Pandemi Covid-19 yang belum juga ketahuan kapan akan berakhir telah menyebabkan angka kemiskinan di kalangan penduduk meningkat. Bukan saja karena banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan jadi pengangguran lantaran tempat kerja mengurangi karyawan akibat pemasukan yang berkekurangan, tetapi juga bagi para pengusaha kecil yang ditinggal pembeli akibat penghematan pengeluaran keluarga. Semua itu menerpa kaum kelas bawah yang sebagian hanya hidup dengan sekadar berkecukupan untuk makan sehari-hari.
Belum lagi bisnis di bidang kesehatan yang amat menyulitkan. Pada awal pandemi, biaya untuk PCR bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah. Mendadak saat ini bisa hanya sekitar 200 ribu rupiah saja. Padahal yang digunakan adalah ramuan dan alat yang sama. Memang pengusaha tidak berpikir tentang kesehatan atau kemiskinan, keuntungan menjadi tujuan utama. Lebih menyulitkan kalau ada keterlibatan pejabat yang laporan kekayaannya, dari LHKPN, semakin meningkat di kala pandemi.
Berhubungan dengan obat dan kesehatan, perlu dicermati mengenai obat-obat yang ditujukan untuk penyakit-penyakit yang banyak menimbulkan kematian, seperti jantung, stroke, diabetes, dan semacamnya. Penyakit-penyakit ini tidak memilih penderita apa dari kelompok keluarga kaya atau miskin karena berhubungan dengan nutrisi dan gaya hidup. Penyakit-penyakit yang biaya obat dan pengobatannya mungkin tidak akan terjangkau oleh kelompok bawah dan kaum papa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah perlu membuat kebijakan tertentu bagi harga obat-obatan yang sering disebut sebagai life-saving drugs, obat-obat yang mungkin bisa menyelamatkan hidup penderitanya. Pada beberapa negara, obat-obat semacam ini mendapatkan subsidi dari pemerintah sehingga terbeli bagi penderita dari kelompok bawah yang miskin.
Pada beberapa negara, India misalnya, life-saving drugs semacam ini mendapat subsidi yang besar dari pemerintah. Tujuannya agar semua lapisan masyarakat mendapat equal access yang menjadi tujuan utama dalam analisis ekonomi. Equal access itu akan menghilangkan ketimpangan dalam masyarakat sehingga pelayanan kesehatan bisa dinikmati dengan adil oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selain aspek kesehatan, masalah dalam aspek pendidikan adalah persoalan penerbitan buku. Membaca buku merupakan fondasi utama yang menopang kualitas pendidikan suatu negara. Oleh karenanya penerbitan buku pelajaran di India misalnya juga mendapat subsidi besar dari pemerintah, sehingga setiap anggota masyarakat yang berminat dapat membeli buku dengan harga yang murah dan terjangkau. Tidak heran kalau banyak pemikir-pemikir dunia berasal dari India. Bahkan pemimpin perusahaan swasta yang besar juga banyak yang berasal dari India.
Negara lain yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsa adalah Filipina. Negara ini meminta ijin cetak buku-buku teks asing yang dipakai di perguruan tinggi dengan kemampuan mereka. Kualitas kertas dan cetakan ditentukan oleh pemerintah Filipina sendiri. Sehingga buku-buku asing yang menjadi bacaan wajib itu bisa dimiliki mahasiswa. Sudah barang tentu kualitas kertas dan desain buku itu tidak memungkinkan buku-buku teks cetakan Filipina tersebut dipajang di rak sebagai kebanggaan, karena kualitasnya tidak bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Indonesia saat ini sudah punya kartu semacam "kartu pintar" dan "kartu sehat", tetapi belum tergerak untuk memberikan subsidi untuk obat-obat "saving-life" dan juga untuk membuat harga buku wajib, khususnya bagi dunia pendidikan tinggi, serendah mungkin. Sehingga mampu menyehatkan dan mencerdaskan seluruh lapisan masyarakat terutama kaum miskin di tingkat bawah. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia agaknya hanya sampai di tingkat slogan saja. Tindakan nyata diperlukan apabila tujuan ini bisa menjadi legacy bagi pemerintahan yang berkuasa saat ini.
H. Prijono Tjiptoherijanto Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Senior Fellow pada CSEAS Indonesia, Ketua Majelis Pakar PPP
(mmu/mmu)