Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar pada 27 Januari lalu, terdapat dialektika yang cukup unik --jika tidak ingin disebut aneh. Dalam RDP tersebut Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan statement yang cukup memantik diskursus klasik di kalangan pengamat dan akademisi mengenai penanganan korupsi di bawah Rp 50 juta. Lebih lanjut, menurutnya bagi pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara di bawah Rp 50 Juta cukup hanya mengembalikan kerugian negara tanpa harus menjalani proses hukum (ajudikasi). Hal ini dinilai sebagai langkah yang lebih efektif dan efisien, sebab lebih mendekati pada penanganan yang cepat sederhana dan berbiaya ringan.
Di satu sisi pernyataan demikian memang tidak sepenuhnya salah, sebab pada faktanya penanganan kerugian negara yang terjadi dalam tubuh birokrat selalu diarahkan menggunakan mekanisme pemidanaan, dengan kata lain seluruh bentuk kerugian negara selalu identik dengan pidana (korupsi) tanpa mengkaitkan dengan hukum administrasi. Hal demikian yang melahirkan asumsi kriminalisasi pada tubuh birokrasi. Namun demikian, pernyataan Jaksa Agung yang menyebutkan pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara di bawah Rp 50 juta harus ditangani dengan menggunakan mekanisme non-litigasi justru seakan dipengaruhi oleh asumsi awal, yang menganggap bahwa kerugian negara selalu identik dengan korupsi sehingga menciptakan kerancuan yang lebih fundamental.
Oleh karena itu, artikel ini secara sederhana mencoba meluruskan pernyataan Jaksa Agung dalam memahami penanganan kerugian negara dalam hukum pidana dan hukum administrasi, sehingga diharapkan dapat menjadi dasar pijakan dalam melakukan reformasi penanganan korupsi melalui institusi kejaksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerugian Keuangan Negara sebagai Akibat
Kerugian negara secara garis besar merupakan hal yang lumrah terjadi dalam lapangan penyelenggaraan pemerintahan. Layaknya suatu badan hukum/perusahaan, yang dalam manajemen organisasinya dapat saja mengalami kerugian, baik secara perdata maupun pengelolaan secara internal oleh anggota/pegawai. Oleh Karena itu, kerugian negara lazimnya diposisikan sebagai akibat dan bukan suatu delik (tindak pidana). Sebab pada dasarnya kerugian negara dapat terjadi dalam lapangan hukum privat (perdata), administrasi bahkan pidana (publik).
Dalam lapangan hukum privat misalnya, sangat dimungkinkan negara mengalami kerugian, seperti melalui bisnis yang dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akibat persaingan usaha yang kian meredup atau karena tingkat pasar yang lebih kompetitif. Kendati BUMN mengalami kerugian, namun kerugian tersebut masih tergolong sebagai bagian yang bersifat perdata sebab BUMN kendatipun sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara, namun ia tetap tunduk dalam lalu lintas hukum keperdataan, sebab ketika negara berbisnis seketika itu juga badan usaha (negara) telah bertansformasi menjadi badan hukum privat.
Sedangkan dalam lapangan administrasi dan pidana (publik), kerugian negara dapat terjadi akibat penyelenggaraan negara/birokrasi yang tidak efektif dan efisien dan mengabaikan rambu-rambu hukum publik yang dapat saja diakibatkan oleh moral hazard pejabat pemerintah. Namun demikian kerugian keuangan negara dalam hukum administrasi sangat berbeda dengan yang terjadi dalam lapangan hukum pidana.
Oleh sebab itu penanganan terhadap akibat kerugian negara yang dalam hukum administrasi dan hukum pidana harus dipisahkan dan tidak dapat dipersamakan, sebagai konsekuensi dari asas contrarius actus yang pernah dikemukakan oleh Paul Scholten, yang menjelaskan bahwa ketika suatu perkara diawali hukum administrasi, penyelesaiannya pun harus dilakukan secara administrasi. Begitu juga dengan hukum pidana, jika diawali oleh hukum pidana, maka instrumen penanganannya pun harus menggunakan mekanisme hukum pidana.
Antara Administrasi dan Pidana
Kerugian keuangan negara lazimnya merupakan akibat yang dapat terjadi dalam lapangan pemerintahan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun kelalaian (administratif). Dari sisi kelalaian pejabat administrasi, dapat terlihat dari kesalahan dalam pengelolaan maupun penggunaan anggaran, namun kesalahan tersebut tidak secara otomatis menguntungkan pejabat terkait. Seperti salah dalam mempertimbangkan suatu kebijakan, maupun menandatangani dokumen kedinasan, hingga kesalahan prosedur yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
Dalam kondisi demikian instrumen hukum administrasi pemerintahanlah yang bermain dan bukan hukum pidana, oleh sebab itu penting untuk setiap lembaga aparat pengawas intern pemerintahan (APIP), baik inspektorat maupun BPKP untuk selalu melakukan pengawasan secara dini sebagai konsekuensi dari early warning system.
Sedangkan dari sisi unsur kesengajaan yang dapat mengakibatkan kerugian negara harus dilihat dari dua perspektif.
Pertama, kesengajaan yang mengandung unsur dualing yang tergolong sebagai perbuatan melawan hukum dalam lapangan administrasi dan kesengajaan yang mengandung unsur dualbadrog yang merupakan perbuatan melawan hukum dalam lapangan pidana.
Dalam lapangan hukum administrasi dualing biasa diistilahkan sebagai salah kira, baik kesalahan dalam memperkirakan suatu wewenang maupun substansi pelaksanaan wewenangnya. Artinya seorang pejabat memang menghendaki sesuatu tindakannya secara sengaja yang ternyata dalam implementasi tindakannya mengakibatkan kerugian negara, namun demikian pejabat administrasi tersebut tidak memperolah keuntungan dari suatu tindakannya tersebut.
Alhasil untuk menangani pelanggaran tersebut, pejabat administrasi dibebankan untuk mengembalikan kerugian negara. Berbeda dengan dualbadrog, yang secara umum diartikan sebagai tindakan pejabat administrasi yang mengandung unsur tipuan/muslihat, kecurangan, dan suap yang memang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian pejabat terkait memperoleh sesuatu atau benefit dari tindakan yang dilakukan.
Sebagai ilustrasi, seorang pejabat melakukan mark up terhadap suatu anggaran yang pada akhirnya menguntungkan pribadinya atau memenangkan tender kepada golongan tertentu yang pada akhirnya memberikan insentif kepada pejabat terkait. Dengan demikian perbuatan melawan hukum demikian tidak dapat dipersamakan dengan dualing, hal ini setidaknya dapat terlihat dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Lebih lanjut, perbedaan kedua bidang hukum tersebut saat ini telah dimuat dalam dua instrumen hukum. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang saat ini menyediakan penanganan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara harus ditangani oleh APIP dan tidak menggunakan mekanisme ajudikasi (pidana). Kedua, jika kerugian negara tersebut ternyata mengandung unsur dualbadrog (pidana) maka mekanisme pidana harus tetap dipertahankan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, tanpa melihat jumlah kerugian negara yang timbulkan.
Kesimpulan
Pernyataan Jaksa Agung seharusnya memperhatikan dimensi kerugian keuangan negara dalam berbagai lapangan hukum, baik perdata, administrasi maupun pidana, sebab pada dasarnya kerugian negara tidak selalu diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga terjadi dalam lapangan hukum administrasi.
Lebih lanjut, penanganan kerugian negara dalam hukum administrasi dan pidana tidak dapat dipersamakan dengan dasar jumlah nominal uang, sebab kondisi demikian akan menciptakan legalitas korupsi sekala mikro. Oleh karena itu dibutuhkan serangkaian identifikasi unsur perbuatan pejabat administrasi apakah merupakan kelalaian dan kesengajaan administrasi atau merupakan murni pidana. sehingga mekanisme penyelesaiannya pun akan diselesaikan secara berbeda.
M Reza Baihaki alumnus Magister Hukum (Kenegaraan) Universitas Indonesia, CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) pada Mahkamah Agung RI
(mmu/mmu)