Agenda Riset Kopi Inovatif
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Agenda Riset Kopi Inovatif

Selasa, 15 Feb 2022 14:29 WIB
Aceng Hidayat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Barista meracik kopi untuk wisatawan di kebun kopi kaki Gunung Merbabu, Banyuanyar, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (11/2/2022). Selain memperkenalkan berbagai jenis kopi yang tumbuh di daerah tersebut, wisatawan juga disuguhkan racikan kopi di kebun dengan menikmati suasana udara segar kaki Gunung Merbabu. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/rwa.
Wisata kopi di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah (Foto ilustrasi: Aloysius Jarot Nugroho/Antara)
Jakarta -

Ngopi semakna dengan minum kopi. Tepatnya minum air kopi. Atau cikopi dalam Bahasa Sunda. Bagi sebagian orang ngopi sudah menjadi gaya hidup. Bagi sebagian lain merupakan kebutuhan. Pagi hari sebelum mulai aktivitas, secangkir ngopi merupakan kewajiban; siang-siang keharusan, dan malam sebuah tuntutan --terutama bagi yang sedang begadang. Kata orang, belum ngopi tak bisa fokus.

Kata ahli gizi, minum kopi berdampak positif bagi kesehatan. Kandungan antioksidannya bisa maksimal, jika minum tiga gelas sehari. Itu pun jika kopinya berkualitas.

Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar di dunia, setelah Brasil, Vitenam, dan Kolumbia. Kopi Indonesia meramaikan pasar kopi Eropa. Apalagi beberapa tahun terakhir ini, banyak kopi asal Indonesia memenangkan kontes dunia. Salah satunya kopi asal Gunung Puntang, Jawa Barat.

Namun, tahukah Anda, meski Indonesia merupakan salah satu penyuplai pasar kopi dunia, Indonesia bukan penyeruput cikopi terbanyak? Bahkan, tidak termasuk kelompok sepuluh besar. Berdasarkan data Organisasi Kopi Internasional 10 negara peminum kopi terbanyak adalah Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia, Denmark, Austria, Swiss, Yunani, Bosnia-Herzegovina, dan Jerman. Amerika dan Inggeris berada di urutan ke-11 dan 12. Konon, orang Finlandia dan Swedia rata-rata menghabiskan kopi 10 kg per hari.

Jumlah penikmat ngopi di Indonesia mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, konsumsi kopi nasional mengalami peningkatan pada periode 2016-2021. Pada 2016, konsumsi kopi mencapai sekitar 250 ribu ton, naik menjadi 276 ribu ton pada 2017. Pada 2021 naik lagi hingga 370.000 ribu ton. Jika dibagi jumlah penduduk Indonesia 270 juta, rata-rata konsumsi kopi di Indonesia hanya 1.3 kg per tahun. Kecil sekali. Sekitar 3,5 gram per hari. Sangat jauh dari rata-rata konsumsi kopi 10 negara di atas. Konon, kita masih kalah jauh dari Malaysia dan Singapura.

Budaya ngopi di negara kita diawali dengan seduhan kopi bubuk. Kini, kita mengenalnya kopi tubruk. Seduhan kopi yang ada ampasnya. Awal 1990-an, mucul kopi instan sasetan campur gula siap seduh. Mulanya kopi hitam, lalu berkembang dengan ragam rasa dan merk hingga sekarang.

Pemasaran kopi sasetan sangat masif. Mulai dari supermarket hingga warung-warung kecil pinggir jalan. Kopi seduh juga dijajakan tukang kopi pinggir jalan, pedagang asongan, restoran-restoran, dan hotel, mulai dari yang tidak berbintang hingga yang berbintang lima --di kamarnya pasti tersedia kopi sasetan ragam rasa dan merk, lengkap dengan alat pemanas air listrik, cangkir, dan pengaduknya. Hal ini menandakan kopi sasetan memiliki spektrum pasar yang sangat luas. Tua, muda, kelompok elit dan kaum alit pun menyukainya. Sangat praktis. Bermodalkan air panas, gelas plastik, dan recehan Rp 3000, kopi harum siap membelalakkan mata suntuk. Saat macet diperjalanan pun Anda tak perlu risau. Pengasong kopi panas sasetan sigap mengampiri Anda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamatan saya sebagai peminum kopi, dalam lima tahun terakhir ini, terjadi perubahan gaya minum kopi. Terutama di kalangan milenial dan kelas menengah ke atas. Mereka ngopi di kafe-kafe. Bukan sekadar untuk menghilangkan ngantuk, melainkan demi gaya hidup. Kafe menjadi meeting point atau tempat untuk bekerja. Sekadar menulis artikel, makalah, skripsi, atau membuat laporan proyek. Maka, kini untuk dapat menikmati kopi berkualitas sambil bekerja atau sekadar ngobrol-ngobrol ringan dengan kolega tidak mesti ke Starbucks atau Coffee Bean. Sebab, kafe penjaja minuman kopi lokal kini telah hadir di mana-mana. Di kota besar, kecil, dan pedesaan. Mulai pinggir jalan, kawasan bisnis hingga ke mall.

Sejarah kopi

Tanaman kopi bukan asli Indonesia. Bukan pula Nusantara. Tanaman kopi aslinya dari Malabar, India. Dibawa pertama kali ke Nusantara oleh Adrian Van Ommen. Pimpinan kapal dagang Belanda, pada 1696. Jenisnya Arabika. Kopi ini ditanam di Daerah Kedaung, sekitar Batavia, Jakarta sekarang. Pada akhir 1880-an, pemerintah Belanda memperkenalkan bibit kopi Liberika. Jenis lain yang dianggap tahan hama. Kala itu kopi Arabika kolaps akibat serangan hama.

Lalu, pada awal tahun 1900-an, kopi jenis Robusta ditanam pula di Nusantara yang lebih cocok untuk dataran tinggi. Itulah jenis-jenis kopi yang saat ini tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari Aceh hingga Papua. Melalui ragam pemuliaan, penyilangan, dan pembenihan dipengaruhi pula oleh kondisi tanah, iklim mikro, naungan, dan lain-lain kini kita menyaksikan ragam tanaman kopi dengan aroma dan cita sesuai nama daerahnya. Gayo, Lintong, Kintamani, Malabar, Lampung, di antara kopi Indonesia yang sudah mendunia.

Sejak masa Hindia Belanda hingga sekarang, Indonesia merupakan penyuplai kebutuhan kopi dunia. Penduduk Eropa dan Amerika penikmat kopi asal Indonesia. Java coffee sangat terkenal dan memiliki penggemar setia. Padahal, mereka tidak punya tanaman kopi. Sebab, kopi hanya tumbuh di kawasan tropis.

Riset Inovatif

Kini, perkopian Indonesia mengalami perkembangan menggembirakan. Perkembangan tersebut tak lepas dari karya riset inovatif lembaga riset swasta dan pemerintah. Salah satunya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa Timur. Lembaga ini telah berhasil memuliakan kopi sehingga dihasilkan bibit kopi unggul dengan produktivitas tinggi dan tahan penyakit. Hasil inovasi terapan yang sangat bermanfaat bagi petani kopi Indonesia.

Memperhatikan konsumen kopi dalam negeri dan dunia yang terus meningkat, bisnis kopi sangat menjanjikan. Baik bagi petani, pedagang besar, maupun eceran. Kedai kopi kelas warung hingga kafe terus tumbuh seiring meningkatnya kesejahteraan. Melihat kondisi seperti ini, riset kopi inovatif mesti terus dilakukan. Baik oleh lembaga riset maupun oleh perguruan tinggi pertanian.

Apa agenda riset inovatif kopi yang mendesak dilakukan? Hemat saya ada beberapa. Di antaranya; pertama, pemuliaan bibit kopi untuk menghasilkan bibit unggul dengan produktivitas tinggi, tahan penyakit, dan bisa tumbuh dalam ragam kondisi tanah. Bibit semacam ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pasar sejalan dengan peningkatan perluasan kebun kopi rakyat. Hal ini sangat penting mengingat produksi kopi Indonesia masih kalah dari Brasil, Vietnam dan Kolumbia.

Kedua, selain riset bibit dengan kualifikasi tadi, perlu juga dilakukan riset untuk menghasilkan bibit kopi kelas premium. Bisa jadi produktivitasnya rendah tapi memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Sehingga harga per kilogramnya jauh di atas rata-rata kopi biasa. Kopi semacam ini disukai kelas tertentu yang bisa abai dengan harga. Kita masih ingat bagaimana harga kopi luwak yang bisa berkali-kali lipat dari harga kopi biasa. Sebab, aroma dan citarasanya beda.

Ketiga, selain riset mengenai bibit, juga perlu dilakukan riset cara pembudiyaannya. Cita rasa dan aroma kopi sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, pupuk, kesuburan, dan tanaman naungan di sekitarnya. Sebab itu, rekayasa tanah dan kombinasi tanaman yang tepat menentukan kualitas produknya.

Keempat, selain riset pada terkait produksi, juga perlu dilakukan riset cara pengolahan. Cita rasa kopi sangat ditentukan oleh ragam teknik pengolahan. Pengolahan yang tepat bisa menghasilkan olahan kopi dengan cita-rasa yang sempurna. Sebab itu, riset mengenai hal ini penting dan mendesak dilakukan.

Kelima, pengolahan kopi sangat tergantung pada alat sangrai (roaster). Roaster terbaik saat ini masih produk Jerman. Harganya sangat mahal. Para pelaku UKM kesulitan mendapatkannya. Sebab itu, roaster berkualitas baik dengan harga terjangkau sangat dinantikan kehadirannya. Dan ini merupakan tantangan bagi lembaga riset terapan dan fakultas tinggi keteknikan pertanian.

Keenam, selain riset terkait produk perlu pula riset tata sajinya. Para barista dan pramusaji di kafe-kafe mesti tahu etika penyajian kopi berkelas sesuai dengan budaya Indonesia. Budaya luhur yang sangat menghormati pangan. Tata saji penuh cinta dan apresiasi. Tidak elok rasanya jika kopinya kopi Indonesia, konsumennya orang Indonesia, tapi tata cara penyajiannya meniru budaya bangsa lain.

Maka dari itu, riset tata saji kopi berbudaya Indonesia sangat penting. Dan, hal ini value yang sangat atraktif untuk menggaet pasar manca negara. Saya memimpikan ada kafe-kafe khas Indonesia berkelas dunia. Dibuka di Tokyo, New York, London atau Berlin. Amerika saja yang tidak bisa menanam kopi membuka 500 gerai Starbucks di Indonesia dan 30.000 di dunia. Kesempatan emas bagi jurusan pangan membuka sekolah kopi berkelas dan berbudaya. Bukan hanya riset meracik kopi yang sudah kalah cepat oleh industri.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads