Kolom

Distopia Finansial, Heterotopia Demokrasi

Andi Suryadi - detikNews
Senin, 14 Feb 2022 13:52 WIB
Jakarta -
Belakangan, perhatian terhadap Non-Fungible Tokens (NFTs) mendadak meledak. Meskipun sudah ada sejak 2014, aset digital yang mewakili objek dunia nyata mulai dari musik, seni, video hingga item permainan (game) ini baru digandrungi setahun belakangan. Bahkan di Indonesia, NFTs menjadi booming berkat anak muda yang berhasil menjual swa-foto dengan nilai fantastis mencapai miliaran rupiah.

Salah kaprah yang sebenarnya tidak disadari adalah bahwa NFT dan dunia metaverse bisa dikatakan sebagai kepemilikan eksklusif. Kepemilikan terhadap simbol status digital ini seolah-olah ingin menegaskan dan menampilkan keanggotaan dalam kelompok identitas sekaligus posisi pada hierarki sosial seperti diungkapkan Eugene Wei dalam The Washington Post. Bagi Wei, orang-orang ini berada pada level psikologis mendalam sebagai "status-seeking monkeys".

Lalu mengapa gaya baru ini seolah begitu berbahaya di tengah euforianya? Sejatinya memang tidak ada yang salah dengan para "status-seeking monkeys" yang senang memamerkan koleksi kripto, NFTs, saham, dan aset lainnya di media sosial. Hanya saja, gagasan ini sesungguhnya tanpa disadari telah menjadi kebalikan dari spekulasi demokrasi sekaligus dinamisme demokrasi itu sendiri, pemerintahan, dan formasi komunitas.

Hanya saja, layaknya segala sesuatu di bawah kolong langit, teknologi blockchain dapat menciptakan semburat fajar di ufuk kegelapan bagi demokrasi sekaligus senjata untuk melawannya, tergantung pada intensi dan pengaplikasian di tengah masyarakat.

Ilusi Perangkap Moral

Dalam sebuah artikel yang berjudul NFT Or: The Creation of Social Contract in the Digital Agora, Atanasova menyebutkan bahwa model blockchain mirip dengan filosofi klasik kontrak sosial Rousseau. Gagasan utamanya meliputi pengambilan keputusan sosial, kesetaraan relasi, dan partisipasi publik; teknologi baru menyebutnya sebagai "justifications of existence". Artinya, pilihan keinginan dan tindakan individu lebih punya daya sebagaimana nilai-nilai kebajikan yang diusung demokrasi.

Bagi Reijers et, al. (2016), konsep terdesentralisasi mendemokratisasi akses modal atau manajemen keuangan dan juga menyederhanakan proses administrasi. Model ini menawarkan tata kelola baru yang sungguh memang lebih mampu mewujudkan masyarakat demokratis. Hierarki diruntuhkan dan setiap orang (users) memiliki hak suara. Di sini juga kesempatan begitu luas untuk berorganisasi dan membangun proyek yang terdesentralisasi. Banyak hati mulai berpindah yang kian meruntuhkan hegemoni.

Layaknya pada elektoral, sistem voting juga menjadi cara pengaturan dan pengontrolan di dunia ini. Lebih lanjut, perdagangan karya seni dengan menggunakan mata uang kripto ini juga memberdayakan investor dan kreator. Sepenuhnya masa depan NFT atau sebuah proyek aset digital bertumpu pada kontrol dan dukungan kreativitas kolektif masyarakat atau komunitasnya. Bahkan, aset NFT kini juga menjadi cara bagi para filantropis untuk beramal pada negara-negara miskin.

Derma menggunakan aset seperti crypto dan NFT juga lebih dapat dipertanggungjawabkan transparansinya. Namun, perlu disadari bahwa konsep "kelangkaan digital" memiliki implikasi lain yang mungkin tak seindah bayangannya. Keterbatasan akses yang menjadi gagasan utama kelangkaan di ruang digital sejatinya menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat. Hal ini menyingkap bahwa ketimpangan masih menjadi isu klasik dan sentralnya.

Mengutip data Chainalysis misalnya, 80 persen pasar NFT dikuasai hanya oleh sekelompok kecil orang (4 persen). Hal ini sangat wajar mengingat dalam perdagangan aset digital di mana kelangkaan itu diproduksi dan dipertahankan demi menciptakan permintaan dan hasrat sebagaimana hukum ekonomi pada umumnya.

Orang-orang kaya yang sering disebut sebagai whale atau venture capitalist memang memiliki peranan penting dalam aktivitas ekonomi dengan aset digital. Pada titik inilah sebenarnya "ruang utopis" tersebut tidak jauh berbeda dengan dunia virtual dan berpotensi memperburuk segala yang telah terlegitimasi sebelumnya. Dalam perdagangan kripto misalnya, para whale raksasa memiliki pengaruh besar untuk menciptakan hype dan mendorong kenaikan harga aset atau launching proyek aset digital lainnya.

Artinya, sungguh pada posisi ini pun yang kaya tetap memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan. Proyek aset digital membutuhkan banyak biaya dan begitu pula harganya yang mungkin akan sangat sulit dijangkau oleh mereka yang selama ini hanya menatap segala lompatan besar pembangunan abad ke-21 dari kejauhan.

Akibatnya, proyek-proyek aset digital mayoritas penguasaan oleh venture capitalist rata-rata di atas 20 persen berdasarkan data Messari. Belum lagi soal harganya yang terbilang mahal membuat aset-aset digital seperti NFT dan mata uang kripto bisa dikatakan eksklusif serta telah menciptakan ilusi keadilan sosial, termasuk kesetaraan dalam tata kelola. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa semua hanyalah topeng baru para elite global dan kedok upaya membangun dunia tanpa aturan (unregulated).

Melampaui Amal

Sebagaimana upaya sebelumnya yang telah berlangsung selama ini, membawa yang paling tidak berdaya ke dalam arus ekonomi dan politik selalu dikaitkan dengan penguatan kapabilitas. Poin penting ini sering dirasa sudah dilakukan dan aplikasinya acap menampilkan ilusi keefektifan penanggulangan kemiskinan dan reduksi disparitas sosial, padahal fakta justru sebaliknya. Ketidakmampuan membongkar ideologi membuat segala sesuatunya terlihat salah kaprah, tetapi terlegitimasi dan dinikmati.

Sesungguhnya, hal ini lebih dari sekadar persoalan berposisi di maximalist decentralized atau tidak, sejatinya telah menyangkut apa yang paling berharga dalam konsep keadilan yang diusung demokrasi selama beberapa dekade belakangan.

Untuk membendung ilusi terhadap ideologi itu, struktur masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar "katup pengaman moral". Memang juga tidak dapat disangkal bahwa aset digital dengan teknologi blockchain dapat memberikan alternatif ruang yang bersifat non-hegemoni. Jika pendekatan pendidikan non formal mampu mengisi celah ini, maka bukan tidak mungkin akan membangun kekuatan sendiri dalam nature kebebasan individu.

Sebab, teknologi ini pada hakikatnya adalah alternatif di luar pasar neoliberal dan kapitalisme finansial (Kavanagh dan Miscione, 2015). Destinasi melawan sentralisasi setidaknya tetap memercik nyala optimisme terhadap demokrasi. Meskipun perlu hati-hati terhadap keterbatasannya yang mungkin menguat dalam lapisan struktur masyarakat, teknologi blockchain menjadi cara kekinian untuk bersuara dan mempengaruhi sistem sosial, ekonomi, dan politik.




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork