Petani, Desa Miliarder, dan Komunikasi Pembangunan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Petani, Desa Miliarder, dan Komunikasi Pembangunan

Selasa, 08 Feb 2022 15:08 WIB
Kamil Alfi Arifin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Masih ingat dengan Kampung Miliarder di Tuban yang viral karena banyak warganya memborong mobil? Begini kondisinya saat ini.
Desa miliarder di Tuban (Foto: Ainur Rofiq)
Jakarta -

Beberapa hari terakhir ini, arus pemberitaan media-media di Tanah Air ramai memberitakan soal nasib warga dari "desa miliarder" yang tiba-tiba jatuh miskin.

Desa miliarder adalah julukan yang selama ini disematkan kepada Desa Sumur Geneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur yang warganya kaya mendadak lantaran kompensasi dari PT Pertamina atas pembebasan lahan yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan kilang minyak di sana.

Warga desa Sumur Geneng yang rata-rata adalah petani itu mengaku menjual lahan pertanian produktif mereka karena kerap dirayu oleh pihak perusahaan plat merah tersebut --dari bandrol harga tanah yang melangit sampai iming-iming diberikan pekerjaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari uang kompensasi yang berkisar puluhan bahkan ratusan miliar rupiah itulah, warga Sumur Geneng kemudian membelanjakan uang mereka dengan memborong mobil-mobil mewah. Julukan desa miliarder bermula dari, katakanlah, semacam show kemewahan ini.

Tapi, baru dua tahun berselang, desa miliarder seperti rumah kardus yang goyah, atau pesta kembang api yang hanya sebentar gemerlap, lalu dikabarkan oleh media jatuh melarat. Warga dari desa miliarder melakukan aksi demonstrasi, selain menuntut PT Pertamina memberikan pekerjaan sebagaimana pernah dijanjikan, juga mengaku menyesal telah menjual lahan mereka.

ADVERTISEMENT

Marjinalisasi Petani

Percakapan publik terkait desa miliarder itu tampak banyak dipenuhi oleh penilaian-penilaian yang sinikal dan penuh cibiran. Misalnya, soal gaya hidup konsumtif dan tontonan kemewahan.

Banyak yang mempertanyakan, kenapa uang kompensasi sebanyak itu tidak dibuat saja untuk hal-hal yang produktif secara ekonomi, untuk investasi hari depan, bukan malah memborong mobil-mobil mewah dan bergaya hidup boros dan bodoh.

Atau, kenapa mereka malah memilih menjual lahan produktif mereka yang disinyalir dapat menghasilkan puluhan juta rupiah per setiap kali panen. Kenapa tidak dipertahankan saja lahannya, tidak usah dijual ke PT Pertamina untuk dialihfungsikan menjadi kilang minyak yang justru nanti akan mengalienasi mereka sendiri.

Semua penilaian-penilaian itu mungkin ada benarnya, tapi menurut saya penuh bias dan melupakan soal penting dan mendasar, yakni problem marjinalisasi petani.

Kita tahu, sejak zaman Orde Baru, paradigma modernisasi dan model pembangunan ekonomi yang gigantik memerlukan pengadaan (atau mungkin perampasan?) lahan dalam skala besar bagi proyek-proyek pembangunan yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Dalam praktiknya, para petani menjadi pihak yang tersungkur -- (di)kalah(kan).

Hal tersebut membawa implikasi serius yang ditengarai oleh Clifford Geertz (1983) mengakibatkan apa yang disebutnya sebagai involusi pertanian. Maksudnya, pola pertanian kita mengalami kemandegan atau tidak adanya kemajuan yang benar-benar berarti. Dalam situasi keterbatasan seperti ini pula, petani, sebagaimana direfleksikan James Scott (dalam Krisdyatmoko, 2015) enggan berisiko (risk-averse) dan mendahulukan selamat (safety-first).

Di tengah-tengah transformasi ekonomi modern dan terus berlangsungnya alih fungsi lahan yang dramatis, petani semakin terdesak dalam himpitan kapitalisme yang membuat ruang-ruang keseharian dan budaya mereka berubah drastis. Mereka juga tidak mampu lagi bertahan sepenuhnya dengan tradisi subsistensi yang dihayati dan dipegangnya selama ini, yakni meninggalkan "ekonomi moral" dan mulai menganut "ekonomi rasional" yang dibawa oleh modernisasi.

Maka di titik ini, meski petani di Sumur Geneng mengaku memiliki pendapatan yang cukup besar dari hasil pertaniannya, tapi mereka sepenuhnya menyadari bahwa ke depan pekerjaan mereka terus terancam dengan ekspansi kapitalisme ruang yang terus merangsek ke wilayah-wilayah mereka.

Lebih aman dan pasti, mereka lebih baik menjualnya dengan harga tinggi dan menerima pekerjaan non-petani --sebagaimana dijanjikan dan ditawarkan PT Pertamina.

Sementara pada yang sisi lain, mereka juga semakin terobsesi dengan simbol-simbol kesuksesan dalam kehidupan modern. Belanja mobil-mobil mewah yang ditunjukkan oleh petani di Sumur Geneng setelah mendapatkan kompensasi, secara vulgar, menunjukkan hal tersebut.

Paradigma Baru

Kasus desa miliarder ini, terutama setelah munculnya aksi tuntutan kekecewaan dari warga petani terhadap PT Pertamina, adalah fenomena komunikasi pembangunan yang lagi-lagi menunjukkan dan meneguhkan bahwa model pembangunan kita hari ini masih tampak berkiblat pada paradigma lama, paradigma modernisasi. Yakni, komunikasi pembangunan yang dilakukan secara top-down dan searah, tanpa melibatkan partisipasi dan inisiatif yang muncul dari bawah, untuk memberdayakan masyarakat di sekitar pembangunan.

Padahal, secara teoretis sudah berkembang apa yang disebut sebagai Development Support Communication (DSC) yang secara konseptual mengkritik Development Communication (DC) yang dikembangkan dalam paradigma modernisasi.

DSC muncul justru sebagai kritik terhadap paradigma modernisasi dan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) kelompok-kelompok rentan sebagai kata kunci utama dalam kegiatan pembangunan (Krisdayatmoko, 2015).

Dengan bertolak pada paradigma baru, pembangunan kilang minyak Pertamina di Desa Sumur Geneng seharusnya menempatkan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai prioritas.

Sosialisasi pembangunan dan skema pendampingan berkelanjutan masyarakat setempat di wilayah pembangunan menjadi penting untuk diperhatikan oleh PT Pertamina. Bukan sekadar berhenti dengan membayar kompensasi tinggi atas pembebasan lahan milik warga petani.

Kamil Alfi Arifin mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi dan bergiat di Pusham UII Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads