Penemuan tumpukan minyak goreng sebanyak 1,1 juta kg oleh Tim Satgas Pangan Provinsi Sumatera Utara (18/2) mengejutkan banyak pihak mengingat kelangkaan minyak goreng yang terjadi sekarang ini. Dari hasil hitung-hitungan sederhana saya, jika satu kilo gram minyak goreng setara dengan 1,25 liter, maka jumlah minyak goreng yang ditimbun tersebut sekitar 1,375 juta liter. Jika diasumsikan penimbun mengambil margin Rp 5.000 per liter, maka penimbun akan mendapatkan laba sebesar Rp 6,885 miliar.
Bagaimana jika minyak goreng yang ditimbun dilepas dengan margin yang lebih besar, misalnya Rp 10. 000 per liter? Maka laba yang diperoleh sebesar Rp 13,750 miliar. Hitung-hitungan sederhana tersebut menunjukkan bahwa potensi laba yang bisa diperoleh dari aktivitas penimbunan minyak goreng tersebut sangatlah besar dan menggiurkan.
Ketika minyak goreng langka, beberapa upaya telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, yaitu melakukan operasi pasar dan mengimbau kepada pengusaha agar tidak menahan stok minyak goreng, mewajibkan para eksportir Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya untuk memasok ke pasar dalam negeri dengan harga khusus, serta membatasi ekspor CPO.
Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng per liter juga sudah diatur oleh pemerintah, yaitu minyak goreng curah Rp 11.500, sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14.000. Untuk mengamankan HET tersebut, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,6 triliun.
Dengan seperangkat kebijakan tersebut, seharusnya pasokan minyak goreng di pasar akan aman dan tidak akan ada lagi antrean panjang konsumen untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai HET tersebut. Namun demikian, kenyataan di lapangan tidaklah semulus yang dibayangkan. Terbukti dengan penemuan timbunan minyak goreng jutaan kilogram tersebut.
Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Williamson (1979) menyatakan bahwa pelaku ekonomi banyak yang memiliki perilaku oportunis (opportunistic behaviour) alias berusaha mengambil keuntungan dari suatu kondisi ketidakpastian.
Ketika minyak goreng langka, langkah yang dilakukan untuk mengambil keuntungan yang lebih besar adalah dengan melakukan penimbunan untuk kemudian dilepas di pasar ketika minyak goreng di pasar semakin langka. Pelaku-pelaku yang memiliki perilaku oportunis ini dinamakan pemburu rente.
Siapakah para para pemburu rente tersebut? Para ekonom menyatakan bahwa para pemburu rente mengacu kepada pihak-pihak yang berusaha mendapatkan margin padahal mereka tidak memiliki kontribusi dalam kegiatan produksi dan upaya meningkatkan nilai tambah suatu barang.
Pada kasus minyak goreng tadi para pemburu rente ini akan melihat situasi pasar, menimbun barang dan kemudian ketika margin yang diperoleh tinggi, mereka baru menjual minyak goreng yang mereka timbun tersebut di pasar.
Adakah konsekuensi hukum dari penimbunan minyak goreng tersebut? Jawabannya, tentu saja ada. Seperti yang kita ketahui minyak goreng merupakan kebutuhan pokok dan strategis sehingga tidak boleh ditimbun. Pelaku penimbun minyak goreng dapat dijerat dengan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan sanksi penjara selama 5 tahun.
Lalu mengapa para pemburu rente tetap beroperasi --padahal paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan sudah cukup komprehensif dan sanksi hukum pun juga sudah ada? Kuncinya adalah di pengawasan. Sebagus apapun kebijakan yang telah dibuat dan seberat apapun sanksi hukumnya, jika pengawasan lemah, maka para pemburu rente akan mencari celah untuk beroperasi.
Oleh sebab itu diperlukan upaya pengawasan yang ketat untuk mengawal kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. Di era digital ini pengawasan dapat dilakukan oleh semua pihak dengan melibatkan semua pihak termasuk masyarakat. Masyarakat dapat mengirimkan pengaduan secara online kepada pihak yang berwenang jika ada aktivitas penimbunan minyak goreng di sekitar mereka.
Di samping itu, pihak-pihak yang berwenang seperti Satgas Pangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga harus secara aktif terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap pihak-pihak yang berpotensi melakukan penimbunan. Melalui upaya pengawasan secara berlapis tersebut, perilaku oportunis dari para pemburu rente pada kasus minyak goreng dapat diminimalisasi.
Dr. Sahara Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Simak juga 'Saat Emak-emak Saling Dorong Berebut Minyak Goreng di Sulsel':
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT