Jebakan Pelatihan Gratis bagi Guru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jebakan Pelatihan Gratis bagi Guru

Senin, 21 Feb 2022 12:15 WIB
Lestari S
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi dokumen sertifikat
Foto ilustrasi: iStock
Jakarta - Disadari atau tidak pada zaman serba digital ini informasi begitu cepat tersebar. Medsos dalam segala rupa berlomba-lomba membagi posting-an yang dirasa diperlukan oleh segala lapisan masyarakat. Boleh dikata medsos ibarat utusan yang bertugas menyebarkan informasi ke penjuru alam. Tidak mengikuti sepak terjang sang utusan, penduduk dunia akan tersesat dan tertinggal informasi.

Medsos tidak bisa jalan sendiri. Dia akan ter-update melalui komputer, laptop, maupun ponsel pintar yang terhubung secara intim dengan data internet. Kalau syarat ini tidak terpenuhi, ya percuma saja informasi istimewa yang mengenai hajat hidup orang banyak tidak akan bisa terakses.

Saya adalah salah satu dari sekian banyak pelaku medsos meski hanya sebagai penyimak dan pengepul informasi. Artinya saya lebih memposisikan diri untuk memperoleh informasi yang saya butuhkan secara cepat yang kadang-kadang begitu alot saya peroleh dari teman sekantor saya. Mau bagaimana lagi, karena memang saat ini siapa cepat dia yang dapat, begitu kiranya. Informasi tidak serta merta datang kepada kita kecuali kita yang mencarinya. Berselancar dari satu situs ke situs lainnya agar tidak tertinggal hal-hal penting yang berdampak pada kehidupan kita.

Apalagi profesi saya yang menuntut banyak hal diantaranya terkait dengan pemenuhan nilai SKP (Sasaran Kerja Pegawai) dan angka kredit seorang guru. SKP dan angka kredit saling berkaitan karena digunakan untuk mengurus kenaikan pangkat. Naik pangkat artinya adalah bertambahnya kesejahteraan dengan meningkatnya penghasilan. Dan, salah satu syaratnya adalah memiliki nilai pengembangan keprofesionalan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Permenpan RB No 16 Tahun 2009.

Untuk pengembangan keprofesionalan berkelanjutan ada dua hal yang harus dipenuhi dalam penghitungan angka kredit sebagai syarat naik pangkat. Memiliki nilai pengembangan diri dan melakukan publikasi karya ilmiah. Nilai pengembangan diri diperoleh dari diklat fungsional sedangkan nilai publikasi ilmiah dari karya kita baik ilmiah maupun karya-karya lainnya.

Tidak zamannya lagi menunggu info dari sekolah agar nama guru dipanggil untuk mengikuti sesuatu pelatihan. Menunggu dipanggil sama artinya mematikan potensi diri untuk berkembang. Waktu akan berlalu begitu cepat dan tanpa disadari 4 tahun telah berlalu tanpa tambahan kenaikan pangkat. Tentu hal ini sangatlah tidak diinginkan.

Di sinilah peluang menyelenggarakan pelatihan itu ditangkap baik oleh perorangan maupun komunitas untuk membidik pangsa pasar bernama guru. Dalih apapun dipakai entah itu atas motif senasib sepenanggungan, motif ekonomi, motif kasihan. Yang jelas banyak pihak tiba-tiba memunculkan satu kegiatan bernama pelatihan yang dikemas sedemikian rupa hingga menarik banyak peserta.

Salah satu pelatihan yang sering ditawarkan adalah pelatihan free alias gratis serta memperoleh sertifikat. Hari gini siapa yang tidak mau segala macam secara gratis. Siapa pun akan ngiler dengan hal-hal yang berbau gratis. Pemahaman kaum awam dengan kata gratis ini adalah cuma-cuma, sama sekali tidak mengeluarkan uang bahkan sepeser pun dari kantong. Toh, pelatihan yang ditawarkan dalam bentuk daring, tidak perlu menghadirkan peserta, tidak perlu mencukupkan konsumsi pun sertifikat yang diberikan dalam bentuk soft file.

Pada prinsipnya pelatihan yang tanpa memungut nominal rupiah baik dalam bentuk riil maupun transfer bagi guru artinya pelatihan tersebut adalah free. Saya sepakat dengan pemahaman ini. Pemakaian pulsa internet anggap saja sebagai pengeluaran rutin sehari-hari.

Is that so? Menyelenggarakan suatu pelatihan memang membutuhkan dana dan tenaga yang tidak sedikit. Pelatihan yang murni gratis tak menuntut apa pun dari peserta? Sangat bisa. Biasanya kegiatan ini diinisiasi oleh pihak Perguruan Tinggi dari divisi pengabdian masyarakat bahkan jauh sebelum pandemi merebak. Setelahnya organisasi profesi pun mengikuti. Murni gratis juga. Mungkin karena gemuknya dana organisasi atau memang diniatkan untuk berbagi, baik itu ilmu, semangat, dan motivasi. Niat yang dilandasi dengan pengharapan penuh tawaduk bahwa kelak ada balasan yang tak disangka-sangka datangnya.

Maka sungguh saya tak menyangka ketika suatu saat ada kegiatan pelatihan berlabel gratis tetapi menyebutkan satu dua syarat yang harus dipenuhi. Bagaimanapun juga karena demi ilmu, eh sertifikat, maka tak lain tak bukan saya iyakan saja. Saya tak menyangka sama sekali adanya syarat-syarat tersebut karena di pelatihan sebelum-sebelumnya tidak pernah saya temui hal seperti ini. Seseorang dianggap telah terdaftar sebagai peserta apabila sudah mengirim bukti yang berupa foto berbagi info ke grup medsos. Tak tanggung-tanggung, harus dikirim ke 3 grup medsos. Boleh WhatsApp, Telegram, ataupun Facebook. Tidak masalah, pikir saya.

Ketika ada yang mengingatkan saya bahwa bisa jadi pelatihan seperti itu abal-abal yang tak jelas ujungnya, saya tak mau ambil pusing. Saya terus mengikuti alur yang telah diberikan alias tetap berprasangka baik saja.

Pelatihan pun berakhir dan tiba waktunya pembagian sertifikat. Ada sejumlah syarat lagi yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah mengirim dana untuk satu dan lain hal. Meski tidak ada penagihan secara langsung rasanya seperti ada jebakan bila kita tidak pandai menyikapi isian yang disodorkan.

Yang jelas terasa di sini adalah sepertinya hati dan rasa para peserta dipermainkan. Salah satunya adalah rasa malu. Sudah kadung berkoar-koar bahwa pelatihan tersebut gratis, hingga banyak orang mengikuti kegiatan yang telah disebarkan ternyata ending-nya berbeda dari pemahaman awal.

Penyelenggara pelatihan rupanya paham betul dengan kondisi psikologis peserta. Mereka seakan mengerti bahwa peserta berada di pihak yang betul-betul membutuhkan. Dan mereka akan merasa sayang bila melepas begitu saja sertifikat yang dijanjikan setelah berlelah-lelah mengikuti kegiatan daring hingga berjam-jam lamanya dalam kurun waktu tertentu.

Meski ada yang bertahan tidak membayar tetap saja ada peserta lain yang akan mengirimkan uang. Lebih-lebih peserta yang sering berkomunikasi secara intens dengan penanggung jawab kegiatan ditambah bumbu kesulitan mengerjakan tugas atau hal-hal lain yang diperlukan demi golnya sebuah nilai pengembangan diri. Pasrah dan rela atas syarat yang diminta. Syukurlah pihak penyelenggara masih memberikan sertifikat kepada yang tidak membayar.

Sementara itu ada lagi pelatihan dengan mencantumkan donasi seikhlasnya pada flyer yang disebarkan. Menurut saya model seperti ini lebih beradab walaupun menimbulkan ketaknyamanan. Ketidakterusterangan dalam menyebutkan nominal dana tentu saja akan menimbulkan ganjalan tersendiri. Bisa saja uang yang kita kirim ternyata tidak sesuai dengan harapan penyelenggara. Mungkin uang yang dikirim tersebut nominalnya lebih banyak, pihak penyelenggara bisa berucap alhamdulillah, tetapi bila ternyata nominalnya lebih kecil tentu akan menimbulkan sumpah serapah.

Sepanjang peraturan belum diubah guru tetap akan membutuhkan sertifikat pelatihan bila masih ingin naik pangkat, eh sejahtera. Guru seperti saya yang tidak lolos seleksi program guru penggerak memang harus berburu sertifikat. Berbahagialah guru yang lolos seleksi guru penggerak, tanpa harus berjibaku sana-sini sertifikat pelatihan akan diterima. 6 bulan pastilah lebih dari 6 sertifikat akan diterima. Imbasnya pasti nilai pengembangan diri terpenuhi dan naik pangkat bukan mimpi lagi.

Lestari Ambar S guru tinggal di Ambarawa

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads