Penolakan terhadap kebijakan pemerintah perihal eksploitasi sumber daya alam kembali terjadi. Proyek pembangunan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo membutuhkan material batu andesit yang terdapat di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Atas kepentingan itu, masyarakat Desa Wadas diminta untuk melepaskan hak kepemilikan lahan mereka dengan cara ganti rugi. Sebagian masyarakat Wadas menolak sejak rencana tersebut disosialisasikan. Gesekan fisik dengan aparat keamanan pun terjadi, puncaknya pada 8 Pebruari yang lalu. Puluhan warga ditangkap karena dianggap menghalangi proses pengukuran lahan.
Bendungan Bener merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Dari Project Rationale dokumen proyek, Bendungan Bener air bakunya bersumber dari Sungai Bogowonto. Kapasitasnya sebesar 100,94 juta M3, mampu mengaliri lahan sawah seluas 15.500 ha, mengurangi debit banjir 210m3/detik, menghasilkan tenaga listrik sebesar 6 MW dan menyediakan pasokan air baku sebesar 1.500/detik. Intake pasokan air tersebut akan dimanfaatkan oleh Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Kulon Progo khususnya untuk kebutuhan air Bandara Yogyakarta Internasional Airport.
Dengan kemanfaatan yang begitu besar tersebut, menjadi pertanyaan mengapa sebagian masyarakat Desa Wadas menolaknya, meski sebagian lain menerima.
Konflik Pembangunan
Pembangunanisme merupakan jargon utama setelah Orde Baru berkuasa. Pada masa itu, atas nama pembangunan yang dipersempit dengan terminologi pertumbuhan ekonomi, berbagai pengrusakan alam dan pelanggaran hak asasi manusia ditoleransi. Pembangunan bendungan merupakan satu contoh yang dapat dianalisis.
Waduk Kedung Ombo yang diresmikan pada 18 Mei 1991 oleh Presiden Soeharto menghilangkan ribuan hektar lahan penduduk di tiga kabupaten (Grobogan, Boyolali, dan Sragen). Waduk serbaguna itu dimaksudkan untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan kapasitasnya yang besar yakni 725 juta M3, waduk itu dapat mengairi persawahan seluas 37.500 ha dan akan memungkinkan adanya percetakan sawah baru seluas 10.000 ha di Kabupaten Grobogan. Tenaga listrik yang dihasilkan sebesar 22,5 MW yang mampu menerangi 59.000 rumah. Selain itu diproyeksikan akan tumbuh berbagai macam industri yang tersuplai air dan energi listriknya (Elsam, 1995).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat di tiga kabupaten yang terkena imbas dari pembangunan itu terbelah. Ada yang menerima dan juga menolak. Intimidasi penguasa otoriter kala itu berhasil mentransmigrasikan sebagian besar masyarakat ke Muko-Muko, Bengkulu. Sementara yang bertahan oleh Presiden Soeharto distigma komunis, anti Pancasila, dan anti pembangunan.
Pada kenyataannya, setelah bangunan itu berdiri luas areal pertanian di pulau Jawa terus berkurang. Pada 1994/95 - 1997/98 luas alih fungsi lahan sawah di Jawa mencapai 47.577,67 ha atau 11.894,92 ha per tahun (Ashari, 2003). Tentu pemerintah dapat berdalih, berkurangnya lahan persawahan tidak ada hubungannya dengan adanya waduk karena tujuannya untuk mengairi lahan persawahan. Fakta yang dapat disebut adalah telah terjadi alih fungsi sawah, ladang, dan kebun ke fungsi-fungsi lain (pemukiman, industri, tambang). Namun, alih fungsi itu dapat dihubungkan dengan kapasitas air yang ada dalam waduk yang cenderung berkurang.
Kemampuan waduk mengaliri areal persawahan tidak lagi sesuai dengan proyeksi ketika akan dibangun. Alasan curah hujan dan perubahan iklim kemudian yang dikemukakan. Tentu alasan ini masih dapat dihubungkan dengan berbagai pengrusakan alam, terutama di wilayah-wilayah tangkapan air yang lagi-lagi yang memiliki hubungan dengan terjadinya perubahan iklim. Atas fakta tersebutlah, muncul fakta lain jumlah petani semakin berkurang. Menjadi petani yang merupakan pekerjaan mayoritas masyarakat desa dianggap tidak menjanjikan kesejahteraan. Dalam dua dekade sejak masa Reformasi 1998, setidaknya jumlah petani di Indonesia berkurang hingga 6 juta jiwa (BPS 1999-2019).
Situasi itu tidak terlalu berpengaruh secara signifikan pada masyarakat Desa Wadas. Hingga saat ini mereka mampu mengelola alam untuk kepentingan hidupnya. Ketika rencana penambangan batu andesit akan dilakukan, mereka melihatnya sebagai ancaman bagi keberlanjutan penghidupan di sana. Atas alasan itu pula mereka melawan.
Praktik pengrusakan alam yang berakibat pada degradasi lingkungan dan pemiskinan masyarakat dalam studi Blaikie di negara dunia ketiga lebih parah terjadi ketimbang masa kolonial (Piers Blaikie, 1985). Jika perilaku kekuasaan saat ini tidak ada ubahnya dengan penguasa masa kolonial, barangkali kita tidak lagi perlu menganggap Belanda di masa lalu sebagai penjajah. Mereka justru telah mengajarkan dan tetap memberi inspirasi cara berkuasa setelah Indonesia merdeka.
Barangkali Van Den Bosch dan Deandels bisa diusulkan sebagai pahlawan nasional. Sistem tanam paksa yang dijalankannya dengan cepat memulihkan krisis ekonomi di Hindia Belanda pasca bangkrutnya VOC. Demikian juga dengan capaian kerja Deandels yang dalam waktu singkat mampu merampungkan proyek Jalan Pos Anyer-Panarukan. Mereka dapat disebut sebagai bapak pembangunan dan infrastruktur pada masa lalu yang sulit tertandingi di masa kini.
Kerusakan Alam
Fase modern saat ini merasionalisasi kerusakan alam sebagai upaya mencapai kemakmuran. Inilah yang disebut oleh Beck sebagai era masyarakat risiko (Ulrich Beck, 1986). Keberanian menantang alam bukan lagi seperti di masa lalu di mana manusia berani mengarungi samudera atau melawan hewan-hewan buas dengan peralatan sederhana. Keberanian sekarang, manusia mampu hidup berdampingan dengan bahaya yang diciptakan oleh manusia sendiri, langsung atau pun tidak langsung. Fase ini terjadi setelah melalui proses internalisasi dari industri yang memproduksi berbagai tawaran teknologi dan kenyamanan hidup.
Ketika bencana-bencana baik alam maupun non alam mulai sering terjadi, pilihan yang diambil tetap mempertahankan kekuasaan kapital yang paling banyak tersisa untuk berkuasa. Kekayaan kapital memiliki determinasi pada kekuasaan politik. Demokrasi liberal mensyaratkan kemampuan kapital untuk meyakinkan masyarakat untuk memilih. Legitimasi prosedural melalui pemilihan umum sudah dianggap cukup untuk memiliki otoritas berkuasa.
Kekuasaan inilah yang membuat konsolidasi penguasaan kapital dapat terus dilakukan. Pilihan ini banyak didukung oleh para teknokrat dan intelektual yang semata-mata hendak menunjukkan rasionalisasi objektif yang berpihak pada kekuasaan. Menjadi rasional jika jauh hari sebelum sekarang berbagai kitab suci menyebutkan tentang hal ikhwal kiamat. Kiamat dengan merujuk berbagai kitab suci merupakan kehancuran yang meluluhlantakkan semesta dan kehidupannya. Mengulang-ngulang praktik pengrusakan alam demi pembangunan, menunjukkan bentuk kemandekan berpikir yang mempercepat kehancuran semesta.
Masyarakat Wadas tidaklah menolak pembangunan Waduk Bener, tetapi menolak lahan di desanya dijadikan tambang galian batu andesit. Kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan pembangunan yang disampaikan oleh pemerintah, telah dimulai dengan cara yang kontradiktif dan kontra produktif. Masyarakat Wadas sudah merasakan kesejahteraannya karena mampu membangun harmoni dengan alam. Mereka memberi contoh bagaimana bentuk pembangunan berkelanjutan diterapkan.
Justru dengan adanya penambangan, mereka berpotensi dimiskinkan oleh rencana pemerintah tersebut. Manusia dan tanah bagi masyarakat agraris merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika tanah digantikan dengan uang, mereka harus mengubah kultur penghidupannya. Uang adalah alat tukar yang saat ini menjadi komoditas urban modern. Parahnya berbagai kebijakan pemerintah didasari oleh pemikiran teknokrat dengan cara pandang urban modern. Tentulah hal ini berbeda dengan konteks pedesaan, terlebih desa-desa yang masih mempertahankan tradisi kehidupan dan penghidupannya dengan alam.
Dwi Munthaha peneliti di Bhuminara Insitute