Tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang diplomat, pejuang, pemikir, sastrawan, dan politisi ulung asal Tunisia, Rasyid Idris. Pada 1985, ia menulis buku memoar perjalanannya melintasi berbagai benua, Min Jakarta ila Qarthaj. Dari Jakarta menuju Carthage. Dari Amerika Serikat, ia berpetualang ke China, Jepang, India, Burma, Filipina, lalu Indonesia, Paris, dan kembali ke Tunisia, tanah kelahirannya.
Istimewanya, dari sekian negara yang menjadi destinasi perjalanannya, ia justru memberikan perhatian terhadap Indonesia. Ia terpesona dengan Jakarta, Bogor, dan Bali. Ia mempunyai kenangan indah, karena Jakarta telah menjadi titik-landas perjuangan Tunisia meraih kemerdekaannya pada tahun 1956. Saya membaca buku Min Jakarta ila Qarthaj dengan penuh saksama, karena ia menceritakan pengalamannya sejak kecil hingga berada pada posisi yang terhormat sebagai orang kepercayaan Bapak Bangsa Tunisia, Habib Bourgaiba.
Rasyid Idris menginjakkan kakinya di Jakarta pertama kali pada 19 Nopember 1952 mendapatkan tugas khusus untuk melanjutkan kesepakatan antara Bung Karno dengan Bourgaiba dan beberapa pemimpin dari Mesir, Maroko, dan Aljazair yang lebih dahulu melakukan kunjungan ke Jakarta pada 1951. Mereka menjadikan Bung Karno sebagai sosok penting dalam merancang kemerdekaan bagi negara-negara yang masih terjajah, khususnya Maroko, Aljazair, dan Tunisia.
Pada tahun itu, Rasyid Idris masih mendapatkan tugas sebagai perwakilan Tunisia di Mesir, sehingga belum bisa bergabung dengan para pejuang kemerdekaan yang lebih dulu berjumpa Bung Karno di Jakarta. Tapi akhirnya, pada 1952, setahun setelah itu momen untuk bertandang ke Jakarta membawa misi khusus merancang kemerdekaan bagi negaranya datang, yang membuat ketertarikannya pada Indonesia selalu membuncah, tak pernah terputus hingga akhir hayatnya.
Ingatannya masih segar. Saat tiba di Jakarta, ia pertama kali tinggal di Hotel Tanah Abang Timur. Lalu, setelah itu ia tinggal di sebuah rumah bersama Thayyib Salim. Konon, Bung Karno yang menyewakan rumah di kawasan Menteng bagi para pejuang kemerdekaan dari negara-negara Arab itu.
Bung Karno menjadi sosok penting, karena selain mempunyai keberanian untuk melawan penjajah, ia juga dikenal memberikan perhatian terhadap negara-negara Asia-Afrika yang masih terjajah sembari mengulurkan tangan untuk membentuk aliansi melawan para penjajah. Pada 1955, Bung Karno menggelar Konferensi Asia-Afrika yang sangat bersejarah di Bandung, sehingga Bung Karno mendapatkan gelar Pahlawan Kemerdekaan.
Kurang lebih sembilan bulan Rasyid Idris tinggal di Jakarta. Ia menggambarkan Indonesia sebagai berikut, Saya berpetualang ke beberapa daerah di Indonesia, dan saya sangat menikmati keindahan panorama dan keramahtamahan warganya. Pada masa-masa itu, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi seorang diplomat dan sosok yang akan mendapatkan jabatan strategis di kemudian hari. Yang saya pikirkan hanya berjuang untuk negeriku.
Ia sangat terkesan dengan Kebun Raya Bogor dan kawasan Puncak Bogor yang sangat mempesona pada masa itu. Kawasan hijau, nyaman, dan asri membuat Rasyid Idris semakin jatuh hati pada Indonesia. Di samping itu, ia juga sangat terkesan dengan keindahan Bali. Ia menyebut Bali sebagai "surga Tuhan di muka bumi".
Pada 1979, ia menginjakkan kakinya kedua kali ke Jakarta untuk berjumpa sahabat-sahabatnya para diplomat Indonesia, yang dikenalnya saat menjabat sebagai Duta Besar Tunisia untuk Amerika Serikat (1964-1969) dan Kepala Perwakilan Tunisia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1970-1979). Intinya, ia sangat terkesan pada Indonesia. Ditemani Hamid Alkadri, ia bernostalgia momen 27 tahun yang lalu, saat pertama kali berkunjung ke Jakarta untuk merancang kemerdekaan Tunisia. Ia juga melakukan reuni dengan para diplomat dari Kementerian Luar Negeri.
Kecintaan Rasyid Idris terhadap Indonesia ditulis bersamaan dengan kerinduannya terhadap Carthage, tanah kelahirannya. Sebab itu, di dalam buku Min Jakarta ila Qarthaj, ia menjadikan Jakarta sebagai kota yang di dalamnya bisa mengenang kembali masa lalunya yang indah dan penuh jalan terjal selama menjadi pejuang kemerdekaan Tunisia. Ia pernah dipenjara penjajah, disiksa, dan diteror. Tetapi semua itu menjadi kenangan indah, karena dalam setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Dan pengorbanan terindah dalam hidup adalah menghibahkan jiwa dan raga untuk kemerdekaan negeri tercintanya, Tunisia.
Rasyid Idris merupakan sosok penting dalam hubungan bilateral Indonesia-Tunisia. Ia menjadi sosok yang dipercaya oleh Habib Bourgaiba untuk merancang kemerdekaan di Jakarta, hingga akhirnya Tunisia benar-benar meraih kemerdekaannya. Tidak hanya di situ saja, ia juga terus membangun hubungan personal yang sangat baik dengan sahabat-sahabatnya di Tanah Air.
Sejak kembali ke Tunisia pada 1979, ia didapuk sebagai penasihat di Kementerian Luar Negeri. Pada 1981, ia memimpin perkumpulan studi hubungan internasional dan menerbitkan Jurnal Dirasat Dawliyyah. Ia wafat pada tahun 2009 di kediamannya yang berada di Kawasan Carthage, tidak jauh dari kafe Syab'an, Sidi Bou Said.
Saya mendapatkan kabar, para Duta Besar RI untuk Tunisia selalu bertandang ke rumah Rasyid Idris. Ia menjadi simbol persahabatan yang sangat kuat di antara kedua negara. Berada di Tunisia, saya merasa berada di Indonesia, karena persahabatan di antara kedua negara sangat kuat. Sejak tiba di Tunisia awal Januari lalu, saya selalu diterima oleh warga Tunisia dengan senyum dan keramahtamahan yang luar biasa.
Saya, dan kita semua bangsa Indonesia, merasa berutang jasa dan budi pada sosok Rasyid Idris ini. Melalui buku Min Jakarta ila Qarthaj, ia telah mengenalkan Indonesia kepada seluruh warga Tunisia. Saya merasakan kehangatan warga Tunisia saat berjumpa warga Indonesia, baik para mahasiswa maupun mereka yang bekerja di KBRI Tunis. Sebab itu, saya sudah mengundang Nail, puteranya untuk sebuah jamuan makan di Wisma Duta Besar RI di kawasan Du Lac 1 yang asri, sebagai penghormatan Indonesia terhadap sosok Rasyid Idris. Lakal Fatihah, Ya Sidi Rasyid Idris.
Zuhairi Misrawi Duta Besar RI untuk Tunisia
(mmu/mmu)