Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjawab polemik upaya mengategorikan ulang sawit menjadi tanaman hutan. KLHK dengan tegas menekankan bahwa sawit tetap tidak tergolong dalam tanaman hutan. Saat ini pemerintah justru lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan terutama penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non-prosedural dan tidak sah. Hal ini dibuktikan dengan KLHK yang telah melakukan pencabutan dan tengah mengevaluasi berbagai konsesi kehutanan.
Wacana sawit menjadi tanaman hutan bermula dari draft naskah akademik Fakultas Kehutanan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Penyusunan naskah akademik ini dilatari oleh perlakuan diskriminatif oleh beberapa pihak terhadap tanaman sawit. Meskipun masih terus dilakukan kajian mendalam, rekomendasi lain yang coba dimunculkan adalah mengantisipasi kerentanan sistem monokultur dalam menjaga keseimbangan ekologis di sekitar pertanaman sawit. Dalam artian tanaman sawit skala luas diharuskan menerapkan tumpang sari dengan tanaman hutan unggulan setempat dan tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.
Ambigu Perekonomian
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Narasi keberhasilan dari industri dan perkebunan sawit terus dikampanyekan sebagai bentuk upaya dukungan terhadap usulan tersebut. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengklaim sepanjang 2021 lalu sumbangan devisa ekspor minyak sawit ditaksir mencapai sekitar 30 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 400 triliun. Nilai ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menyumbang 54 persen dari produksi minyak sawit dunia, dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun.
Bahkan sawit ditengarai menjadi salah satu faktor utama sektor pertanian tetap prima dalam menopang perekonomian yang tidak stabil akibat pandemi. Karena itu serapan tenaga kerja untuk industri dan perkebunan sawit berpengaruh besar terhadap jalannya roda ekonomi akar rumput. Menurut Kementerian Pertanian jumlah petani yang terlibat dalam perkebunan sawit sebanyak 2,67 juta orang dan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 4,42 juta pekerja.
Kendati nilai ekonomi sawit terus meningkat, petani swadaya dan buruh perkebunan sesungguhnya tetap menjadi rantai terlemah dalam seluruh rantai perdagangan sawit. Kecenderungan perubahan harga sawit membuat pendapatan tidak menentu, dan para petani tidak diberi kesempatan untuk menentukan harga jual. Sementara itu pendapatan buruh kebun relatif tidak berubah dengan kenaikan harga. Belum lagi perang dagang minyak nabati dunia yang memperumit situasi.
Saat ini perkebunan sawit di Indonesia memiliki luas lebih dari 16 juta hektar. Kebun sebagian besar dikuasai oleh korporasi swasta dan BUMN, sedangkan sepertiga lebih dari total area merupakan kebun sawit rakyat. Angka ini jauh lebih tinggi dari luas lahan baku sawah di Indonesia yang pada tahun 2019 tercatat sebesar 7,46 juta hektar. Artinya ekspansi perkebunan sawit secara besar-besaran yang dimulai pada 1980-an telah menjadikan sawit lebih prioritas dibandingkan pertanaman padi yang merupakan sumber pangan pokok sebagian besar rakyat.
Merujuk hasil moratorium izin perkebunan sawit yang diterapkan selama tiga tahun terakhir, diketahui bahwa area perkebunan sawit di lapangan justru lebih luas dibandingkan dengan area perizinan yang terdaftar. Data ini sejalan dengan pernyataan KLHK yang menunjukkan luas lahan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan sudah mencapai 3,3 juta hektar. Sementara 2,6 juta hektar di antaranya diduga tanpa menggunakan proses permohonan kepada pemerintah.
Nahasnya penindakan terhadap keterlanjuran tanaman sawit di dalam kawasan hutan ini, terutama yang dilakukan oleh korporasi diperlunak dengan hanya dikenai sanksi administratif melalui peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Walaupun UU Cipta Kerja sudah diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Paradoks Iklim
Indonesia sebagai Presidensi G-20 memiliki komitmen untuk pemulihan ekonomi dunia melalui pertumbuhan yang inklusif, berbasiskan rakyat, serta ramah lingkungan dan berkelanjutan. Karena itu Presiden Joko Widodo dalam pidato di COP-26 menjelaskan bahwa perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.
Sebagai upaya mengatasinya pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan bahwa Indonesia tidak bekerja dengan retorika, melainkan bekerja secara nyata. Indonesia mengklaim telah memulai rehabilitasi hutan mangrove terluas di dunia dengan luasan sekitar 600 ribu hektare sampai 2024 mendatang. Indonesia juga ditargetkan akan mencapai penyerapan bersih karbon (carbon net sink) paling lambat pada 2030.
Secara bersamaan pemerintah tengah menunaikan komitmen untuk Nationally Determined Contribution (NDC) sektor kehutanan dan tanah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen secara mandiri, atau 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk jangka Panjang, Indonesia telah mengadopsi strategi rendah karbon dan ketahanan iklim pada 2050, serta peta jalan yang rinci untuk mencapai target net zero emission pada 2060, atau diharapkan bisa lebih awal.
Mungkinkah target mengatasi krisis iklim di atas bisa dicapai dengan menjadikan sawit sebagai tanaman hutan dan tidak lagi menggolongkan ke tanaman perkebunan? Atau justru redefinisi sawit semakin menjauhkan target itu untuk dicapai? Perihal perdebatan sawit sebagai penyumbang emisi atau penyerap karbon menjadi diskusi tersendiri yang pelik. Perkebunan sawit memang bukan satu-satunya penyebab kenaikan suhu bumi, namun pengawahutanan karena ekspansi perkebunan sawit yang terjadi selama ini sudah cukup membuktikan alasan di balik berkurangnya luasan hutan tropis.
Memaksakan sawit menjadi tanaman hutan akan berdampak luas secara sosial, ekonomi, dan politik. Demikian juga dengan tawaran sistem wanatani antara sawit dan tanaman hutan lokal. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam dokumen Term and Definitions oleh Global Forest Resources Assessment yang diterbitkan pada 2020 menyebutkan perkebunan sawit tidak termasuk hutan karena merupakan sistem produksi pertanian. Ciri perkebunan sawit yang monokultur terus menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati, pengikisan benih tanaman lokal dan perusakan habitat alami satwa.
Angga Hermanda Ketua Departemen di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)