Kompensasi Pelayanan dan Jaminan atas JKN Berkualitas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kompensasi Pelayanan dan Jaminan atas JKN Berkualitas

Selasa, 08 Mar 2022 10:16 WIB
Asep Cahyana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sebanyak 651.323 peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) kelas III di Banyuwangi, mendapatkan subsidi dari pemerintah. Yakni untuk pembayaran iuran per Juli mendatang.
Foto ilustrasi: Ardian Fanani
Jakarta -
Ruang diskusi publik di berbagai media massa, media sosial, dan webinar belakangan ini kembali ramai dengan isu terkait BPJS Kesehatan. Permasalahan BPJS Kesehatan memang selalu ada, namun semakin menarik pasca Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tanggal 6 Januari 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Presiden Jokowi menginstruksikan antara lain agar kepesertaan aktif Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) menjadi syarat untuk mengakses berbagai jenis pelayanan publik.

Konon alasan Presiden Jokowi mengeluarkan instruksi itu adalah untuk optimalisasi program JKN, peningkatan akses layanan kesehatan berkualitas, dan menjamin keberlangsungan program JKN. Singkatnya, kebijakan itu bertujuan agar masyarakat yang belum menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan jadi 'terdorong' untuk menjadi peserta dan aktif membayar iuran, meskipun bagi sebagian pihak bisa bermakna 'terpaksa' agar bisa mengakses layanan publik lainnya.

Tulisan ini tidak akan mengulas lebih jauh dampak dari Instruksi Presiden terhadap berbagai pelayanan publik yang mensyaratkan kepesertaan BPJS Kesehatan yang sudah tentu menambah kewajiban/beban masyarakat, melainkan akan berfokus pada pertanyaan, "Apa jaminan bagi masyarakat atas pelayanan kesehatan berkualitas jika ia berkomitmen menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan?"

Pertanyaan ini penting dijawab guna memberi keyakinan (assurance) bagi masyarakat untuk bergabung sebagai peserta JKN, bukan sekadar karena 'terpaksa' atau 'dipaksa'. Jaminan tersebut sekaligus mencerminkan tanggung jawab negara (pemerintah) atas kualitas program JKN sebagai penyeimbang atas kewajiban/beban yang dituntut dari masyarakat tersebut.

Jaminan atas Jaminan


Landasan bukti atas kebijakan optimalisasi JKN adalah bahwa prosentase kepesertaan BPJS Kesehatan per November 2021 baru mencapai 229,51 juta peserta dan pada 2022 ditargetkan menjadi 245,14 juta peserta atau setara 88,51 persen penduduk Indonesia. Target akhirnya adalah 98 persen kepesertaan pada 2024 sebagaimana tercantum dalam RPJMN dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC).

'Kepesertaan aktif' ditekankan dalam kebijakan ini karena tercatat sebanyak 39,14 juta dari 229,51 juta peserta (sekitar 17%) merupakan peserta tidak aktif dan angkanya terus naik sebagaimana diungkapkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Keberlangsungan program JKN memang menjadi pertaruhan apabila persentase kepesertaan tidak aktif ini semakin tinggi di kemudian hari. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang menegaskan pentingnya kepesertaan aktif ini.

Lantas, benarkah kebijakan optimalisasi kepesertaan JKN dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan berkualitas? Dalam Inpres tersebut, upaya peningkatan akses layanan kesehatan berkualitas diterjemahkan dalam dua poin kebijakan (instruksi) kepada Direktur BPJS Kesehatan. Pertama, memastikan peserta JKN mendapat akses layanan kesehatan berkualitas melalui pemberian identitas peserta JKN. Kedua, melakukan kajian dan evaluasi regulasi serta inovasi untuk perbaikan implementasi JKN guna menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas JKN.

Cukupkah dua poin kebijakan itu menjadi jaminan atas akses layanan kesehatan berkualitas? Terdapat dua frase kunci di sini, yakni "akses masyarakat terhadap layanan kesehatan" dan "layanan kesehatan berkualitas". Pertama, menurut Maulany dkk (2021), akses terhadap layanan kesehatan tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang penyedia layanan melainkan juga perspektif masyarakat yang ternyata dipengaruhi berbagai faktor seperti gender, waktu tempuh, lokasi tempat tinggal, biaya transportasi, persepsi terhadap kesehatan, pendapatan, pendidikan, dan pengetahuan. Dua poin kebijakan tersebut di atas menurut penulis hanya fokus pada sudut pandang penyedia layanan (government-centric approach).

Kedua, berbicara kualitas layanan jasa publik seperti layanan kesehatan tentu tidak bisa sekadar melihat capaian angka-angka melainkan soal pengalaman setiap warga negara sebagai pengguna layanan publik (citizen experience as costumer). Pendekatan kepuasan peserta BPJS Kesehatan yang mencapai 81,5% menurut hasil survei pada 2020 tidak dapat diartikan setiap peserta telah mengalami pelayanan berkualitas sebesar angka tersebut. Satu orang pengguna layanan dengan pengguna layanan lainnya bisa jadi memiliki pengalaman yang sangat berbeda saat mengakses layanan jasa kesehatan.

Salah satu prinsip New Public Service (Denhart & Denhart, 2007) berbunyi: value people not just productivity, mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayanan dilakukan di atas respek terhadap semua orang. Pengalaman setiap anggota masyarakat pengguna layanan publik adalah berharga. Oleh karena itu, jaminan atas kualitas pelayanan JKN khususnya dan layanan kesehatan pada umumnya harus mampu menjangkau pengalaman tiap-tiap individu pengguna layanan termasuk dalam hal pengguna layanan mengalami kegagalan dalam memperoleh pelayanan berkualitas (service failure).

Kompensasi Layanan


Mengimbangi pendekatan government-centric dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan, diperlukan pendekatan yang lebih mengedepankan perspektif warga (citizen-centric). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan posisi tawar (bargaining positions) pengguna layanan melalui konsep exit dan voice (Hirschman, 1970). Exit berarti tersedia peluang bagi setiap pengguna layanan untuk memilih penyelenggara layanan lain, sedangkan voice berupa kesempatan setiap pengguna layanan untuk menyuarakan ketidakpuasannya kepada penyelenggara.

Salah satu mekanisme voice yang dapat ditempuh adalah kompensasi atau ganti rugi kepada penerima layanan sebagai upaya pemulihan (recovery) apabila penyelenggara layanan gagal memberikan pelayanan sebagaimana standar pelayanan yang ditetapkan (service failure). Bentuk kompensasi dapat berupa finansial, non-finansial, ataupun keduanya. Kompensasi pelayanan memiliki dua dimensi; pertama, pencegahan yaitu mendorong penyelenggara layanan untuk selalu berusaha memenuhi standar kualitas pelayanannya agar terhindar dari memberikan kompensasi. Kedua, memulihkan kerugian dan/atau ketidakpuasan pengguna layanan atas pelayanan tidak berkualitas yang telah dialaminya.

Menurut literatur, kompensasi pelayanan terbukti meningkatkan rasa keadilan distributif dan interaksional, meningkatkan kepuasan pengguna layanan, meningkatkan citra penyelenggara layanan, serta memperkuat kemitraan. Pengguna layanan akan merasa percaya diri untuk menggunakan layanan karena ia memiliki jaminan bahwa ketika layanan tidak berjalan sebagaimana mestinya ada mekanisme yang bisa ia tempuh untuk memulihkan kerugiannya.

Apabila ternyata pengguna layanan mengalami masalah saat mengakses layanan, adanya kompensasi layanan dapat meyakinkan pengguna layanan bahwa permasalahannya ditangani dengan serius. Dengan demikian, kompensasi pelayanan mampu memberikan jaminan bagi setiap individu pengguna layanan karena pemberian kompensasi terkait langsung dengan tingkat kualitas pelayanan diperoleh/dirasakan masing-masing pengguna layanan.

Kerangka Regulasi


Kompensasi atau ganti rugi bukan hal baru dalam kerangka regulasi pelayanan di Indonesia. Dalam konteks hukum perdata, Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahannya tersebut.

Terkait pelayanan BPJS Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional memuat ketentuan mengenai kompensasi terhadap peserta dalam dua kondisi. Pertama, Pasal 23 ayat (3) menyatakan BPJS wajib memberikan kompensasi apabila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta. Kompensasi dapat berupa uang tunai sesuai hak peserta.

Kedua, Pasal 32 ayat (3) menyatakan BPJS wajib memberikan kompensasi guna memenuhi kebutuhan medis peserta apabila terjadi kecelakaan kerja di suatu daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat. Bentuk kompensasi dapat berupa penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.

Implementasi ketentuan-ketentuan tersebut penting diperhatikan mengingat sebaran fasilitas kesehatan belum merata terutama di daerah. Tetapi, prosedur teknis mengenai pemberian kompensasi itu tidak mudah untuk ditempuh. Berdasarkan Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan beserta beberapa pedoman yang berlaku pada BPJS Kesehatan, pertama-tama daerah (setingkat kecamatan) yang belum tersedia faskes (dokter atau bidan atau perawat) itu harus ditetapkan terlebih dahulu oleh Dinas Kesehatan setempat.

Untuk memperoleh penggantian uang tunai, peserta harus mengikuti prosedur rujukan berjenjang serta memenuhi sejumlah persyaratan dan prosedur klaim. Untuk mendapat layanan kesehatan, peserta harus mendatangi faskes tingkat pertama terdekat yang artinya harus menempuh perjalanan lebih jauh karena keluar dari wilayahnya, sungguh bukan suatu kompensasi yang menyenangkan.

Di sisi lain, UU SJSN belum mengatur kompensasi atau ganti rugi atas ketidaksesuaian pelayanan dengan standar kualitas pelayanan yang ditetapkan. Padahal kompensasi atau ganti rugi semacam ini sangat penting sebagai jaminan bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan. Peserta (non-Penerima Bantuan Iuran) dituntut aktif membayar iuran setiap bulan yang nominalnya terus naik sehingga sangat wajar bila mengharapkan imbal balik berupa pelayanan kesehatan berkualitas.

Adapun peserta PBI juga berhak atas pelayanan berkualitas karena iurannya dibayarkan negara yang berasal dari pajak seluruh rakyat Indonesia. Tetapi faktanya saat ini, mereka harus mengalami ketidakpastian pelayanan, penolakan, penundaan pelayanan kesehatan, serta urusan administrasi yang rumit. Peserta seharusnya memperoleh kompensasi yang layak atas ketidaksesuaian pelayanan yang dialaminya, bukan sekedar dianggap masalah sepintas lalu.

Terkait hal itu, ketentuan ganti rugi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai umbrella rule pelayanan publik semestinya dapat dioptimalkan sebagai jaminan pelayanan bagi peserta JKN. Namun ketentuan yang telah ada lebih dari 12 tahun lalu itu belum dapat diimplementasikan karena Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksanaan atas ketentuan itu belum juga diterbitkan. Alhasil, jaminan terhadap pengguna layanan publik termasuk peserta JKN atas pelayanan berkualitas masih menyisakan ruang kosong berupa ganti rugi atau kompensasi ketika pelayanan tidak berjalan sesuai standar kualitas pelayanan yang ditetapkan.

Asep Cahyana
Asisten Ombudsman Republik Indonesia, Magister Administrasi Publik UGM

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads