Malioboro "Ilang Kumandhange"?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Malioboro "Ilang Kumandhange"?

Kamis, 17 Feb 2022 13:37 WIB
Purnawan Andra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pemkot Yogyakarta tengah mengencarkan penataan kawasan pertokoan di Malioboro. Hal itu dilakukan untuk memberikan kesan indah dan rapi.
Mempercantik Malioboro? Foto: Pius Erlangga
Jakarta -

Malioboro, kawasan yang terkenal sebagai destinasi wisata di kota Yogyakarta, sedang berbenah. Jika selama ini kita mengenalnya sebagai tujuan belanja produk-produk lokal, maka kini semuanya berubah. Para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di Malioboro, mulai 1 Februari 2022 lalu, direlokasi ke tempat lain bernama Teras Malioboro. Malioboro menjadi daerah bebas PKL.

Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY sebagai salah satu upaya pengajuan kawasan sumbu filosofis sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. Sumbu filosofis yang dimaksud ialah jalur Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak. Malioboro adalah jalan penghubung antara Tugu dan Keraton Yogyakarta, sehingga harus ditata rapi dan memperlihatkan "keaslian" wujud bangunan sebagai kawasan warisan budaya.

Malioboro memang penting dalam tata kehidupan kota. Dalam konteks kebudayaan, Malioboro bisa menjadi bagian dari semua penjelasan tentang ontologi dan kosmologi masyarakat Jawa yang ada di sekitarnya. Ia menempati posisi sangat vital tata ruang dan waktu orang Yogya. Ia adalah salah satu titik penting dari sumbu imajiner yang berawal dari Laut Kidul (Selatan), Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pancer hingga ke Gunung Merapi sebagai ujung tertinggi.

Di garis yang melalui Parangkusuma – Panggung Krapyak – Kraton – Beringharjo (Malioboro) – Tugu Pal Putih hingga Merapi inilah orang Jawa menciptakan hubungan antara Jagad Ageng (makrokosmos) dan Jagad Alit (mikrokosmos), antara manusia dan Penciptanya dalam ajaran yang disebut sangkan paraning dumadi. Ia menjadi perjalanan hidup manusia, sejak ia lahir (di bawah/Selatan), melakukan kehidupan sosial dengan manusia dan alam lingkungannya hingga mati (mencapai keabadian di atas/Utara).

Dalam toponimi kota, Malioboro memang mempunyai posisi yang strategis. Di pusat kota Yogya, Malioboro menjadi jalan lurus penghubung kraton dan Pal Putih (tugu) serta memisahkan Gedung Agung sebagai (tempat tinggal) pusat pemerintahan kolonial (politik) dan Pasar Beringharjo (ekonomi). Kawasan Malioboro merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian Kota Yogyakarta dari masa ke masa.

Pada perkembangannya, seiring dengan dinamika perkembangan kota dan banyaknya orang berkunjung sebagai wisatawan, perwajahan kawasan Malioboro mulai banyak dijejali PKL. Makin lama jumlah pedagang semakin banyak memenuhi bagian depan pertokoan, baik di sisi barat maupun timur jalan. Barang-barang kerajinan khas, suvenir kaus, hingga makanan khas dengan harga terjangkau menjadi daya tarik Malioboro bagi semua kalangan.

Tidak semua wisatawan yang datang di Yogyakarta bisa menikmati atau membeli beragam produk yang dijual di mal ataupun toko-toko dengan harga lebih mahal. Keberadaan ekonomi kaki lima ini turut merawat keterjangkauan Malioboro bagi berbagai lapisan masyarakat (Kompas, 9/2/2022). PKL adalah penyusun ekosistem ekonomi kultural yang terbangun di Malioboro.

Malioboro bukan hanya sebagai nama sebuah "jalan" seperti kawasan kota-kota lain. Apabila dimaknai sebagai ruang sosial, ia merupakan alun-alun yang mewadahi dan memotret kohesi sosial antar berbagai komunitas masyarakat dari waktu ke waktu. Malioboro bukan sebatas tempat transaksi ekonomi.

Dalam konteks kekinian, seturut Priyatmoko (2014), Malioboro bak laboratorium yang menyediakan bahan penting bagi ilmuwan sosial untuk mengkaji proses pembauran masyarakat lintas kelas dan etnik. Malioboro sebagai pasar pada dasarnya mengadopsi spirit dagang Jawa yang mengedepankan rasa persaudaraan, yaitu bathi sanak tuna sathak (rugi uang seratus tidak apa-apa asalkan beruntung mendapat saudara). Proses jual-beli model ini menjadi medium interaksi dan menyebabkan kerukunan sosial terjalin secara alami. Berbeda dengan mal dan hipermarket, lantaran di situ pembeli dan penjual tak berdialog menentukan harga, karena harga sudah tertera di tubuh barang dagangan.

Malioboro juga menjadi identitas kota, sebuah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri (Lynch, 1960 & 1972).

Malioboro menjadi ruang publik yang memiliki peran melahirkan dan menghidupi seni kehidupan yang lebur dalam pengertian tata ruang dan spirit aktivitas ekonomi. Malioboro menjadi locus dan situs yang mempresentasikan lakon hidup manusia dari dunia individual dan sosial. Keberadaannya sebagai elemen kerakyatan dari dulu sampai dengan kini memiliki peran signifikan untuk mengingatkan bahwa ada tatanan kehidupan yang merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Penataan kawasan Malioboro memang tidak bisa menafikan kenyataan bahwa ia menjadi sentra pariwisata unggulan Pemkot Yogyakarta. Hal ini tentu saja berbanding lurus dengan kepentingan kota seperti pendapatan daerah, produksi-distribusi ekonomi, kesejahteraan masyarakat hingga branding kota di mata khalayak luas, bahkan dunia.
Tapi yang harus digarisbawahi, relokasi PKL yang dilakukan harus tetap dapat menjaga bahkan memaksimalkan identitas kawasan Malioboro sebagai ruang publik. Tanpa kesadaran ini, ia hanya akan menjadi lokasi terpusat tempat bertemunya pedagang dan pembeli.

Padahal Malioboro dengan basis nilai-nilai kultural yang dimilikinya bisa memainkan peran untuk memadukan sistem ekonomi yang dijalankannya dalam orientasi kerakyatan dan kesejahteraan. Malioboro bisa merealisasikan sebagai ruang transaksi ekonomi, ruang interaksi sosial, ruang komunikasi, dan ruang hiburan komunal. Malioboro adalah kesadaran terhadap nilai-nilai tradisi, kearifan lokal, multikulturalisme, demokrasi, dan ekonomi kerakyatan.

Jika gagal maka dialektika seluruh insan manusia dan produk budaya yang dihasilkannya, tidak terwujud di wajah baru Malioboro yang kian sunyi. Ia akan seperti yang disebut dalam Jangka Jayabaya (ramalan Prabu Jayabaya) yang ditulis Ranggawarsita tentang jaman kalabendhu (bencana). Digambarkan gunung jugrug segara asat (gunung runtuh dan laut mengering) ditandai oleh kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange. Sungai hilang palung kedalamannya, karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan kualitas hubungan sosial. Pasar hilang gaungnya karena ia bukan lagi wilayah relasi sosial yang menautkan dan menyatukan.

Purnawan Andra staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek

Lihat juga Video: Satpol PP Temukan Pemilik Toko di Malioboro yang Malah Sewakan Lapak

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Gambas:Video 20detik]

ADVERTISEMENT



(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads