Bahagia itu (Tidak) Sederhana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bahagia itu (Tidak) Sederhana

Kamis, 10 Feb 2022 15:30 WIB
Abd Hakim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
BPS merilis provinsi di Indonesia dengan indeks kebahagiaan tertinggi dan terendah
Foto: bps.go.id
Jakarta - Bahagia itu sederhana, hanya dengan melihat senyummu. Ketika dunia seakan mau hancur, kita bercanda tertawa bersama, sederhana. Begitulah lirik yang dilantunkan oleh Wina Natalia tentang bahagia; sederhana, katanya. Apakah semudah itu kita bahagia? Semudah yang dinyanyikan Wina Natalia?

Dua Situasi

Kalau kita pernah berbelanja ke pasar tradisional, terlihat hiruk pikuk dan gemuruh seperti suara lebah yang berkerumun. Mereka rela berdesak-desakan demi keperluan sehari-hari. Pemandangan yang tak asing adalah proses tawar-menawar antar pembeli dan penjual. Walaupun harganya relatif murah, pembeli tetap saja menawar; kepuasan batin, katanya.

Setelah merasa cocok dengan harga yang disepakati, terjadilah transaksi yang sederhana. Akan terlihat senyum pertanda bahagia dari sang pembeli dan penjual. Pembeli merasa senang dengan harga tawarannya. Penjual pun senang karena barang dagangannya laku dengan harga yang cocok. Mereka menunjukkan kebahagiaannya.

Pada situasi yang berbeda, terlihat pedagang yang agak lesu. Sudah jam segini barang dagangannya masih banyak. Pedagang tersebut mencoba tersenyum, namun terlihat senyuman yang dipaksa. Walaupun pedagang tersebut tidak menunjukkan kebahagiaan, ia berusaha untuk tetap tersenyum kepada orang yang lewat, semoga ada calon pembeli yang tertarik.

Di sudut kota yang lain, banyak orang berbondong-bondong ke mall. Mereka dengan rela antre untuk parkir, karena sebagian besar pengunjung mengendarai mobil. Dengan pakaian rapi menambah gagah menawannya penampilan, para wanita tampak cantik dan menarik. Mereka memasuki mall yang dilengkapi dengan AC untuk menambah kenyamanan pengunjung.

Di sini tidak ada interaksi yang intens antara pembeli dan penjual, tidak ada proses tawar-menawar. Semua harga sudah tertera merupakan harga pas yang tidak dapat ditawar. Memang suasana lebih tenang dibanding pasar tradisional karena sedikitnya interaksi. Bisa saja senyum yang beredar pun lebih sedikit. namanya juga mall, dilarang berisik.

Para pengunjung mall akan terlihat senang dan bahagia jika menemukan sesuatu yang dicari. Meskipun barang yang dibeli relatif mahal, tapi mereka merasa puas karena cocok dengan selera dan kualitas yang diinginkan. Sebaliknya, mereka akan kecewa jika tidak menemukan kecocokan barang yang dicari sesuai keinginannya.

Dari cerita di atas dengan dua situasi yang berbeda, menggambarkan bahwa setiap orang bisa merasakan kebahagiaan. Memang sulit sekali mendefinisikan kebahagiaan. Kebahagiaan sifatnya abstrak dan subjektif; dapat dirasakan, sulit dipegang.

Tiga Dimensi

Orang yang terlihat hidup pas-pasan, hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok saja, belum tentu tidak bahagia. Sebaliknya, orang yang terlihat hidup serba ada, rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, tapi belum tentu mereka bahagia. Secara kasat mata, peluang bahagia lebih besar ada pada orang yang relatif lebih kaya. Tapi bukan suatu yang pasti.

Ya, memang bahagia itu abstrak dan subjektif. Untuk mengetahui tingkat kebahagiaan seseorang, BPS mencoba mengukurnya melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Survei tersebut dilaksanakan pada Juli-Agustus 2021 dengan melibatkan 74.684 rumah tangga sebagai responden yang tersebar di seluruh Wilayah Indonesia.

Indeks kebahagiaan ini merupakan ukuran yang ditawarkan BPS bersifat subjektif dengan skala 0 - 100. Dalam survei tersebut, responden diminta mengungkapkan persepsinya tentang bagaimana perasaannya dalam menjalani hidup sehari-hari. Ada 3 dimensi yang dilihat, yaitu dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan, dan dimensi makna hidup.

Dimensi kepuasan hidup merupakan indikator dengan capaian tertinggi yaitu sebesar 75,16. Indikator penyusun dimensi ini antara lain kepuasan terhadap pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, dan lain-lain. Pada dimensi ini, indikator keharmonisan keluarga mempunyai capaian tertinggi yaitu sebesar 82,56.

Berikutnya adalah dimensi perasaan. Dimensi ini disusun dari 3 indikator, yaitu perasaan senang, perasaan tidak cemas, dan tidak tertekan. Pada dimensi ini capaian indikatornya sebesar 65,61. Ini merupakan capaian terendah dibanding dimensi yang lain. Capaian terendah pada dimensi ini adalah dari indikator perasaan tidak cemas (57,91).

Selanjutnya adalah dimensi makna hidup. Ada beberapa indikator yang mendukung penyusunan dimensi ini, antara lain kemandirian, tujuan hidup, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri. Capaian pada dimensi ini sebesar 73,12.

Melihat Lebih Detail

Kita dapat juga melihat lebih detail hasil pengukuran Indeks Kebahagiaan. Banyak orang berasumsi bahwa penghasilan dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Hasil survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan mendukung asumsi tersebut. Semakin tinggi penghasilan yang diterima, maka nilai indeks kebahagiaan akan semakin tinggi.

Biasanya laki-laki memiliki sifat lebih terbuka, sering bercanda, dan cenderung ceplas-ceplos. Sifat ini mendukung perasaan seseorang untuk bahagia. Orang seperti ini kurang memiliki rasa penyesalan. Hasil survei menunjukkan bahwa laki-laki (71,96) lebih tinggi sedikit nilai indeks kebahagiaannya daripada perempuan (71,04).

Ada sebagian orang yang menganggap bahwa status perkawinan menentukan kebahagiaan. Pernikahan merupakan salah satu yang mendukung kebahagiaan seseorang. Bahkan, ada yang menjadikan pernikahan/perkawinan sebagai tujuan hidupnya, karena ingin hidup lebih bahagia.

Tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa orang yang telah menikah atau berkeluarga akan lebih bahagia daripada yang masih sendiri. Kebanggaan pun akan berbeda ketika KTP mereka tertulis status perkawinannya "kawin", walaupun tidak selalu demikian.

Hasil survei menyatakan bahwa mereka dengan status perkawinan menikah lebih bahagia dibandingkan dengan status lain (belum menikah, cerai hidup, cerai mati). Hal ini ditunjukkan dengan indeks kebahagiaan penduduk yang berstatus perkawinan menikah sebesar 72,10. Sedangkan yang belum menikah sebesar 71,58, cerai hidup 68,03, dan cerai mati 68,55.

Begitulah sekelumit gambaran tingkat kebahagiaan yang diukur oleh BPS. Tingkat kebahagiaan yang diukur secara subjektif menurut persepsi masyarakat. Kebahagiaan itu tidak dapat dipegang, tapi kita dapat merasakannya. Bahagia itu bisa sederhana, bisa juga rumit. Tergantung bagaimana seseorang menyikapi dan menjalani hidup ini.

Orang yang selalu bersyukur dan tersenyum terhadap apa yang diterima, merasa cukup dengan yang dimiliki tentu akan lebih bahagia. Tetapi jika selalu merasa kekurangan dengan apa yang diterima, sedih dengan nasib yang menimpa dirinya, akan sulit untuk merasakan kebahagiaan.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads