Cerita Parada Menghadapi "Raja Tanya"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom: Hari Pers Nasional

Cerita Parada Menghadapi "Raja Tanya"

Rabu, 09 Feb 2022 10:45 WIB
Ariyanto Mahardika
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi jurnalistik/ilustrasi pers.
Ilustrasi: iStockphoto
Jakarta -

Para peliput sidang kelima Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang menyiapkan catatan. Kru Berita Film Indonesia bersiaga mengarahkan kamera. Waktu menunjukkan hampir pukul 10.00 WIB. Para utusan daerah dan pembesar negeri memadati ruangan Gedung Rakjat yang untuk sementara difungsikan sebagai Gedung Parlemen.

Sang Ketua, Mr. Asaat berkali-kali menengok arloji sembari menanti Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno dan Mochammad Hatta memasuki ruangan. Sembilan menit kemudian, sidang yang dimulai 25 Februari 1947 itu pun dibuka.

Peristiwa yang berlangsung sembilan hari itu diliput berbagai media massa termasuk dari mancanegara. Kehadiran mereka disadari memiliki peran penting untuk mengabarkan kondisi negara yang kala itu baru bersia 18 belas bulan. Jurnalis asing dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Belanda ini digambarkan Parada Harahap, seorang pegawai tinggi di Kementerian Penerangan akan menjadi 'mata dunia'. Mereka yang akan menjadi 'mata dunia' itu mendapat sebutan 'raja tanya'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di antara jurnalis asing itu terdapat nama seperti Applegate (United Press, Amerika Serikat), Graham Jenkins (Argus, Australia), Schimmel (Reuters, Inggris), Welter (RVD), Martinot (Aneta, De Tijd, Belanda), Shahab (Arabic Press), Gleichman (Prov Dagbladen, Belanda), Corthuijs (Contact, Belanda), Jan Bouwer (Nieuwsgien, berkedudukan di Jakarta), dan Randwijk (Vry, Belanda).

Berdasar ingatan Suardi Tasrif yang ditulis dalam Visi Wartawan 45, Nieuwsgien merupakan koran yang dicetak stensilan. Pemimpin redaksinya JH Ritman yang tulisannya dikenal progresif dan secara personal dekat dengan Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes Van Mook.

ADVERTISEMENT

Parada dalam Saat Bersejarah yang terbit pada 1947 mengisahkan kehadiran mereka membuatnya berdebar-debar. Itu karena dasar sikap mereka yang skeptis dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Jurnalis asing itu akan memburu fakta di balik peristiwa, "Sedang jang tersembunji hendak ditjarinja, apalagi terasa padanja memang hendak disemboenjikan, nafsoenja oentoek mengetahoeinja makin berkobar-kobar poela. Boekankah wartawan itoe karib dari Radja Tanja?" kata sosok yang mengawali karier jurnalistiknya di Harian Pewarta Deli itu.

Lelaki yang pada 1 Januari 1922 hijrah ke Jawa ini menjadi semacam koordinator untuk pers dalam peristiwa yang berlangsung penuh perdebatan sengit itu. Rencana penambahan anggota KNIP sebagaimana termuat dalam Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946 menjadi pangkal persoalan. Penambahan anggota yang semula 137 orang dirasa perlu. Apalagi saat itu ibu kota baru saja dipindahkan ke Jogjakarta dan hendak mengesahkan Perjanjian Linggarjati.

Perjanjian itu menyulut kontroversi antara mereka yang menentang langkah diplomasi dan kelompok yang mendukung percepatan pengakuan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kabinet di bawah komando Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun jatuh dan timbul krisis pemerintahan.

Kehadiran jurnalis asing ke Malang untuk mewartakan peristiwa akbar di gedung yang sebelumnya bernama Societet Concordia ini dibawa dengan kereta api dari Stasiun Manggarai Jakarta pada 22 Februari dengan waktu tempuh 25 jam termasuk istirahat di Jogja selama dua jam. Selama perjalanan yang melelahkan itu, mereka terhibur dengan pemandangan alam nan elok.

Dalam buku yang diterbitkan Kementerian Penerangan tersebut dikisahkan, di setiap stasiun pemberhentian mereka mengamati kondisi alam sekitar dan di antara deru laju kereta tampak gunung-gunung yang sebagian menjadi kebun jagung dan sawah yang ditanami padi, serta hewan ternak seperti kambing, ayam, bebek yang dipelihara warga desa.

Sebelum di Kementerian Penerangan, Parada malang melintang di dunia jurnalistik. Tak hanya bekerja di jajaran redaksi hingga level tertinggi, dia juga mendirikan usaha penerbitan surat kabar. Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam Jagad Wartawan Indonesia menggambarkan kesuksesan mendirikan beberapa koran membuat Parada dijuluki sebagai King of Java Press. Penampilannya memang perlente, bermobil, dan piawai menjalin relasi.

Demi kelancaran peliputan jurnalis diberi akses penuh pengiriman berita. Press room pun didirikan lengkap dengan telepon, mesin tulis, kertas karbon, tinta, lem, gunting, serta surat kabar dari berbagai macam penerbit. Pengiriman berita juga tanpa biaya berkat kerja sama antara Kementerian Penerangan dengan Kantor Pos Malang. Cukup dengan paraf ketua rombongan, wakilnya atau anggota staf Kementerian Penerangan, materi berita bisa dikirimkan secara gratis.

Para jurnalis luar negeri dengan sejawatnya dari Indonesia menginap di kawasan Batu, Selekta, dan Tretes, tiga daerah berhawa dingin khas pegunungan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari Malang Kota. Konsumsi pun disediakan dengan nir-bea melalui kupon yang dibagikan.

Di dalam Gedung Parlemen para pembicara berbicara melalui mik dan terdapat pelantang sehingga suasana dan dinamika sidang dapat dicatat dengan lebih seksama. Ruangan gedung yang berbentuk semacam bola diatur dengan rapi untuk anggota lama serta sekitar 200 calon anggota baru yang hadir sebagai peninjau. Peliput yang berjumlah sekitar 50 orang diatur penempatannya sehingga saat jeda sidang bisa berbicara dengan para utusan. Penulis cepat yang mencatat pidato para pembicara ditempatkan di muka podium.

Sidang di Malang ini merupakan kali kelima; sebelumnya sidang serupa diselenggarakan tiga kali di Jakarta dan sidang keempat dihelat di Solo. Dalam sidang yang diwarnai perbedaan tajam antara lain soal sepak terjang Badan Pekerja dan komposisi anggota ini, Wakil Presiden Mochammad Hatta menyampaikan kegeraman Presiden Sukarno terhadap silang pendapat di antara peserta. Kala itu, Presiden tidak bisa menyampaikan pandangannya secara langsung karena harus kembali ke Jogjakarta karena istrinya sakit.

"Peratoeran Presiden No. 6 tidak bisa disangkal lagi bahwa itoe poen tidak meresap di hari saoedara-saoedara, tetapi oenteok kebaikan Negara adalah ini haroes ditimbang dan saja tidak bisa bitjara pandjang-pandjang mengenai hal ini, melainkan poetoesannja terserah kepada saoedara-soedara," kata Hatta menutup pidatonya.

Sidang yang berlangsung di tengah kecamuk revolusi itu pun berakhir antiklimaks dengan disahkannya Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946 menjadi undang-undang. Pleno juga memutuskan adanya pembagian elemen perjuangan kemerdekaan yang belum terwadahi di parlemen.

Parada dalam buku setebal 146 halaman itu juga mencatat kesan sejumlah jurnalis asal Belanda yang meliput peristiwa ini. Mereka mendapati tidak adanya sikap permusuhan terhadap jurnalis dari negara yang secara politik berseberangan. Dikatakan pula Bahasa Belanda masih juga digunakan sebagian kalangan di Indonesia. Mereka memandang revolusi yang saat berlangsung tidak saja di kalangan elite tetapi menyeluruh hingga akar rumput.

Ariyanto Mahardika freelancer, tinggal di Parakan, Temanggung

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads