Kolom

Menghadirkan Pemimpin Untuk Indonesia

Tony Rosyid - detikNews
Kamis, 10 Mar 2022 09:43 WIB
Foto: Ilustrasi pemilu (dok. detikcom).
Jakarta -

Setiap lima tahun sekali Indonesia menghadirkan seorang pemimpin bangsa. Pemilu menjadi sarana yang dikonstitusionalisasi untuk memilih pemimpin. Pemimpin yang lama (incumbent) bisa dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Setiap anak bangsa berhak dipilih untuk dua periode.

Indonesia telah memilih tujuh pemimpin negara. Soekarno, Soeharto, Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo. Dengan proses dan dinamikanya masing-masing, mereka telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin Indonesia.

22 tahun Soekarno, 32 tahun Soeharto, setahun Habibi, 3 tahun Gus Dur, 2 tahun Megawati, 10 tahun SBY dan 8 tahun Joko Widodo telah memimpin Indonesia.

Indonesia hari ini, itulah hasil 7 Presiden memimpin 77 tahun negeri ini, dengan semua kontribusi, kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Semua pemimpin bisa dievaluasi dari aspek-aspek terkait pembangun Indonesia. Mulai dari pembangunan karakter hingga pembangunan fisik. Yang mesti diberi perhatian dan menjadi prioritas itu lima aspek. Pertama, aspek penegakan hukum. Kedua, aspek pendidikan. Ketiga, aspek keadilan ekonomi. Keempat, aspek demokrasi. Kelima, aspek pembangunan infrastruktur. Jika ingin ditambah yang keenam, itu aspek pertahanan. Ini kaitannya dengan kedaulatan negara di hadapan dunia internasional.

Kelima atau enam aspek ini, jika diurus dengan baik, Indonesia akan menjadi negara yang aman dan nyaman, teratur, sejahtera dan maju.

Jika ada kepastian hukum, dimana setiap orang diperlakukan secara sama, maka negara akan aman, damai dan nyaman. Kriminalitas dan korupsi bisa ditekan. Kaum elit dan orang kuat tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Setiap warga negara, kaum atas atau kaum bawah, terlindungi haknya.

Harapan ini kehilangan optimisme ketika para pemimpin seringkali menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) melalui jalur hukum untuk menghabisi lawan politik dan menyingkirkan mereka yang mengkritisinya. Inilah faktor dominan kenapa hukum lambat laun kehilangan fungsi kepastian dan keadilannya.

Aspek pendidikan tidak mendapatkan perhatian sebesar aspek lainnya. Kuliah super mahal karena kecilnya subsidi. Anggaran riset jauh dari memadai, tunjangan dosen dan guru besar/profesor jauh di bawah jabatan dan profesi lainnya. Tak ada negara maju tanpa berbasis pada kemajuan sain dan teknologi. Dan ini semua bersumber dari pendidikan dan riset.

Berdasarkan laporan U.S News adn World Report, Tahun 2021 Indonesia berada pada rangking 55 dari 73 negara Asia. Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Aspek ekonomi lebih memprihatinkan. Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 1 persen orang kaya menguasai 50 persen aset negara. 10 persen orang Indonesia menguasai 70 persen kekayaan negeri ini (9 oktober 2019). Ada kesenjangan yang sangat lebar. Dan negara hadir seringkali justru untuk memperlebar kesenjangan ini dengan berbagai regulasi, kebijakan dan bahkan manipulasi.

Eksploitasi sumber daya alam (SDA) , kebijakan ekspor impor, project kementerian dan BUMN, serta monopoli bisnis hulu-hilir menjadi bagian dari faktor yang membuat orang-orang kaya itu memperlebar jarak kesejahteraannya dari orang-orang miskin.

Soal demokrasi, Indonesia jauh mengalami kemunduran selama 14 tahun terakhir. Tahun 2020, Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan bahwa indeks demokrasi Indonesia berada pada rangking 64 dari 167 negara, dengan skor 6,3. Skor 6.3 masuk dalam kategori demokrasi cacat.

Skor terburuk terdapat pada aspek budaya politik: 4,38, dan kebebasan sipil: 5,59.

Kampus dikendalikan dengan penunjukan rektor oleh menteri, dan dekan oleh rektor. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi dikontrol. Parpol dan DPR terkendali. Ini nampak ketika dalam pembuatan undang-undang. Rakyat seringkali tidak merasa terwakili dan dibungkam aspirasinya. Kritik harus berhadapan dengan UU ITE.

Empat pilar demokrasi yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers terkendali.

Demokrasi yang buruk akan mematikan potensi sumber daya manusia (SDM) dan menutup celah partisipasi dan kolaborasi rakyat dalam pembangunan nasional.

Aspek pembangunan infrastruktur, relatif mendapatkan perhatian. Mulai era Orde Baru, lalu SBY dan terutama Joko Widodo. Hanya saja belum merata dan masih jauh untuk dapat menjangkau wilayah pelosok, terluar dan perbatasan Indonesia. Namun begitu, dalam aspek pembangunan infrastruktur, di sini setidaknya ada kesinambungan yang layak untuk diapresiasi.

Indonesia, khususnya dalam lima aspek yang menentukan ini, akan diserahkan nasibnya kepada para pemimpin yang akan datang.

2024, kemungkinan ada tiga kandidat yang akan maju di Pilpres. Salah satunya akan terpilih menjadi pemimpin Indonesia. Yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Ini masih bisa berubah seiring dengan perkembangan politik yang sangat dinamis.

Diantara tiga kandidat ini, siapa yang memiliki kemampuan dan bisa diharapkan untuk membawa Indonesia lebih baik ke depan?

Di tangan pemimpin nasib bangsa ini akan ditentukan. Dan di tangan anda, pemimpin itu lahir. Anda bertanggung jawab atas nasib bangsa ini di masa depan. Dan tanggung jawab itu anda tentukan terutama di saat memilih seorang pemimpin (Pilpres).

Berdasarkan apa anda akan memilih pemimpin, ini yang akan menentukan. Apakah faktor identitas: etnis, golongan, ormas dan daerah? Atau petunjuk tokoh agama anda? Atau faktor psikologis: like and dislike anda? Atau anda memilih pemimpin berdasarkan integritas, prestasi dan kemampuannya?

Jakarta, 10 Maret 2022

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Simak Video 'Bawaslu Tanggapi soal Usulan Penundaan Pemilu 2024':






(gbr/gbr)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork