Hampir dua minggu ini saya keluar-masuk ke beberapa tempat uji swab Covid-19. Bukan karena saya cek rutin. Tetapi karena ada kewajiban dari kantor yang mengharuskan untuk dinas luar. Alhasil ya mau tidak mau ya harus swab antigen rutin setiap akan berangkat dan pulang.
Karena frekuensi yg cukup padat buat bolak-balik tes, di situ saya paham ternyata kebutuhan swab sudah menjadi suatu hal yang wajib. Terutama bagi orang-orang yg akan berpergian lintas provinsi. Mau tidak mau pasti ada pemandangan antrean yang panjang setiap akan tes.
Di satu sisi ini bagus jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan akan tracing pemerintah. Tapi di satu sisi yang lain tentu jadi bumerang jika uji antigen maupun PCR hanya menjadi formalitas belaka. Singkatnya hanya untuk keperluan jangka pendek saja tanpa memperdulikan dampak yang muncul jika tidak dilakukan dengan tepat
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya kalau boleh jujur, tingginya animo masyarakat untuk memeriksakan uji swab harus perlu kita apresiasi. Itu karena sebagian masyarakat dengan rela membantu memeriksakan diri sendiri secara sadar. Entah apakah hal tersebut betul-betul dilaksanakan untuk cek setiap kondisi dari masing-masing anggota keluarga atau yang penting 'asal negatif' saja.
Opsi yang pertama tentu kita semua harapkan. Karena dengan memperbanyak testing, akan membantu pemerintah dalam memberikan gambaran utuh pandemi di lapangan. Jumlah banyak atau sedikit sama saja tidak ada pengaruhnya.
Sementara jika opsi yang kedua tentu hal ini akan membuat kita was-was. Apabila tes swab dilakukan hanya untuk formalitas, maka luaran hasilnya menjadi bias. Jika bias, maka datanya tidak bisa jadi acuan.
Apalagi dengan kondisi saat ini; varian omicron mulai pelan-pelan menunjukkan taringnya. Berdasarkan data Kemenkes per 30 Januari saja jumlah orang terkonfirmasi positif Covid Omicron sudah mencapai lebih dari 12 ribu orang. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi sejak Agustus tahun lalu pada saat gelombang kedua pandemi.
Pertanyaannya, apakah data tersebut betul-betul akurat? Saya sendiri tidak terlalu yakin. Karena gambaran datanya harusnya seperti gunung es. Yang terkonfirmasi positif jumlahnya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan data riilnya yang tidak dilakukan testing.
Berangkat dari sana lantas apakah jumlah orang yang hasil tes negatif sejatinya negatif? Bagaimana kalau lembaga uji tidak benar-benar melakukan sesuai standar prosedur yang berlaku. Bukan saya skeptis maupun curiga.
Tetapi prinsip dasarnya ada simbiosis mutualisme antara lembaga uji dengan pemeriksa. Semakin mudah dan cepat hasil uji swab yang dikeluarkan oleh lembaga uji, jumlah pendaftarnya otomatis akan meningkat juga. Karena para pendaftar tes juga tidak mau dipersulit yang terpenting syarat wajibnya terpenuhi dengan mudah dan cepat.
Untuk mengurangi hal-hal semacam itu, di sinilah pentingnya monitoring dan evaluasi kepada lembaga uji swab secara berkala. Monitoring tidak perlu dilakukan setiap bulan sekali untuk satu lembaga. Tentu tidak memungkinkan karena jumlah lembaga uji tidak sebanding dengan jumlah pegawai dari Satgas Covid dan Kemenkes.
Yang paling rasional untuk dilakukan adalah monitoring berkala setiap 6 bulan sekali atau minimal satu tahun sekali. Hal ini tentu dengan mempertimbangkan kapasitas dari jumlah SDM yang ada. Dan terpenting dapat meng-cover seluruh lembaga uji swab yang terdaftar.
Tahapan selanjutnya setelah monitoring adalah evaluasi. Langkah ini penting untuk dilakukan untuk memastikan validitas setiap hasil swab yang dilakukan. Tentu hal tersebut tetap berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan. Tetapi evaluasi ini akan update berkala sesuai jadwal monitoring.
Hal ini juga akan mempengaruhi setiap daftar lembaga yang lolos monitoring atau tidak. Jadi secara tidak langsung akan terseleksi mana lembaga yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan, mana yang tidak bisa.
Evaluasi ini tentu bukan dimaksudkan untuk mendeskriditkan suatu lembaga yang tidak lolos. Tetapi lebih kepada menjamin validitas dan kredibilitas atas setiap hasil uji yang dilakukan. Jadi jika ada yang tidak lolos monitoring, maka perlu diberikan pendampingan. Agar ke depannya dapat dilakukan perbaikan.
Tingginya animo masyarakat untuk pengujian swab tentu harus dapat diimbangi dengan validitas dan akurasi dari setiap hasil uji. Hal tersebut penting agar dapat memberikan gambaran yang valid kondisi di lapangan. Oleh karena itu monitoring dan evaluasi bagi setiap lembaga uji secara berkala penting dilakukan.
Mohammad Vicky Indra Pradicta dokter, bekerja di sektor food industry
(mmu/mmu)