Kolom

Minyak Goreng, Pangan, dan Inflasi

Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi - detikNews
Senin, 07 Mar 2022 13:30 WIB
Foto ilustrasi: Pius Erlangga
Jakarta - BPS menyebut inflasi pada Januari 2022 sebesar 0,56% dengan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 108,26. Inflasi tertinggi di Sibolga, sedangkan terendah di Manokwari. Hal ini terjadi karena lonjakan harga sejumlah kelompok pengeluaran.

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau 1,17%; kelompok pakaian dan alas kaki 0,43%; lalu kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga 0,51%; perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga 0,79%; kelompok kesehatan 0,24%; transportasi 0,02%; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya 0,41%; pendidikan 0,08%; serta kelompok penyediaan makanan dan minuman (restoran) 0,36%.

Fakta ini secara tidak langsung menegaskan bahwa besaran inflasi Januari 2022 ternyata tidak disokong oleh harga minyak goreng.

Fakta awal 2022 masyarakat dibuat resah dengan kelangkaan minyak goreng dan imbas harga tentu naik sesuai hukum permintaan. Keresahan ini akhirnya dijawab pemerintah dengan penentuan kebijakan satu harga minyak goreng yaitu Rp 14 ribu yang berjalan selama dua pekan. Meski sampai kini minyak goreng masih langka di pasaran, terutama di sejumlah gerai swalayan, tetapi implikasi kebijakan satu harga itu mampu menekan laju inflasi Januari 2022.

Di sisi lain, kebijakan satu harga ini tetaplah berpengaruh terhadap kontribusi minyak goreng terhadap inflasi yaitu sebesar 0,01% (turun dibandingkan Desember 2021 yaitu 0,08%). Jadi penetapan satu harga sesuai HET dan kepastian pasokan minyak goreng mampu meredam laju inflasi Januari lalu.

Rawan

Komponen inti pada Januari 2022 memicu inflasi sebesar 0,42% (jika dibandingkan y-o-y sebesar 1,84%). Oleh karena itu, meski minyak goreng memberikan andil yang relatif kecil, namun pasokan dan distribusinya tetap harus diperhatikan karena mata rantai dari minyak goreng cukup kompleks. Bahkan, penjual gorengan secara nasional mengeluh karena bukan hanya harganya melonjak tapi pasokannya menipis. Jadi, beralasan kasus ini menarik dicermati, apalagi ketersediaan minyak goreng kemasan sederhana dan juga premium menghilang di sejumlah gerai swalayan modern.

Selain itu, minyak goreng di sejumlah pasar tradisional yang berbentuk curah juga sulit diperoleh. Kondisi ini sangat kontras dengan realitas bahwa Indonesia adalah produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006. Logikanya jika permintaan global atas minyak sawit meningkat, maka Indonesia mendapatkan berkah; tapi yang terjadi justru sebaliknya, dan petani sawit juga menjerit. Terkait ini beralasan jika KPPU menegaskan kemungkinan adanya kartel dari industri sawit sehingga menguntungkan segelintir pihak dan konsumen justru menjerit.

Mencermati kasus minyak goreng dan imbasnya terhadap laju inflasi, menjadi penting bagi pemerintah untuk menjamin kepastian pasokan. Sejatinya bukan hanya di kasus minyak goreng, tapi juga semua komponen makanan dan minuman. Apalagi dalam waktu dekat masuk bulan Ramadhan (yang berpuncak pada Lebaran) yang biasanya rawan dengan inflasi musiman sehingga langkah antisipasi menjadi penting. Hal ini setidaknya untuk menjamin aspek pasokan dan distribusi.

Sementara aspek ancaman PPKM level 3 juga menarik dicermati karena lonjakan pandemi varian omicron cenderung meningkat. Hal ini terdeteksi dari sejumlah daerah yang menghentikan pembelajaran tatap muka 100% yang berlaku sejak 10 Januari mengacu SKB 4 Menteri tertanggal 21 Desember 2021.

Riuh harga minyak goreng dan imbasnya terhadap laju inflasi dan pasokan distribusi menjadi kajian tentang ketersediaan bahan pangan secara nasional. Dari fakta yang ada menunjukkan sejumlah harga pangan cenderung stabil, meski minyak goreng cenderung mulai turun (ironisnya pasokan di pasaran masih langka). Meski demikian tetap harus diwaspadai ancaman inflasi musiman Ramadhan-Lebaran, terutama karena sumbangan bahan makanan-minuman.

Jadi, beralasan jika sejumlah ekonom memprediksi bahwa kasus inflasi volatile food pada 2022 lebih tinggi dibandingkan 2021 seiring kenaikan konsumsi di tengah membaiknya ekonomi. Di sisi lain, prediksi juga perlu dikaji ulang karena ancaman pandemi dari varian baru dan pemberlakuan PPKM level 3 di sejumlah daerah jika ancaman pandemi meningkat kembali. Artinya pengamanan rantai pasok tidak bisa diabaikan dengan argumen ancaman pandemi, laju inflasi dan mungkin pemberlakuan PPKM level 3 di sejumlah daerah sehingga menghambat mobilitas yang tentunya juga berpengaruh terhadap pasokan dan distribusi bahan pangan (sembako).

Menjadi Acuan

Teoritis permintaan menegaskan jika perbaikan perekonomian tidak dibarengi ancaman sebaran pandemi, maka laju kenaikan konsumsi yang tidak diimbangi dengan perbaikan rantai pasok bisa membuat harga pangan bergejolak, meski pasokan memadai. Terkait ini prediksi sejumlah ekonom inflasi volatile food bisa melampaui 3,5% pada 2022, lebih tinggi daripada 2021 di angka 3,2%.

Potensi kenaikan konsumsi tidak bisa terlepas dari realitas pemulihan ekonomi, meski di sisi lain juga perlu dicermati adanya ancaman dari varian baru omicron. Oleh karena itu, dilema dari pemulihan ekonomi, kelangkaan dari kasus minyak goreng, dan implikasinya terhadap ancaman inflasi harus menjadi kajian agar masyarakat tidak kembali terbebani. Dua tahun terakhir masyarakat sudah terjerat pandemi dengan kebijakan WFH, social distancing, dan larangan mudik yang semua itu jelas berpengaruh terhadap mata rantai ekonomi (bisnis) dan pendidikan.

Jika dicermati sebenarnya bukan hanya kasus minyak goreng yang ramai dibicarakan pada akhir 2021 dan awal 2022, tapi juga harga beras sebagai komoditas pangan utama yang banyak dikonsumsi. Padahal, besaran kalkulasi margin perdagangan dan pengangkutan yaitu 20% sehingga ini bisa rawan terhadap pasokan distribusi, sementara di sisi lain ada tuntutan terhadap kesejahteraan petani.

Oleh karena itu mencermati pergerakan dari sejumlah harga bahan pokok pangan pada Triwulan I - 2022 bisa menjadi acuan pemetaan kebutuhan pasokan dan distribusi menjelang Ramadhan dan Lebaran 2022. Artinya, belit inflasi Januari 2022 menjadi acuan untuk melakukan kajian secara sistematis untuk bisa melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan terburuk dari ancaman kelangkaan pasokan dan potensi belit inflasi bahan pangan secara nasional.

Hal lain yang menarik dicermati adalah ancaman kemungkinan bencana yang sepertinya masih menghantui di sejumlah daerah sehingga hal ini juga sangat rawan terhadap kebutuhan bahan pangan.

Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork