Menatap Pemilu 2024 Pasca Seleksi Anggota KPU-Bawaslu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menatap Pemilu 2024 Pasca Seleksi Anggota KPU-Bawaslu

Senin, 14 Mar 2022 10:30 WIB
Kahfi Adlan Hafiz
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Anggota KPU dan Bawaslu masa jabatan 2022-2027 disahkan DPR
Anggota KPU dan Bawaslu masa jabatan 2022-2027 disahkan DPR (dok.Istimewa)
Jakarta -
DPR resmi menetapkan tujuh Anggota KPU dan lima Anggota Bawaslu terpilih untuk Periode 2022-2027 melalui Rapat Paripurna pada, (18/2). Keputusan tersebut sekaligus mengakhiri proses seleksi Anggota KPU-Bawaslu yang telah dimulai 2021 lalu.

Proses seleksi telah menghasilkan tujuh nama anggota KPU terpilih yakni Betty E. Idroos, Hasyim Asyari, M. Afifudin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Kholik, dan August Mellaz. Sementara lima anggota Bawaslu terpilih yakni Lolly Suhenti, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Haryono, dan Herwyn J.H. Malonda.

Namun beragam isu tak sedap mewarnai proses seleksi, mulai dari tahapan di Tim Seleksi hingga fit and proper test di DPR. Secara garis besar, isu-isu yang disoroti publik berkaitan dengan transparansi seleksi, keterwakilan perempuan, hingga menguatnya intervensi politik. Timsel dan DPR juga dianggap mengabaikan ketiga isu tersebut.

Padahal, menurut UU 7/2017 tentang Pemilu, diatur beberapa aspek yang mendorong transparansi dan keterlibatan publik. UU Pemilu mewajibkan Timsel dan DPR melaksanakan tugasnya secara transparan dan melibatkan partisipasi publik dalam proses seleksi. Sementara itu, UU pemilu juga mewajibkan 30% keterwakilan perempuan dalam keanggotaan KPU-Bawaslu. Keduanya menjadi faktor penting dalam menutup ruang intervensi politik praktis.

Tergadainya Integritas Seleksi

Proses yang tidak transparan mulai dari Timsel hingga DPR sudah cukup membuat masyarakat sipil ragu. Hal ini dimulai ketika Timsel tidak membuka hasil Computerized Assisted Test para kandidat. Padahal, tes yang menilai pengetahuan kepemiluan dan kemampuan manajerial kandidat tersebut dapat membantu publik menilai kompetensi kandidat.

Hal ini ditambah kejanggalan saat Presiden membentuk keanggotaan Timsel. Pertama, Presiden tidak mengindahkan rambu-rambu pembentukan Timsel di UU Pemilu, sehingga komposisi Timsel dari unsur pemerintah melebihi ketentuan. Kedua, Presiden juga langsung menunjuk mantan tim kampanyenya menjadi Ketua Timsel, sehingga semakin menurunkan kepercayaan publik.

Tak berhenti di sana, proses seleksi di DPR juga tidak kalah kontroversial. Kejanggalan pertama dimulai ketika beredarnya pesan berantai yang berisikan nama calon anggota KPU-Bawaslu terpilih. Walaupun dinyatakan hoaks oleh DPR, kenyataannya nama-nama tersebutlah yang akhirnya terpilih. Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa sudah ada kesepakatan politik di belakang sebelum fit and proper test. Padahal UU Pemilu menentukan, calon anggota terpilih muncul setelah melalui uji kelayakan, bukan sebelumnya. Proses pemilihan tentu melalui kesepakatan politis, namun tidak boleh mendahului ketentuan UU Pemilu.

Selain itu, walaupun proses uji kelayakan dapat diakses publik, indikator penilaian yang menentukan peringkat hasil uji kelayakan juga tidak dijelaskan. Pemilihan anggota KPU-Bawaslu juga diwarnai isu preferensi politik berdasarkan kesamaan organisasi, yang terlihat dari latar belakang beberapa anggota terpilih. Hal ini semakin menguatkan dugaan 'deal-deal-an' politik di belakang.

Ketentuan minimum 30% keterwakilan perempuan juga diterabas. Hal ini terlihat dari komposisi anggota KPU-Bawaslu terpilih yang hanya memiliki masing-masing satu calon anggota perempuan. Isu-isu tersebut tentu berpotensi melemahkan kelembagaan pemilu dan mengurangi imparsialitas lembaga, serta kepercayaan publik pada penyelenggaraan Pemilu 2024.

Menjaga Integritas Seleksi dan Kepercayaan Publik

KPU dan Bawaslu merupakan lembaga negara independen (Tauda, 2012), yang dibentuk berangkat dari rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga trias politica yang ada. Artinya, selain berdiri secara imparsial, lembaga ini juga memiliki karakteristik khusus, seperti bersifat independen, baik secara struktural, fungsional, dan administratif (Asshiddiqie, 2008).

Hal ini berimplikasi pada pola pengisian jabatannya yang khusus (Funk & Seamon, 2001). Dalam konteks KPU dan Bawaslu, secara umum proses seleksi melibatkan Presiden dan DPR. Namun untuk menjaga KPU dan Bawaslu dari intervensi politik, UU Pemilu menghadirkan Tim Seleksi yang terdiri dari beberapa unsur, sehingga muncul check and balances yang baik.

Secara institusional, mekanisme pengisian jabatan anggota KPU-Bawaslu menjadi sebuah terobosan untuk melepaskan jerat kepentingan politik. Namun, peluang bagi intervensi kepentingan politik tetap terbuka, apalagi ketika intervensi dimulai sejak pembentukan Timsel. Hal ini akan membuat integritas seleksi akan tergadai. Oleh karenanya, transparansi jalannya proses menjadi harga mati yang tak bisa ditawar. Transparansi bukan hanya soal membuka akses publik sekedar menjadi penonton, namun juga melibatkan publik. Hal ini berfungsi untuk menjamin hasil seleksi yang akuntabel dan membangun kepercayaan publik.

Menatap Pemilu 2024

Pemilu 2024 mendatang bisa jadi lebih rumit dari Pemilu 2019. Sebab, selain Pilpres dan Pileg yang serentak, beberapa bulan setelahnya akan diselenggarakan Pilkada serentak nasional sehingga akan ada tahapan-tahapan yang berbentrokan. Fakta ini membuktikan bahwa KPU-Bawaslu membutuhkan pimpinan yang kompeten.

Akan ada tiga tantangan yang potensial dihadapi oleh KPU-Bawaslu. Pertama, manajerial pemilu yang sangat sulit. Sama seperti 2019, Pemilu 2024 akan menggunakan varian lima kotak dalam satu hari. Ini membuat Pemilu Indonesia mendapat label "The most complicated one day election" dari berbagai media.

Kerumitan pemillu lima kotak akan dimulai dari distribusi logistik pemilu. Tak berhenti disitu, logistik pemilu juga perlu penjagaan agar kecurangan dapat terhindar. Selanjutnya pekerjaan teknis lainnya seperti koordinasi antar petugas ad hoc, mengelola logistik di TPS, penghitungan suara, hingga rekapitulasi di tingkat kecamatan.

Kedua, tingginya potensi pelanggaran. Belajar dari Pemilu 2019, rumitnya manajemen pemilu membuka peluang pelanggaran semakin tinggi. Akan banyak tahapan yang luput dari pengawasan karena bobot besar pemilu. Turunnya kepercayaan publik akan melemahkan legitimasi pemilu.

Ketiga, polarisasi masyarakat. Ketentuan Presidential Threshold 20% yang tidak berubah akan menghadirkan calon presiden terbatas. Kondisi ini sangat mudah memicu polarisasi di masyarakat. Polarisasi yang belum selesai, akan terdistribusi ke daerah beberapa bulan setelahnya saat Pilkada Serentak Nasional 2024 berlangsung.

Fakta di atas menunjukkan kepercayaan publik wajib diemban pimpinan KPU-Bawaslu. Namun proses seleksi yang tidak transparan dan diwarnai kuatnya intervensi politik, tentu mempengaruhi kepercayaan publik secara signifikan. Karenanya, KPU-Bawaslu harus bekerja lebih keras untuk memastikan integritas pemilu bisa terjaga dengan baik dan melepaskan segala bentuk intervensi, agar kepercayaan publik dapat terjaga.

Kahfi Adlan Hafiz peneliti Perludem
Simak Video 'PKB Harap Big Data Luhut Yakinkan Publik Pentingnya Tunda Pemilu':
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads