Belakangan ini kualitas demokrasi di Indonesia kembali menjadi sorotan. Aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di dalam Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini, sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR, diperdebatkan kembali. Selain itu, isu mengenai perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada tahun 2022 juga menjadi tantangan bagi demokrasi lokal.
Pendeknya, sejak Reformasi hingga detik ini, Indonesia faktanya masih belum paripurna merancang demokrasi prosedural. Undang-undang yang mengatur mengenai pemilu pun berulang diganti. Yang belum teruji adalah pelaksanaan pemilu serentak pada 2024. Hasilnya baru akan kelihatan setelah 14 Februari 2024, setelah kita memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD RI di dalam satu bilik yang sama.
Ada yang mengatakan bahwa penataan demokrasi prosedural ini merupakan prasyarat terciptanya demokrasi substantif. Setidaknya, untuk mencapai demokrasi substantif, kita harus melewati proses demokrasi prosedural terlebih dahulu. Sehingga utak-atik demokrasi prosedural dianggap sesuatu yang wajar, demi cita-cita demokrasi substantif. Tapi benarkah premis itu? Mari kita uji.
Demokrasi dan Neo-Positivisme
Perjalanan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari perjalanan pemikiran manusia. Demokrasi merupakan bagian dari fakta historis yang tumbuh mengikuti alur pikir manusia. Sejak kemunculannya di Yunani Kuno, demokrasi tidak lepas dari perkembangan filsafat ketika itu. Digunakannya akal budi sebagai pengganti mitos untuk mengungkap kebenaran merupakan dasar bagi demokrasi ketika ituβdan hingga sekarang. Sebab mustahil demokrasi dibangun di atas mitos.
Demokrasi pada mulanya dibangun di atas akal budi murni yang masih otonom. Akal budi murni memiliki wewenang penuh untuk mengatur tujuan manusia, menentukan keadilan serta menilai baik dan buruk. Akal budi murni ini mampu berpikir secara objektif. Hal ini dapat kita lihat dari idealisme Plato. Demokrasi substantif semestinya merujuk kepada landasan akal budi murni ini, ketika semua pikiran manusia bisa berpikir jernih dan otonom.
Sayangnya akal budi murni yang objektif ini mengalami formalisasi dan berujung pada instrumentalisasi akal budi, utamanya setelah terjadinya pemisahan antara filsafat dan agama. Akal budi tidak lagi otonom, dan berubah menjadi alat yang netral. Neo-positivisme harus menjadi terdakwa utama yang paling bertanggung jawab atas keterpurukan akal budi ini.
Neo-positivisme, dengan tabiatnya yang fokus pada penyelidikan kejelasan bahasa, menolak setiap sesuatu yang abstrak. Hal ini menjadikan akal budi tidak lagi boleh menilai tentang keadilan, kebenaran, kebaikan, keburukan, dan sesuatu yang berbau metafisis lainnya, karena itu semua dianggap tidak konkrit dan tidak dapat diukur. Parahnya lagi, neo-positivisme mendesak semua hal agar diukur berdasarkan prosedur ilmiah (ilmu pengetahuan). Segala sesuatu yang tidak dapat diukur dengan indikator-indikator ilmiah maka akan tertolak.
Nasib demokrasi tidak ubahnya nabis akal budi itu. Demokrasi sekarang telah terpengaruh akut oleh neo-positivisme, dan hanya dibangun di atas akal budi instrumentalis yang mudah sekali diperalat. Demokrasi saat ini didasarkan pada kepentingan rakyat (interest of the people). Akal budi dibungkam oleh kepentingan rakyat mayoritas. Akal budi tidak lagi menjadi tolak ukur kebenaran dalam demokrasi, karena tolak ukurnya adalah kehendak mayoritas rakyat.
Pada era kekinian, demokrasi baru dapat dikatakan berjalan dengan baik dan benar jika telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Demokrasi harus konkrit dan bisa diukur secara jelas. Akal budi instrumentalis tadi hanya bertugas untuk mengukur kejelasan tersebut. Akal budi tidak lagi mampu kritis terhadap hakikat dari demokrasi yang sedang berjalan, apakah berkeadilan, baik, buruk, ataukah tidak.
Pada akhirnya, demokrasi di era neo-positivisme ini mengakibatkan manusia menjadi irasional. Rasionalitas manusia terkubur oleh kepentingan rakyat tadi. Padahal kepentingan rakyat tadi dapat dengan mudah dibeli dengan harga yang sangat murah.
Mimesis dalam Demokrasi
Mimesis berguna untuk membuktikan irasionalitas manusia dalam demokrasi saat ini. Mimesis merupakan suatu proses atau dorongan untuk meniru. Umumnya terjadi pada anak kecil yang daya nalarnya masih belum terbentuk secara sempurna. Apa yang dilakukan oleh anak kecil tidak lain adalah hasil dari meniru apa yang dia dapatkan dari sekitarnya, tanpa adanya kesadaran.
Perilaku pemilih dalam proses demokrasi masih tidak sedikit yang seperti mimesis. Pendidikan politik belum sepenuhnya membuahkan hasil lahirnya pemilih-pemilih yang rasional. Sebaliknya, pendidikan politik yang menjadi salah satu tugas partai politik, justru disimpangi ke arah mimesis. Rakyat diajarkan memilih dengan cara meniru pilihan panutannya, tokoh masyarakatnya, atasannya, teman-temannya, bahkan lingkungannya.
Perilaku berdemokrasi seperti itu jelas merupakan perilaku yang irasional. Akal budi benar-benar tidak dapat berfungsi dengan baik. Kondisi dan sistem salah satu faktor yang harus disalahkan dalam hal ini. Minimnya sarana yang mendorong rakyat memilih berdasarkan akal budinya menyebabkan terjadinya perilaku mimesis. Sejak awalnya saja, rakyat ditempatkan pada kondisi buruk dimana hanya dapat menerima hidangan dari partai politik, apapun itu. Dan sejak awal akal budi kita sudah dipaksa untuk tidak otonom.
Kondisi buruk lainnya ketika pilihan ditentukan berdasarkan untung-rugi secara pragmatis. Penentunya bukan lagi akal budi murni, melainkan dorongan materialistis. Sedangkan akal budi instrumentalis hanya digunakan untuk mengukur dan memverifikasi untung rugi tersebut. Keadilan, kebenaran, kebaikan dan keburukan sudah benar-benar diabaikan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa demokrasi prosedural bukanlah prasyarat dari demokrasi substantif. Prasyarat dari terwujudnya demokrasi substantif adalah kembalinya akal budi murni dalam menjalankan demokrasi. Maka dari itu, melepaskan demokrasi dari belenggu neo-positivisme menjadi sebuah keniscayaan jika kita ingin mewujudkan demokrasi substantif. Tanpa hal itu semua, sebagus apapun demokrasi prosedural yang kita bangun, demokrasi substantif hanyalah menjadi ilusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahmad Sadzali dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia