Muslihat Kelangkaan Infrastruktur Siaran Digital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Muslihat Kelangkaan Infrastruktur Siaran Digital

Jumat, 11 Mar 2022 11:15 WIB
Fathorrahman Hasbul
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Set Top Box, perangkat bantuan TV analog untuk menangkap siaran TV digital.
Set top box tivi digital (Foto: Trans7)
Jakarta -

Alih bentuk televisi dari analog ke digital untuk kesekian kalinya terus menuai aral. Kebijakan ini sejak awal memang sudah cukup meresahkan publik. Transformasi tak semulus iktikad dan intensi pemerintah. Dalam tataran praksisnya, kebijakan ini seperti formula centang perenang yang silang selimpat. Setelah soal ritme regulasi, mode teknologi, beban biaya, dan nasib konten, persoalan mutakhir tersangkut perihal kelangkaan cip set top box (STB) dinilai menjadi salah satu tantangan dalam pemadaman siaran analog (analog switch off/ASO) tahap I pada April 2022.

Sejumlah warga miskin di 56 kabupaten/kota yang akan dialihkan terancam tidak dapat menonton siaran digital jika tidak mengantongi STB sebagai alat penerima siaran. Pada saat yang bersamaan, beberapa kelompok masyarakat yang dinilai mampu membeli secara mandiri, nyaris tebal telinga, tidak peduli atas transformasi yang terkesan 'dipaksakan' ini.

Kelangkaan STB dipicu oleh krisis cip semikonduktor untuk STB yang akan memicu perkiraan ledakan naiknya harga STB. Di tengah situasi ini, lembaga penyiaran dan vendor juga belum memiliki kesepakatan harga untuk STB yang akan didistribusikan. Sederet problem digitalisasi telah memicu praduga publik terkait intensitas pemerintah dalam merealisasikan transformasi digital secara cermat dan terukur. Sebab untuk mendapatkan STB di tengah kelangkaan cip, penjual STB harus memesan 3 bulan lebih awal, dan penyelenggara multiplexing sekurang-kurangnya memprakarsai pengadaan sejak Januari 2022. Tetapi kini semuanya tidak tersedia. Pemerintah (Kemenkominfo) seperti berat otak untuk memaklumatkan agenda ambisius mereka sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menangguhkan Inovasi

Problem atas kebijakan ini menjadi noktah hitam dalam transformasi siaran digital. STB penting sebagai sebuah decoder yang secara teoritis akan menjadi atribut dalam skala ukuran pemirsa siaran yang sebenarnya. Secara simultan, sebenarnya industri televisi jika sukses menggunakan platform digital, maka sudah tidak memerlukan lembaga panel tradisional seperti rating Nielsen. STB akan memotret keseluruhan populasi pemirsa televisi. Populasi ini bisa berkelindan dalam tiga kepentingan yang meliputi pemirsa yang diprediksi, pemirsa yang diukur, dan pemirsa yang sebenarnya (Evens, 2014).

Kelangkaan STB di titik ini justru berseberangan dengan daya cepat kinerja teknologi itu sendiri. Unjuk kerja teknis pemerintah sendat, sementara ikhtisar perihal politik kebijakan tersebut sejak awal nyaris terlalu cergas sehingga menutup mata atas pertimbangan publik secara luas. Kecepatan dalam memperoleh STB idealnya mampu mempercepat penetrasi layanan digital secara keseluruhan sehingga akan berdampak pada upaya menggeser pendekatan panel tradisional yang masih melihat pemirsa televisi berdasarkan sampel yang konstan dan itu-itu saja.

ADVERTISEMENT

Secara ekosistem, kelangkaan ini belum menjadi tanda percepatan inovasi dalam agresi digital, tetapi justru menjadi sanggahan paling ketara perihal terbatasnya sumberdaya dan kuatnya tensi politik dalam lintas pemilik kepentingan. Replika paling sederhananya, jika transformasi digital idealnya menghadirkan peran-peran baru dalam pengelola bisnis, tetapi justru ada potensi ke arah monopoli. Tranformasi alih teknologi tetap stagnan dalam pasar kepemilikan, diversitas masalahnya tetapi homogenitas pemiliknya.

Itulah mengapa lambannya STB justru mengkonfirmasi betapa aroma ekonomi politik dalam kebijakan ini begitu anyir. Ketidakpastian soal STB sesungguhnya wilayah sederhana yang menandai betapa alih teknologi digital dapat memicu konfrontasi dalam arus besar para pemangku kepentingan yang kemudian menangguhkan inovasi daripada merangsangnya menjadi evolusi digital baru di Indonesia.

Hanya Soal Iklan

Tafsir tentang digitalisasi merupakan energi tentang advertensi, atau semacam wajah natural dunia bisnis periklanan. Dalih tentang kejernihan warna dalam sudut pandang pemerintah sesungguhnya merupakan kilah untuk menegosiasi ulang tentang kemungkinan ruang iklan baru, bisnis baru, profit baru.

Secara garis haluan, dibandingkan dengan media massa yang lain, dunia penyiaran jauh memiliki posisi tawar yang lebih profitable tetapi sekaligus rapuh karena ketergantungannya yang eksesif terhadap iklan sebagai pangkal pendapatan. Lapisan ponoton yang konkret, mendetail, dan "real-time' melalui STB dalam akan menjadi pelerai bagi sentral ekonomi industri penyiaran. Sehingga praktik ini kemudian mengukuhkan penyiaran sebagai salah satu lapak periklanan raksasa di dunia (Napoli, 2013).

Ekosistem penyiaran digital yang salah satunya adalah soal bisnis iklan dalam skala luas, berpotensi menciptakan dominasi para mandor-mandor iklan yang akan berinvestasi untuk mengoptimalkan data pelanggan. Sebab STB memfasilitasi kajian yang lebih baik tentang pemirsa, pola pembelian, dan segmen pelanggan. Keuntungan inilah yang akan menjadi sumber 'keberkahan' bagi penyedia televisi digital yang akan berperan sebagai perantara data untuk memonetisasi kepentingan para pengiklan. Jika hanya dua kutub ini yang bermain, maka cukup berbahaya sebab publik tidak memiliki media untuk mengakses terkait ekonomi politik di dalamnya.

Berbeda di negeri-negara Eropa seperti Belgia yang memiliki Information on the Media (CIM), yang merupakan bagian dari Joint Industry Committee (JIC). CIM menjadi pusat informasi yang akurat, andal, yang menawarkan tidak saja mata uang tunggal tetapi juga proyeksi harga tunggal ke pasar pengiklan. Bahkan CIM konsekuen atas studi media resmi termasuk televisi digital dan media cetak sehingga kemudian menjadi pijakan atas perancangan media dan investasi di Belgia. Di Indonesia, instrumen ini tidak tersedia, sehingga isu-isu alih teknologi selalu berpotensi menjadi alat mainan para belantik di kolong-kolong bisnis industri penyiaran digital secara senyap.

Transformasi siaran digital yang merupakan hilir dari internet broadband sebagai adimarga teknologi informasi, tampaknya seringkali tidak terbukti dieksplorasi dengan baik. Jika bab STB saja tidak mulus karena terbatas SDM, lambannya kinerja, bahkan daya tarik kepentingan yang bertentangan dari para pemangku kebijakan baik Kemenkominfo, perusahaan iklan, perusahaan telekomunikasi, lembaga penyiaran, dan KPI, maka sistem ini hanya akan menjadi perjamuan glamor para segelintir pihak. Menyedihkan.

Fathorrahman Hasbul alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM, Direktur Riset di Institute for Political Communication and Media Studies (ICOMS), Jakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads