.
Berangkat dari latar belakang dan substansi tersebut, PP No. 60/2015 menegaskan dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) huruf a bahwa yang dimaksud dengan "mencapai usia pensiun" termasuk Peserta yang berhenti bekerja. Artinya pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri harus diperlakukan sama dengan pensiun, sehingga tidak perlu menunggu sampai usia 56 tahun untuk pencairan JHT.
Penegasan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Permenaker No. 19/2015. Dalam beleid tersebut, ditentukan pencairan JHT bagi pekerja dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah masa tunggu 1 (satu) bulan sejak tanggal PHK atau pengunduran diri. Konstruksi regulasi yang demikian sebenarnya telah sesuai dengan hierarki norma hukum.
Muncul masalah justru ketika Permenaker No. 2/2022 diterbitkan, karena mengatur pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri belum bisa mencairkan JHT sampai mencapai usai 56 tahun. Aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan PP No. 60/2015, bahkan Permenaker tersebut telah menegasikan eksistensi PP No. 60/2015. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, satu-satunya substansi dari PP tersebut adalah mengamanatkan agar peserta yang berhenti bekerja diperlakukan sama dengan pensiun dalam konteks pencairan JHT, substansi yang amat sangat penting ini justru disimpangi oleh Permenaker.
Apabila menggunakan pendekatan penafsiran sistematis dan gramatikal, UU SJSN sendiri tidak menghendaki adanya aturan yang saklek mengenai masa atau waktu pencairan JHT. UU SJSN memberikan fleksibiltas soal itu, contohnya dalam Pasal 37 ayat (2) diatur pembayaran JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun. Dengan demikian, adalah keliru jika dikatakan Permenaker No. 2/2022 ini bertujuan meluruskan regulasi sebelumnya agar sesuai dengan UU SJSN.
Mengembalikan Peran Negara
Dalam berbagai kesempatan, Kemenaker menyampaikan alasan terbitnya Permenaker No. 2/2022 adalah untuk mengembalikan ke filosofi awal JHT yaitu sebagai safety net untuk hari tua, saat usia pekerja sudah tidak lagi produktif. Namun pertanyaannya, bukankah seharusnya filosofi itu diletakkan dalam kerangka falsafah dasar bernegara yaitu Pancasila? Sila kedua dan kelima sudah sangat tegas mengamanatkan pentingnya keadilan.
Dalam batang tubuh UUD 1945 diperjelas lagi bahwa negara berkewajiban untuk menghadirkan keadilan dalam hubungan industrial. Faktanya sebagian besar masyarakat khususnya golongan pekerja merasa kebijakan tersebut tidak adil. Lantas masih adakah pijakan filosofis yang bisa menjustifikasi lahirnya Permenaker No. 2/2022 ini?
Dalam hubungan industrial, di mana ada unsur pengusaha dan pekerja, Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya telah menegaskan posisi negara harus lebih memihak kepada pekerja. Itulah wujud tindakan afirmasi yang diamanatkan konstitusi. Rasionalisanya karena pekerja secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan pengusaha.
Alasan mengapa peran negara begitu besar dalam mewujudkan keadilan di bidang ketenagakerjaan, karena persoalan ketenagakerjaan dan hubungan industrial tidak hanya memiliki dimensi kepentingan publik, tetapi juga kepentingan negara sebab menyangkut kepentingan yang lebih luas. Hal ini pernah dinyatakan secara spesifik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-X/2012.
Dalam konteks itu, munculnya Permenaker No. 2/2022 ini tentu menjadi sebuah paradoks. Di tengah besarnya harapan agar Negara berperan sebagai pelindung hak-hak pekerja, justru Negara terkesan menghambat hak-hak pekerja khususnya bagi pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri.
Terakhir, kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang disebut-sebut sebagai buffer dari Permenaker ini juga masih simpang siur dan menuai pro-kontra. Terlebih lagi Presiden sudah menginstruksikan agar regulasi pencairan JHT lebih disederhanakan. Ditambah situasi krisis akibat pandemic Covid-19 yang semakin mempersulit kondisi pekerja. Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengembalikan peran negara sebagai the guardian of labour rights. Ibu Menaker seharusnya legowo menerima kenyataan itu dan berbesar hati mencabut Permenaker No. 2/2022.
M. Imam Nasef, S.H, M.H dosen Hukum Tata Negara FH Usakti, peneliti SIGMA
Simak Video 'Menaker: Dapat Klaim JHT Sebelum Usia Pensiun-Permenaker Lama Masih Berlaku':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini