Sebuah video berkonten promosi kopi Bajawa beredar di media sosial. Video itu mengambil setting sebuah kafe nan asri dan artistik berlokasi di Bintaro. Terpampang jelas tulisan Kopi Bajawa di bagian depan gedung. Kafe ini bernuansa kental Nusa Tenggara Timur (NTT), karena dibalut dengan tenun ikat khas NTT dalam beragam corak. Sementara di meja hidangan ada sejumlah menu makanan pagi. Yang menonjol dari hidangan itu adalah kopi. Disajikan mirip iklan kapucino asal Italia dengan busa membumbung. Busa itu seperti tidak akan sirna hanya dengan lima atau enam kali seruput.
Sangat menggoda untuk bertanya, apakah kopi dengan busa membumbung itu benar kopi Bajawa? Apakah aroma kopi Bajawa di kafe ini beda dengan kopi Bajawa di dusun terpencil tempat kopi ini tumbuh dan berbuah? Dan yang lebih penting dari semua itu, seberapa besar nilai substitusi kopi Bajawa ini dalam bentuk rupiah atau mata uang lain, ketika ditampilkan di kafe mewah di Bintaro ?
Mengubah Imajinasi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan-pertanyaan terkait dapat saja dilanjutkan. Namun suatu hal pasti adalah bahwa kafe telah mengubah imajinasi dari menikmati kopi sebagai kebutuhan menjadi menikmati kopi sebagai tuntutan gengsi. Aroma dan kenikmatan kopi natural yang diseduh di gubuk tua sambil menunggu ubi di tungku batu terasa miskin, kuno bahkan jorok. Dan, kopi yang sama dapat mengangkat gengsi setinggi langit ketika kehadirannya dikonstruksikan dalam resto mewah dengan imajinasi kemodernan dalam olahan, tampilan suasana yang nyaman, disuguhkan oleh pelayanan dalam bayangan kenikmatan.
Dalam esensinya yang menawarkan kenyamanan, kemegahan, rasa, gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis demikian hampir tak punya ukuran atau standar untuk harga. Semua berlangsung absurd, ditentukan setidaknya seberapa jauh konsumen terilusi atau tertipu imaji atau simulakra ilusif yang ditawarkan pedagang jasa.
Di sini kita menjadi sadar bahwa kemiskinan di desa di tengah kelimpahan sumber daya alam, salah satunya disebabkan oleh minimnya kreativitas-imajinatif, jaringan kerja, dan kreativitas untuk membawa masuk berbagai produk keunggulan lokal ke dalam aroma dan citarasa modern. Seperti kita di bandara, tempat wisata, bar, resto, hotel, atau berbagai ruang eksklusif lainnya, kita menemukan barang-barang biasa dengan harga yang luar biasa karena berlipat-lipat nilainya.
Sebagian kita merasa situasi kehidupan demikian begitu represif karena kita tidak mampu menawar, melawan, dan terlindungi oleh pihak mana pun. Semua berbaur dalam situasi kehidupan yang dikonstruksikan dalam imajinasi yang masif, dihadirkan tidak saja dalam bayangan, tetapi juga dalam fakta kehidupan kita sebagai realitas baru: realitas ideal. Kita seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat absurd, namun nyata dampak praktisnya.
Kita semua mafhum, ke mana keuntungan terbesar terkumpul. Keuntungan sudah pasti mengalir pada para pemilik modal besar yang menguasai mata-mata komoditas jasa. Mulai dari hotel, resto, penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi, hiburan, hingga pelacuran, alkohol, dan perjudian. Namun kita sadari pula bahwa arus besar yang membawa kemodernan dalam imajinasi tak bisa dihalau. Kita sudah lama bersahabat dengan iklan yang membawa realitas-imajinatif dalam konsumsi dan perabot rumah tangga.
Telah lama kehidupan kita --sadar ataupun tidak-- telah dikonstruksikan dalam budaya modern melalui advertensi. Kita merasa hampir semua penghasilan kita tersedot. Maka, sebagian dari kita bekerja jauh lebih keras, hingga lupa dengan tanggung jawab keluarga atau sosial di sekitarnya, hanya untuk menambal kekurangan-kekurangan pokok hidupnya,
Namun konstruksi imajinatif tidak berdiri dalam ruang hampa. Yang kita ingin pertaruhkan adalah bagaimana para pemilik komoditas (petani-petani kampung) memiliki akses untuk dapat memasarkan produk mereka dalam harga yang wajar, pengolahan pasca-panen yang terjaga mutunya, semakin bertanggung jawab dan ada kepastian pada suplai dan permintaan secara kontinu. Semua ini menjadi jalan bagi pemilik komoditas untuk memupuk kesejahteraan mereka.
Dan ini berarti kita harus masuk dunia modern dengan produktivitas dan kreativitas yang lebih baik. Petani kampung tidak boleh hanya menjadi korban advertensi. Keunggulan mereka harus mendapat tempat dalam dunia modern yang dikonstruksikan sebagai realitas baru. Dalam konteks ini, promosi diversifikasi pangan lokal dalam nuansa kemodernan menjadi sebuah permenungan.
Citarasa Modern
Berdasarkan Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras (2020 -2024) Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya keanekaragaman hayati tak terkira. Kita memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah, 228 jenis sayuran, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah/bumbu. Seberapa jauh kelimpahan berkat ini membawa implikasi positif pada kesejahteraan baik ekonomi dan kesehatan? Ini sebuah gugatan yang perlu dielaborasi.
Mencermati pola konsumsi pangan yang diindikasikan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi pangan masyarakat belum menunjukkan kondisi yang ideal. Pada 2018, skor PPH sebesar 91,3, pada 2019 bergeser menjadi 90,8. Angka acuannya adalah 100. Kecenderungan pilihan konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras, yaitu sebesar 65,7 persen. Angka ini memang lebih besar dari angka yang direkomendasikan, yaitu sebesar 50 persen. Namun gambaran tentang konsumsi pangan lokal belum mencapai hal yang ideal.
Pilihan pola konsumsi yang masih cenderung pada beras, secara hipotesis bisa dipetakan penyebabnya. Salah satu yang diperkirakan menjadi masalah dominan adalah keterampilan pengelolaan yang belum memenuhi aspek higienis, peningkatan citra, citarasa, serta keterampilan pengelolaan dan penyajian, belum mampu menarik minat dan selera konsumen.
Di sini, pengelolaan, penyajian, yang mengarah kepada konstruksi imajinatif pangan lokal menuju citarasa modern perlu dilakukan. Berdasarkan data BPS, potensi perempuan yang bergerak di bidang usaha penjualan sampai dengan tahun 2020 tercatat sebesar 27,55 persen. Jumlah ini sebagian besar bergerak pada pemasaran produk pertanian olahan dan kuliner.
Jika kuliner dengan diversifikasi pangan lokal dapat diperluas dalam sentuhan citarasa dan manajemen modern, tidak mustahil mereka akan memberi kontribusi besar pada peningkatan kesejahteraan keluarga baik gizi dan kesehatan, termasuk menginjeksi semangat baru dalam mengatasi kelesuan pemasaran produk komoditas lokal.
Modernitas adalah arus yang terus bergerak. Kepiawaian kita untuk terus bergerak dalam arus ini adalah sebuah pilihan.
John L Hobamatan Direktur Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang