Saya tahu dan kenal dengan seorang ibu yang punya tujuh anak. Enam anak perempuan dan satu laki-laki. Anak tertua berusia hampir 36 tahun dan anak bungsu 19 tahun. Dalam rentang sejarah hidupnya, si ibu beberapa kali mengalami perceraian. Dengan suami pertama, ia beroleh tiga anak. Tapi tak lama kemudian bercerai.
Perkaranya, si suami tak pernah benar-benar bekerja. Ia berlaku seperti benalu yang berlindung di balik istrinya. Ia sibuk berjudi dan menanam benih ke perempuan lain.
"Hati-hati berkenalan dengan laki-laki yang mengaku dari kampung bapakmu. Bisa saja dia anak bapakmu," ujar si ibu pada anak tertuanya suatu kali. Si ibu dan suami pertamanya memang berasal dari satu kampung.
Si ibu kemudian menikah lagi dengan laki-laki lain. Mereka bertemu di tempat kerja. Sama-sama bekerja sebagai wartawan. Si ibu bagian koran cetak dan si laki-laki di radio. Selain itu, si laki-laki begitu tergila-gila dengan puisi. Ia suka mendeklamasikan dan menulis baris-baris puisi untuk perempuan-perempuan yang menarik hatinya. Mereka menikah. Anak pertama dari suami kedua ini lahir perempuan. Tiga tahun kemudian lahir anak kedua, perempuan juga.
Sejak kelahiran anak kedua, tanda-tanda bahwa si laki-laki penyuka puisi menggoda perempuan lain sudah terlihat. Ia jadi mudah curiga dan senang mengumpet untuk mengirim puisi-puisi cinta kepada perempuan yang ia taksir. Tak hanya itu, ia juga sering menelepon perempuan yang ia taksir, diam-diam tentunya.
Si ibu tentu saja akhirnya tahu, dan mereka mulai ribut. Selain tuntutan hidup yang semakin tinggi untuk menghidupi anak-anak mereka, si ibu bahkan harus memikirkan biaya hidup anak-anak dari suami pertamanya. Sedangkan si suami kedua mulai ogah-ogahan kerja. Si laki-laki bahkan jarang pulang.
Suatu hari, si laki-laki penyuka puisi mengetuk pintu rumah setelah berbulan-bulan tak pulang. Anak perempuan keduanya begitu mendengar siapa yang mengetuk pintu rumah mereka berlari menyongsong kakak perempuannya. Si kakak memintanya untuk membukakan pintu, "Bukalah. Itu kan papa," kata si kakak. Ia membuka pintu depan, dan kembali berlari ketika laki-laki itu menyapanya.
Tujuh tahun dari kelahiran anak kedua, lahir anak ketiga, perempuan. Dan dua tahun setelahnya kembali lahir anak perempuan, si bungsu. Banyak mulut yang harus diberi makan otomatis harus membuat mereka kerja keras. Masalah datang ketika si laki-laki lepas tangan untuk menangani itu semua. Ia enggan bertanggung jawab, malas disuruh ini-itu di tempat kerja. Sedangkan si ibu, bertungkus lumus agar anak-anaknya bisa hidup.
Pada akhirnya, si suami benar-benar meninggalkan istrinya dan anak-anak mereka, hidup sendiri seperti pertapa. Sedangkan si ibu yang menyayangi anak-anak mereka harus bekerja untuk terus melanjutkan hidup menghidupi dirinya dan anak-anak dengan luar biasa. Tapi tak selalu semuanya berjalan mulus.
Si ibu, dengan segala kekuatan yang ia punya, bukanlah makhluk sempurna. Ia begitu tegas, keras dalam mendidik dan tak bisa dikritik. Segala apa yang ia lakukan untuk anak-anaknya menurutnya adalah yang terbaik, meskipun tak setiap anak-anak siap menerima. Melihat situasi seperti itu, dengan mudah si ibu bisa disalahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sudah tahu gagal, kenapa menikah lagi?"
"Kenapa tidak belajar dari pengalaman pertama?"
"Kok kerja sendiri, bapaknya anak-anak kemana?"
"Nikahlah lagi untuk membantu biaya anak-anak."
Kalimat-kalimat seperti itu akan gampang kita dengar keluar dari dunia dengan cara pandang laki-laki di mana perempuan gampang disalahkan untuk segala hal.
Apakah hanya dengan memiliki satu anak saja, si ibu akan terbebas dari persoalan yang terjadi padanya itu? Siapa yang menjamin bahwa hal itu tak akan terjadi pada seorang ibu yang hanya mengurus satu anak saja di dalam keluarganya? Atau bahkan yang tak memiliki anak.
Belum lama ini saya membaca sebuah novel menarik berjudul Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma yang terbit akhir tahun lalu. Novel itu menceritakan kisah sepasang suami istri Amara dan Baron.
Pengalaman perempuan tidak mengenakkan jauh lebih banyak terjadi di hidup ini. Dan, Lebih Senyap dari Bisikan salah satu yang merekam itu dengan sangat baik dan padat dalam novel pendek kurang dari 200 halaman.
Amara dan Baron sudah menikah delapan tahun, namun belum memiliki anak. Mereka senang-senang saja sebetulnya, menikmati hidup berdua bahkan di satu titik mereka bersyukur karena tak harus berurusan dengan bayi-bayi rewel seperti kebanyakan teman-teman mereka yang punya bayi.
Cerita bergulir dengan sudut pandang Amara sebagai aku pencerita sehingga membuat narasinya begitu dekat dan akrab seperti mendengar seorang teman membuka sebuah rahasia yang selama ini ia pendam. Meskipun kita bisa sadar kalau itu bukan rahasia. Hidup di dunia yang selalu menempatkan sudut pandang laki-laki memang membuat cerita-cerita Amara seperti sebuah rahasia.
"Amara sudah isi belum nih?" sambil memegang perutku. Namun tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, "Baron sudah berhasil menghamili belum nih?"
Masalah justru datang dari orang-orang sekitar (ya dari mana lagi?) yang selalu mengatakan: kenapa belum hamil, sudah coba program ini, sudah coba obat itu, dan lain-lain. Seolah belum hamil membuat seorang belum "utuh" sebagai perempuan. Amara bahkan harus berurusan dengan Baron yang pada satu titik tak bisa diandalkan, lenyap menghilang begitu saja ketika masalah menimpa mereka yang sebenarnya karena ulah Baron sendiri.
Diharuskan bertanggung jawab atas setiap aktivitas domestik rumah tangga membuat Amara bingung. Sampai kita tiba di adegan horor ketika Amara membekap bayi mungil bernama Yuki dengan bantal, saya bergumam dan mengingatkan diri sendiri bahwa realitas jauh lebih kejam daripada fiksi. Tapi, tetap saja kengeriannya tak bisa hilang.
Lebih Senyap dari Bisikan mengajak kita melihat lebih dekat refleksi perempuan. Menukik ke dalam jeroan batin Amara sebagai istri, ibu, anak, dan sebagai perempuan di dunia yang penuh dengan cara pandang laki-laki adalah segalanya.
Apa yang terjadi kepada Amara itu saya tangkap adalah sebuah dunia riuh dalam kesenyapan perempuan. Seperti si ibu yang saya kenal dan tahu yang harus bekerja dengan sehormat-hormatnya untuk menghidupi anak-anaknya seorang diri, Amara juga akhirnya menyingkirkan beberapa pikiran-pikiran kotor yang menggelayut di kepalanya dan akhirnya memilih untuk merawat Yuki sembari ia merawat dirinya sendiri. Ia kembali ke rumah ibunya dengan perasaan penuh gejolak. Siapa lagi yang mengerti anak perempuan selain ibunya sendiri?
Menatap Yuki yang masih memandangku lekat-lekat dengan kedua matanya yang bercahaya. Kuraih tangannya dan kukecup lembut jari-jarinya. "Ya, kami baik-baik saja."
Oh ya, untuk cerita si ibu yang saya ceritakan di awal tulisan, saya dengar langsung dari anak kedua dari suami kedua si ibu, yang tak lain adalah pasangan saya.
Wahid Irawan penulis, tinggal di Pekanbaru
(mmu/mmu)