Saat ini di Indonesia tengah diberlakukan tiga kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yakni Kurikulum 2013, Kurikulum 2013 yang Disederhanakan, dan Kurikulum Merdeka. Ketiga kurikulum tersebut dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berbeda dengan Kurikulum 2013 yang belum melabeli profil murid yang akan dibangun, pada Kurikulum Merdeka tujuan pendidikan yang akan dituju diberi label oleh pemerintah sebagai Profil Pelajar Pancasila dengan enam ciri utama yang konon katanya dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional. Keenam ciri utama tersebut yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan, kreatif.
Dengan demikian secara esensial, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka dikembangkan untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, dampaknya suasana dan proses pembelajaran yang terjadi berdasarkan ketiga kurikulum tersebut mesti holistik mengembangkan seluruh aspek kompetensi murid yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Oleh karena itu, pada Kurikulum 2013, pemerintah menetapkan Kompetensi Inti Sikap Spiritual, Kompetensi Inti Sikap Sosial, Kompetensi Inti Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan yang memiliki fase satu tahun, artinya setiap kelas per tahun memiliki kompetensi inti masing-masing sesuai tahap perkembangan diri murid. Untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian, pada Kurikulum 2013, pemerintah menetapkan Kompetensi Dasar Sikap Spiritual dan Sosial untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan; Kompetensi Dasar Pengetahuan; dan, Kompetensi Dasar Keterampilan.
Karena memiliki Kompetensi Dasar Sikap, untuk kedua mata pelajaran tersebut, kegiatan pembelajaran sikap dilakukan secara langsung mengacu kepada kompetensi dasar, sedangkan mata pembelajaran selain kedua mata pelajaran tersebut melakukan kegiatan pembelajaran sikap secara tidak langsung antara lain melalui pembiasaan dan mengaitkan topik pengetahuan dengan nilai-nilai sikap yang relevan.
Pembelajaran sikap dilakukan pada berbagai kegiatan kurikuler yang relavan dengan beragam teknik tidak dibatasi hanya dengan pembelajaran berbasis projek sebagaimana pada Kurikulum Merdeka dan pembudayaan pada ekosistem sekolah. Nilai-nilai sikap yang dikembangkan mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Pada Kurikulum Merdeka, pemerintah tidak menetapkan Kompetensi Inti, namun menetapkan Capaian Pembelajaran (CP) yang memiliki fase baragam: 1 tahun untuk SMA Kelas X, 2 tahun untuk jenjang SD dan SMA Kelas XI dan Kelas XII berada pada fase yang sama, dan 3 tahun untuk SMP.
Berbeda dengan rumusan Kompetensi Inti, rumusan CP berupa deskripsi seluruh aspek kompetensi yang harus dicapai murid pada saat murid mencapai fase tertentu. Dengan demikian mestinya CP menggambarkan berbagai aspek kompetensi baik sikap, pengetahuan, maupun keterampilan yang akan dibangun dalam aktivitas pembelajaran dan akan diukur pencapaiannya melalui penilaian.
Mudah-mudahan CP telah dikonstruk dengan menggunakan formulasi perumusan standar untuk setiap mata pelajaran sehingga diperoleh CP yang benar, mudah dipahami, dan mudah dijabarkan ke tujuan pembelajaran, aktivitas pembelajaran, dan penilaian. Namun jika CP masih eror konstruksi, eror pola, dan eror substansi perilaku kompetensi, maka pada praktiknya tidak akan ditemukan keselarasan dan harmoni antara CP, tujuan pembelajaran, pembelajaran, dan penilaian.
Ketidakselarasan ini merupakan penyakit akut dalam setiap implementasi kurikulum. Selain itu, dalam perspektif makna dan peran standar nasional pendidikan, mestinya CP bukan ayat pada kitab suci yang dikunci dan tidak bisa diubah, namun bersifat dinamis sehingga sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan CP, dengan syarat dan ketentuan selama CP yang dikembangkan sekolah melampaui CP versi pemerintah.
Pada Kurikulum Merdeka, pemerintah tidak menetapkan Kompetensi Dasar. Namun memberi ruang kepada guru untuk mengembangkan tujuan pembelajaran sebagai jabaran teknis dan detil dari CP. Kebijakan ini perlu diacungi jempol kerana menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menjadikan guru tidak hanya sebagai pelaksana kurikulum, namun sekaligus berperan sebagai pengembang kurikulum.
Agar niat baik tidak bertepuk sebelah tangan, pemerintah dan pihak relavan perlu memberikan berbagai pertolongan kepada guru agar mampu merumuskan tujuan pembelajaran yang benar, dapat diimplementasikan dalam pembelajaran, dan dapat diukur proses dan pencapaiannya. Spirit guru sebagai pengembang kurikulum sebenarnya merupakan spirit dari Kurikulum 2013, namun spirit ini belum berjalan. Spirit ini secara pilosofis bisa dilihat dari makna dan peran Kompetensi Dasar yang sebenarnya bisa dikembangkan oleh sekolah selama melampaui Kompetensi Dasar versi pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu bagaimana dengan paradigma pembelajaran? Meski sebagian pihak mengklaim pembelajaran pada Kurikulum Merdeka berpusat pada murid, sedangkan Kurikulum 2013 belum berpihak pada murid. Untuk menyikapi klaim tersebut, mari kita mencermati substansi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menjadi dasar yuridis bagi Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka.
Secara esensial terkait pembelajaran, Undang-undang Sisdiknas mengamanahkan kepada pendidik agar pembelajaran berkhidmat kepada murid atau berpusat kepada murid dengan cara mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Frasa peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, inilah yang menjadi esensi pembelajaran berpusat pada murid. Dengan kata lain, murid pemilik pembelajaran baik sebelum, saat, maupun setelah pembelajaran dengan berbagai teknik dan metode pembelajaran. Untuk itu, guru wajib mengenali berbagai aspek dari murid sebelum memulai pembelajaran dengan aktif melibatkan murid untuk mengenal dirinya.
Kemudian guru harus menciptakan suasana dan lingkungan pembelajaran yang mengadaptasi berbagai keberagaman murid. Juga, guru mesti piawai memasilitasi berbagai ajang unjuk kinerja performa murid. Dengan demikian, Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka memiliki paradigma pembelajaran yang sama secara esensial. Hanya saja praktiknya yang perlu terus diperbaiki.
Jadi, saya meyakini baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka memiliki spirit dan esensi yang sama: untuk mewujudkan profil pelajar sesuai tujuan pendidikan nasional yang holistik; berkhidmat kepada murid; memberi ruang dan waktu kepada guru untuk membangun proses, suasana, dan lingkungan pembelajaran agar murid aktif mengembangkan potensi dirinya dengan menggunakan berbagai teknik dan metode; dan mengadaptasi keberagaman murid.
Oleh karena itu, esensi keberhasilan sebuah kurikulum bukan pada ganti menteri ganti kurikulum, namun pada bekerjanya kurikulum di nurani, pikiran, dan raga guru, yang ditandai dengan terjadinya dan dirasakannya praktik pembelajaran dan penilaian yang efektif dan bermakna.
Deni Hadiana peneliti pendidikan di Badan Riset dan Inovasi Nasional