Pernyataan Jaksa Agung yang menegaskan bahwa pelaku korupsi di bawah Rp 50 juta tidak perlu dipenjara, tetapi cukup diselesaikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara menuai polemik di masyarakat. Imbauan itu disampaikan agar jajaran Kejaksaan dapat melaksanakan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Salah satu alasan lahirnya mekanisme tersebut karena problem penjara yang sudah over-kapasitas. Selain itu, biaya penegakan hukum terkadang justru lebih tinggi dari aset korupsi yang dikejar. Untuk satu perkara korupsi, penanganannya bisa lebih dari Rp 60 juta bahkan Rp 200 juta (KPK, 2021).
Menariknya, Pasal 4 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tipikor justru menegaskan sebaliknya, bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian seharusnya hanya menjadi salah satu faktor yang meringankan pelaku dalam proses pemidanaannya.
Pro dan Kontra
Isu ini sebenarnya telah lama menjadi bahan kajian yang menarik bagi para akademisi dan praktisi. Pertama, pihak yang setuju/pro beralasan bahwa unsur terjadinya tindak pidana korupsi salah satunya karena kerugian keuangan negara. Jika kerugian itu dikembalikan (saat sebelum dimulainya penyidikan), maka unsur korupsinya menjadi tidak terpenuhi sehingga dapat menghapus tindak pidana.
Pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena meringankan tugas negara, sebab tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga, dan pikiran dalam proses penegakan hukum. Namun implementasinya harus dengan pertimbangan yang terukur dan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Setelah melalui prosedur pengembalian kerugian keuangan negara atas tindakan yang tidak berdampak signifikan dan tidak lakukan secara berulang, pelaku akan mendapatkan pembinaan. Misal seperti korupsi dana dana desa yang minim, tindakan akan dilakukan oleh Inspektorat.
Kedua, pihak yang tidak setuju/kontra berpandangan bahwa pengembalian kerugian negara saja, secara substantif tidak mengembalikan kerugian sosial ekonomi yang telah timbul serta menghilangkan perilaku koruptif dari pejabat terkait. Pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus sifat melawan hukum dari tindakan korupsi.
Pengembalian tersebut berarti ada iktikad baik untuk memperbaiki kesalahan, tetapi bukan untuk menghapus kesalahan atau sifat melawan hukum. Kerugian memang sudah seharusnya dikembalikan melalui putusan hakim. Pidana harus dapat berdampak ganda terhadap pemulihan kerugian dan penjeraan terhadap perilaku.
Berdasarkan Pasal 35 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara memang harus dilakukan penggantian/pengembalian dengan mengikuti aturan administrasi. Pengembalian tersebut umumnya timbul akibat kelalaian dalam pelaksanaan kewajiban dan pengembaliannya terkait dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Jika kerugian itu timbul akibat tindakan korupsi maka sudah seharusnya tunduk pada UU Tipikor dan tidak berlaku lagi domain hukum administrasi seperti pengembalian, sehingga proses pidana harus tetap berjalan. Oleh karena itu harus dipisahkan antara kerugian negara yang masih menjadi domain hukum administrasi dan kapan kerugian itu masuk dalam ranah hukum pidana.
Upaya Alternatif
Dalam hukum pidana klasik filosofi pemidanaan yang dibangun lebih bersifat pembalasan dan menciptakan rasa takut. Sementara dalam pidana modern, pemidanaan sudah beralih ke arah reintegrasi sosial dan harus sesuai dengan tujuan pemidanaan yang ingin dicapai. Filsafat ini pula yang mendasari munculnya sistem dua jalur (double track system) dalam konsep pemidanaan di Indonesia.
Sebagai penganut double track system, Indonesia sudah seharusnya menempatkan dua jenis sanksi dalam kedudukan yang setara (alternatif-kumulatif), yakni sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan, sementara sanksi tindakan bertolak dari ide untuk apa diadakan pemidanaan itu.
Menurut Charles Zastrow (1995), salah satu perwujudan sanksi tindakan ialah seperti sanksi kerja sosial. Kerja sosial merupakan tindakan atau kegiatan profesional untuk membantu individu atau kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan. Kegiatan tersebut harus dijalani oleh terpidana tanpa dipenjara serta tanpa menerima bayaran karena sifatnya sebagai pidana (works as a penalty).
Jika itu diwujudkan, tentu kita berharap narapidana akan lebih bermanfaat dalam menjalani hukuman. Penggunaan konsep ini akan menciptakan fleksibilitas penerapan sanksi serta merupakan upaya alternatif dari sanksi pidana yang tidak seutuhnya dapat menjamin keberhasilan pemidanaan.
Sayangnya konsep sanksi kerja sosial belum dikenal dalam UU Tipikor. Meskipun dalam aturan a quo hanya mengenal konsep denda dan pidana, tetapi penerapan instrumen pidana dan pemidanaan haruslah didayagunakan secara selektif agar tidak kontradiktif dengan kebijakan pengelolaan tahanan yang over capacity.
Menurut data Kemenkumham, daya tampung lapas dan rutan di seluruh Indonesia hanya sekitar 130 ribu orang. Faktanya, lapas tersebut diisi oleh sekitar 271 ribu orang atau kelebihan kapasitas hingga 104%. Kelebihan kapasitas penjara hampir menjadi problem setiap negara, kelebihan kapasitas terjadi di Italia (kejahatan serius) 20%, Iran 53%, Bolivia 263%, bahkan Filipina mencapai 363%.
Selain itu, penerapan sanksi memang harus di desain untuk meminimalisir keuntungan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Kebanyakan dari kita melakukan yang terbaik terhadap apa yang kita punya atau kita akan memaksimalkan keuntungan di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu.
Pengembalian kerugian keuangan negara adalah sesuatu yang sudah semestinya dilakukan menurut UU Tipikor. Hanya saja proses pengembalian kerugian keuangan negara dalam hukum pidana lebih ditekankan pada penjatuhan sanksi oleh hakim pada proses persidangan.
Penghitungan kerugian negara melalui proses penegakan hukum tersebut semestinya tidak hanya dihitung dari kerugian langsung, tetapi juga harus mempertimbangkan kerugian total, seperti kerugian bersih, biaya penegakan hukum, dan bunga yang akan timbul dalam proses tersebut.
Dengan kata lain, penanganan korupsi di bawah Rp 50 juta ini dapat menggunakan treatment sanksi tindakan (kerja sosial) sebagai upaya alternatif dari problem pemidanaan serta pengembalian keuangan negara secara optimal, dengan mempertimbangkan seluruh biaya kerugian yang timbul (sarana sanksi denda) dalam proses penegakan hukum pidana.
Irwan Hafid, S.H, M.H peneliti Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Universitas Islam Indonesia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini