Apakah anggaran pertahanan perlu dinaikkan? Jawaban dari pertanyaan ini mengundang debat pro dan kontra di media sosial dan di pilar pemerintahan. Debat semakin panas di tengah sebuah wacana yang muncul pada Juni 2021 bahwa pemerintah akan mengambil utang sebesar Rp 1,700 triliun untuk menambah anggaran pertahanan.
Tsamara Amany, seorang politikus muda, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memfokuskan anggaran kepada penanganan pandemi, dan menilai bahwa kenaikan anggaran pertahanan pada saat ini belum terlalu penting. Saya berpendapat bahwa anggaran pertahanan Indonesia harus dinaikkan untuk mendukung upaya modernisasi TNI, meskipun kenaikan anggaran tersebut harus dilakukan di tengah pandemi. Mengapa begitu?
Pertama, anggaran pertahanan Indonesia, kalau dilihat berdasarkan proporsi anggaran pertahanan dari Produk Domestik Bruto (PDB), ternyata sangat kecil dan di bawah standar. Pada 2020, misalnya, Statista melaporkan bahwa proporsi anggaran pertahanan dari PDB Indonesia hanya sebesar 0,86%. Ini jelas merupakan anggaran yang sangat kecil, mengingat TNI harus menjaga sebuah wilayah negara yang panjangnya setara dengan jarak dari London (Inggris) ke Afghanistan.
Setelah itu, anggaran yang kecil tersebut harus dibagi-bagi lebih lanjut kepada TNI AL, AD, AU, dan Kementerian Pertahanan dan 35% dari total anggaran pertahanan digunakan untuk belanja pegawai, bukan untuk membeli alutsista. Proporsi anggaran pertahanan dari PDB Indonesia yang hanya 0,86% tersebut jelas jauh di bawah standar NATO, yaitu 2%. Singapura, misalnya, memiliki proporsi anggaran pertahanan dari PDB sebesar 3,1% pada 2019 menurut Statista.
Ditambah lagi bahwa ternyata anggaran pertahanan Indonesia berada di bawah Singapura pada 2019 dan perlu diingat bahwa angkatan bersenjata Singapura hanya menjaga kedaulatan wilayah negara yang luasnya setara dengan Provinsi DKI Jakarta, sedangkan TNI harus menjaga wilayah negara seluas 1,9 juta kilometer persegi
Tsamara Amany, seorang politikus muda, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memfokuskan anggaran kepada penanganan pandemi, dan menilai bahwa kenaikan anggaran pertahanan pada saat ini belum terlalu penting. Saya berpendapat bahwa anggaran pertahanan Indonesia harus dinaikkan untuk mendukung upaya modernisasi TNI, meskipun kenaikan anggaran tersebut harus dilakukan di tengah pandemi. Mengapa begitu?
Pertama, anggaran pertahanan Indonesia, kalau dilihat berdasarkan proporsi anggaran pertahanan dari Produk Domestik Bruto (PDB), ternyata sangat kecil dan di bawah standar. Pada 2020, misalnya, Statista melaporkan bahwa proporsi anggaran pertahanan dari PDB Indonesia hanya sebesar 0,86%. Ini jelas merupakan anggaran yang sangat kecil, mengingat TNI harus menjaga sebuah wilayah negara yang panjangnya setara dengan jarak dari London (Inggris) ke Afghanistan.
Setelah itu, anggaran yang kecil tersebut harus dibagi-bagi lebih lanjut kepada TNI AL, AD, AU, dan Kementerian Pertahanan dan 35% dari total anggaran pertahanan digunakan untuk belanja pegawai, bukan untuk membeli alutsista. Proporsi anggaran pertahanan dari PDB Indonesia yang hanya 0,86% tersebut jelas jauh di bawah standar NATO, yaitu 2%. Singapura, misalnya, memiliki proporsi anggaran pertahanan dari PDB sebesar 3,1% pada 2019 menurut Statista.
Ditambah lagi bahwa ternyata anggaran pertahanan Indonesia berada di bawah Singapura pada 2019 dan perlu diingat bahwa angkatan bersenjata Singapura hanya menjaga kedaulatan wilayah negara yang luasnya setara dengan Provinsi DKI Jakarta, sedangkan TNI harus menjaga wilayah negara seluas 1,9 juta kilometer persegi
Kedua, apa urgensinya menaikkan anggaran pertahanan di tengah pandemi? Bukankah anggarannya lebih baik disalurkan untuk subsidi? Perlu diingat bahwa meskipun dunia tengah mengalami pandemi, ancaman terhadap negara tidak libur dan terus ada. Pada Desember 2021, misalnya, Tiongkok mengirimkan nota protes kepada Indonesia karena Indonesia melakukan eksplorasi pengeboran sumber daya alam di Laut Natuna Utara yang juga diklaim oleh Tiongkok.
Lalu, pada September 2020, BAKAMLA mengusir kapal survei Tiongkok yang sudah tiga hari berada di dalam zona eksklusif Indonesia. Justru apabila kita menurunkan anggaran pertahanan di tengah pandemi, musuh akan mengira bahwa Indonesia sedang lemah dan mudah diserang dan hancur.
Memang anggaran untuk penanganan pandemi sangat penting. Namun, pemerintah lebih baik menurunkan anggaran badan-badan pemerintah yang tidak krusial daripada menurunkan anggaran pertahanan yang sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah Indonesia.
Ketiga, bukankah anggaran pertahanan lebih baik diperuntukkan untuk pembangunan ekonomi? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, kesepahaman terhadap konsep high politics dan low politics sangat diperlukan. Singkatnya, high politics menyangkut keselamatan dan keamanan negara dan low politics menyangkut kesejahteraan rakyat di sebuah negara.
Untuk menyejahterakan rakyat di sebuah negara, diperlukan sebuah angkatan bersenjata yang kuat untuk memastikan keamanan dan keselamatan negara. Sebagai analogi, kesejahteraan tanpa keamanan bagaikan rumah mewah tanpa sistem keamanan yang terletak di tengah daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi. Apa gunanya memiliki barang mewah apabila maling dapat masuk dengan mudah dan merampok barang-barang itu?
Lalu, apa gunanya membangun infrastruktur apabila musuh dapat dengan mudah mengebom infrastruktur tersebut karena TNI tidak dapat mencegat mereka? Memang pembangunan ekonomi itu sangat krusial untuk kesejahteraan negara. Namun, pembangunan ekonomi hanya dapat berhasil apabila negara memiliki sistem pertahanan yang kuat untuk melindungi buah hasil pembangunan ekonomi.
Bagaimana dengan riset bahwa Indonesia tidak akan memiliki ancaman dari negara lain selama 20 tahun ke depan? Pertama, saya tidak pernah menemukan riset ini. Kedua, karena saya tidak pernah menemukan riset ini, saya tidak bisa menganalisis apakah riset ini menggunakan metodologi dan variabel riset yang jelas.
Saya menebak bahwa riset ini dilakukan dengan menggunakan simulasi komputer yang mencoba untuk mengira-ira kondisi dunia selama 20 tahun ke depan apabila status quo terus bertahan. Ini jelas tidak boleh ditanggapi dengan serius mengingat tatanan dunia memiliki banyak sekali faktor yang dapat mengubah kondisi dunia apabila salah satu faktor tersebut berubah. Sebagai contoh, tidak ada orang pada November 2019 yang dapat memastikan bahwa 6 bulan kemudian akan terjadi pandemi. Ilmu sosial tidak dapat digunakan untuk memprediksi masa depan dengan akurat.
Di samping itu, walaupun pada saat ini kelihatannya Indonesia tidak memiliki ancaman militer serius, perlu diingat bahwa pembelian alutsista membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum alutsista tersebut dapat digunakan oleh Indonesia. Dan, Indonesia harus dapat menggunakan alutsista pada saat musuh menyerang. Musuh tidak akan menunggu Indonesia sampai alutsista yang dipesan Indonesia sampai. Maka dari itu, untuk menghadapi ancaman yang akan datang 20 tahun lagi, Indonesia harus segera memesan alutsista modern sekarang dan ini jelas membutuhkan anggaran pertahanan yang besar.
Walaupun begitu, kita tetap harus berhati-hati terhadap potensi korupsi yang menyertai anggaran pertahanan yang besar. Karena alutsista pertahanan tidak dijual bebas kepada publik dan harga alutsista tidak begitu diketahui oleh publik, potensi mark-up sangat besar, apalagi alutsista itu pada dasarnya memang mahal. Maka dari itu, pengawasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat diperlukan untuk mencegah koruptor dari mencuri anggaran pertahanan.
Dunia pada saat ini sedang mengalami pergeseran konstelasi geopolitik global. Perang dingin Amerika Serikat-Tiongkok yang semakin memanas akan mempengaruhi Indonesia. Sudah saatnya Indonesia bangun dan mulai membangun angkatan bersenjatanya yang pernah disegani belahan dunia selatan pada awal dekade 1960-an.
Trystanto mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Ketua divisi Riset dan Pengembangan pada Foreign Policy Community Indonesia chapter UGM
(mmu/mmu)