Senin, 7 Februari 2022, arak-arakan kendaraan korps Bhayangkara memasuki area Kecamatan Bener, Purworejo. Tenda-tenda pun didirikan di Lapangan Kaliboto, Purworejo. Keesokan harinya, derap langkah sepatu lars terdengar di Desa Wadas, Kecamatan Bener. Mereka berbaris rampak secara urut kacang menuju Wadas dengan peralatan lengkap anti huru-hara. Tujuannya adalah mendampingi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Purworejo untuk mengukur lahan kuari yang bakal dijadikan Bendungan Bener (detikcom, 9/2)
Nuansa tegang menyeruak. Warga Wadas yang menolak tambang andesit sebagai bahan pembangunan Bendungan Bener pun terpantik. Warga yang menolak berkumpul di dalam masjid untuk mengikuti istighasah. Aparat berbaris rapi di depan masjid dengan dalih mengamankan situasi dan kondisi. Situasi makin panas. Puluhan orang ditangkap. Tuduhannya, mereka membawa senjata tajam dan menjadi provokator. Pada 10 Februari, mereka dilepaskan oleh kepolisian setelah mendapat tekanan dari masyarakat, tokoh agama, dan aktivis kemanusiaan.
Konflik pro dan kontra soal penambangan batu andesit memang sudah menahun. Apalagi pemerintah sedang mempercepat proyek strategis nasional sesuai Perpres No. 109 tahun 2022 tentang perubahan ke-3 atas Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan proyek strategis nasional, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin Penetapan Lokasi Bendungan Bener dan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin Lingkungan Rencana Pembangunan Bener.
Bendungan Bener merupakan proyek strategis nasional yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas irigasi, menyuplai air baku, dan menyuplai energi listrik. Potensi lain yang ingin dikembangkan adalah meningkatkan sektor perikanan, pariwisata, dan konservasi DAS Bogowonto. Nilai strategis inilah yang membuat pemerintah Presiden Joko Widodo ingin menggeber secepat kilat supaya tidak menjadi proyek mangkrak. Rakyat pun mendukung maksud baik pemerintah tersebut. Hanya saja, permasalahan terletak pada proses pembangunan Bendungan Bener. Penambangan kuari sebagai bahan material pembangunanlah yang menuai persoalan.
Berdasarkan penelitian Koerniawan Hidajat (2021), Kasus Desa Wadas Pembangunan Bendungan Bener Perspektif SDG's Desa, penambangan kuari seperti andesit sebagai bahan pembangunan berdampak pada keseimbangan alam di wilayah tersebut. Ekosistem, pertanian, perkebunan, dan hutan bakal terkena imbas. Kelestarian burung elang yang hidup di perbukitan Wadas pun terancam.
Persoalan lain, sebagian warga Wadas menolak penambangan, sementara sebagian lain menerimanya. Ketidaktahuan pada hukum membuat warga yang kontra kehilangan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Menyitir penelitian Adriansa et. al (2020) dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas Kabupaten Purworejo (Tahap I): Studi Kasus Hambatan dalam Pengadaan Tanah di Desa Wadas, warga Wadas mesti menerima konsekuensi hukum karena tidak mengajukan gugatan. Celah ini dimanfaatkan untuk mengeluarkan izin penambangan yang berkekuatan hukum.
Aparatus Negara
Secara hukum, posisi warga Wadas cukup lemah. Ditambah lagi, negara memiliki kekuasaan untuk menundukkan kaum kromo (rakyat jelata). Penundukan terhadap kaum kromo dapat dilakukan melalui proses internalisasi ideologi. Ada mekanisme ideologi yang bekerja untuk kepentingan tersebut. Althusser menyebutnya aparatus negara. Dalam konsep aparatus negara, Althusser menjabarkan relasi penguasa dengan yang dikuasai melalui dua cara, yaitu Aparatus Represi Negara (Repressive State Apparatus/ RSA) dan Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatuses/ISA).
RSA bersifat represif terhadap pihak yang ingin dikuasai. Institusi militer, polisi, ormas, malah preman diciptakan oleh kelas penguasa guna menundukkan kaum kromo karena memiliki kekuatan untuk memaksa. Dalam kasus ini, RSA dapat diidentifikasi dari penggunaan kekuatan aparat untuk mengintimidasi dan menekan warga desa yang kontra.
Dalam konteks kasus Wadas, aparat memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk memaksakan penambangan di Wadas. Menyitir pendapat Agung Wardana, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, penambangan di Wadas bukan termasuk dalam skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu, penambangan wajib mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun penambangan Wadas ternyata menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sementara itu, ISA bekerja di ranah sadar agar penguasaan dapat diterima secara wajar. Dalam konteks ini, ISA bekerja melalui internalisasi ideologi pembangunan infrastruktur. Persis seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pembangunanisme merupakan ideologi yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur guna mendongkrak kemajuan ekonomi.
Dalam praktiknya, kuasa kapital justru menempatkan pembangunan sebagai media untuk menancapkan dominasinya. Walhasil, kaum kromo mesti menjadi tumbal pembangunan. Padahal kaum kromo semestinya dilindungi oleh penguasa negara sebagaimana diinginkan oleh Bung Karno kala masih menjadi aktivis pergerakan nasional.
Peran Sejarawan
Sejatinya, konflik agraria sebagaimana terjadi di Wadas bukanlah yang pertama. Kasus penggusuran guna pembangunan jalan raya, waduk, jalan tol, dan bandara kerap terjadi sejak masa Orde Baru atas nama pembangunan. Salah satunya adalah geger pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Kala itu, warga Kedung Ombo digusur demi memenuhi ambisi pemerintah. Maksudnya memang baik, tetapi cara yang dilakukan cenderung represif. Malahan, penentang kebijakan kena label PKI oleh penguasa dengan memberi kode ET pada KTP warga. Mereka adalah tumbal pembangunan.
Tumbal adalah istilah simbolik dari Romo Y. B. Mangunwijaya (1994) untuk menyebut kaum kromo yang termarjinalkan akibat ideologi pembangunan infrastruktur. Tumbal tidak sadar bahwa mereka adalah korban program pembangunan rezim infrastruktur. Mereka yang ditumbalkan adalah subaltern yang ditundukkan oleh kuasa hegemonik.
Tumbal tak perlu ada seandainya pemerintah tidak melulu menggunakan paradigma ekonomi pembangunan, tetapi menggunakan pendekatan sejarah terapan.
Mengutip Benjamin F. Shambaugh dalam Applied History (1914), sejarah terapan adalah pendayagunaan pengetahuan masa lampau dan pengalaman guna menyelesaikan permasalahan manusia kekinian. Sejarah digunakan sebagai solusi persoalan kiwari yang dapat menentukan kebijakan publik dan rencana masa depan demi kemaslahatan bersama. Tugas sejarawan terapan adalah mengumpulkan rujukan dan membuat materi penelitian sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan (Conrad, 2002).
Pelibatan sejarawan terapan dapat menjadi masukan terkait kebijakan berorientasi pembangunan infrastruktur berkaca dari pengalaman masa lampau. Pahit-getirnya kebijakan pembangunan pada masa lampau dapat dijadikan rujukan untuk memanusiakan kaum kromo baik kekinian maupun masa depan.
Sejarawan terapan dapat memanfaatkan analisis RSA dan ISA agar negara tidak berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri. Pendekatan subaltern dapat pula dimanfaatkan oleh sejarawan terapan agar kaum kromo benar-benar dapat menyampaikan suaranya. Sejarawan terapan pun dapat menjalankan peran sebagai penyambung lidah rakyat kepada pemangku kebijakan.
Kita tentu tidak menginginkan nasib warga Wadas seperti warga sebuah desa di Tuban yang mendadak miskin setelah memborong mobil-mobil mewah pasca-ganti rugi sebuah proyek perusahaan BUMN. Lahan produktif yang menjadi sumber penghidupan lenyap, sementara kaum kromo tak siap beralih mata pencaharian.
Kita tentu tidak menginginkan munculnya pengangguran-pengangguran baru akibat pembangunan infrastruktur. Masa lalu sudah memberi pelajaran kehidupan yang sangat berharga bahwa nilai-nilai kemanusiaan jauh lebih berharga daripada proyek megah yang justru hanya menyasar kepada kelas menengah ke atas dan segolongan elite.
Kita juga memiliki pengalaman berharga tentang dampak buruk pembangunan terhadap keseimbangan alam. Dengan pelibatan sejarawan terapan diharapkan agar kebijakan yang diambil memang untuk kemaslahatan bersama. Geger Desa Wadas pun tak perlu terulang kembali.
(mmu/mmu)