Ada dua penggalan video bincang-bincang yang saya terima melalui grup WA selama Hari Pers Nasional (HPN) 2022, Rabu (9/2/). Pertama, obrolan Noe Firman dari pikiranrakyat.com dengan mantan Pemred Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya dan mantan Pemred Tribun Jabar Cecep Burdansyah. Kedua, Pemred kompas.com Wisnu Nugroho (Inu) dengan mantan bos Jawa Pos Dahlan Iskan.
Cecep secara khusus menyoroti fenomena podcast yang dikelola orang-orang tanpa latar jurnalis, tapi bisa mengundang penonton sangat banyak. Satu yang fenomenal adalah program Closethedoor yang dipandu Deddy Corbuzier. Lewat podcast ini Deddy punya 17,6 juta subscriber. Angka sebanyak itu tak didapat serta-merta. Jumlahnya secara bertahap bertambah mengikuti narasumber-narasumber eksklusif yang berhasil ditampilkannya untuk diajak berbincang.
Semula Closethedoor dianggap sebagai media bagi para artis atau para seleb yang tengah ditimpa masalah untuk menyampaikan klarifikasi. Mereka bisa bicara dengan nyaman, tanpa dipotong-potong. Atau justru merasa disudutkan. Juga tak khawatir beritanya akan dipelintir. Sebab Deddy siap menampilkan materi wawancara dalam bentuk video utuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Media online lantas ramai-ramai meng-amplifier hasil wawancara itu dengan angle masing-masing. Apakah mereka mengutipnya dengan atau tanpa izin menjadi tak penting. Toh Deddy pun sepertinya tak mempedulikannya. Karena dia memang diuntungkan dengan sikap jurnalis dan media yang kelasnya menjadi setara mesin foto kopi itu.
Dalam amatan selintas saya, jumlah subscriber Deddy mulai melonjak ketika dia lebih dulu dapat menghadirkan Syeh Ali Jaber yang baru menjadi korban penusukan di Lampung. Jumlah subscriber melonjak ke angka belasan juta terjadi ketika dia berhasil menjadi orang pertama dan satu-satunya yang dapat berbincang dengan Prabowo pada pertengahan Juni 2021. Video ini ditonton sampai 16 juta kali.
Kali ini saya dapat menoleransi bila media-media mainstream ikut mengutip materi perbincangan di podcast tersebut. Hal ini sebagai bentuk apresiasi terhadap Deddy. Dia satu-satunya yang dipercaya Prabowo untuk berbincang. Para jurnalis dari media mainstream harus mengakui kalah lobi dari Deddy.
Tak cuma jumlah subscribe yang terus meningkat, reputasinya pun ikut terbentuk kuat. Sejumlah menteri di kabinet Jokowi pun seolah "tunduk". Mereka satu per satu bersedia datang ke studionya di Bintaro. Bahkan untuk sekelas Wakil Presiden KH Maruf Amin pun demikian. Luar biasa!
Kata Cecep, hal itu dimungkinkan karena Deddy seorang seleb. Coba perhatikan materi wawancaranya. Ecek-ecek, kurang tajam. Tidak berani mengkritisi kebijakan-kebijakan susbtansial yang tengah menjadi perhatian publik. Deddy, kata Cecep, sekadar menghadirkan "jurnalisme cengengesan".
Ya, mungkin dalam upaya mencairkan suasana, menunjukkan kedekatan dengan narasumber, atau membuat perbincangan lebih santai Deddy memang terlihat kerap cengengesan. Deddy memang seleb atau pesohor, bukan jurnalis.
Tapi mereka yang terjun di dunia podcast saat ini banyak sekali yang tergolong pesohor. Entah itu mantan wartawan, komisaris, politisi, Dirut TVRI, hingga mantan menteri. Toh, semua pertanyaan yang dilontarkan sebetulnya ya biasa saja. Pertanyaan-pertanyaan dari wartawan senior sekelas Karni Ilyas pun demikian.
Penonton mereka semua tak ada yang semilitan di podcast Deddy. Bayangkan, sekadar ngobrol dengan produsernya yang pamitan untuk hijrah ke tempat baru saja ditonton sampan 4 jutaan kali. Gila!
Bagaimana dengan Dahlan Iskan? Kepada Inu, dia mengungkapkan kegelisahan sekaligus kecemasannya terkait kondisi jurnalisme saat ini. Setelah ada media sosial, katanya, kualitas karya jurnalisme (khususnya media online) di Indonesia hancur-hancuran. Banyak yang semata menonjolkan kecepatan tapi menyajikannya secara apa adanya.
Saya yakin banyak yang sepakat dan punya penilaian serupa dengan Pak Dahlan. Pada 1999, saya pernah berkiprah di media online, berpolitik.com milik Ahmad Muzani (kini Sekjen Partai Gerindra/Wakil Ketua MPR). Meskipun sudah ada doktrin tentang kecepatan dalam menyampaikan berita, tapi saya dan teman-teman reporter kala itu tetap harus menuliskan dengan kaidah jurnalistik yang ketat. Judul, misalnya, harus ringkas dan lugas. Materi ditulis sesuai prinsip piramida terbalik.
Tapi hal semacam itu secara perlahan mulai bergeser. Hasilnya seperti yang menjadi keprihatinan Pak Dahlan. Saat ini media seolah seperti mesin foto kopi. Sekadar menyalin atau memindahkan apa yang ada di media sosial, atau rilis dari tokoh dan suatu lembaga. Tanpa memperkaya dan mendalaminya dengan data lain yang relevan. Isi hampir semua media online nyaris seragam.
Di beberapa media online bahkan ada yang sengaja menerapkan "lazy journalism". Mereka menempatkan orang-orang yang kerjanya hanya meng-"kopas" posting-an di media sosial, vlog di Youtube, hingga acara-acara gosip.
Di media online kekinian kita jarang menemui judul-judul berita yang ringkas, tajam, menggoda. Dengan dalih demi SEO dan algoritma Google judul berita justru ada kalanya dibuat sangat panjang. Juga sengaja menyembunyikan inti cerita, (konon) agar pembaca penasaran. Serba template. Begitu pun pilihan kata baku bisa dikalahkan bila secara SEO dan Google menghendakinya demikian.
Menyajikan isu yang berbeda atau eksklusif, apalagi sampai membuat liputan-liputan investigatif seolah menjadi sesuatu yang sia-sia. Buang energi dan biaya. Belum tentu ada yang membaca. Begitu kilah yang kerap disorongkan para pengelola media.
Saya percaya hingga pada momen tertentu para pengelola media akan sadar bahwa produk berita yang dihasilkan harus berubah. Tak cuma 'gitu-gitu aja'. Kapan? Jika publik sudah benar-benar tak percaya dan tak merasa perlu lagi dengan media. Saat ini, menurut sebum survei, tingkat kepercayaan publik terhadap media cuma 48%. Ngeri ya....
Sudrajat wartawan detikcom
(mmu/mmu)