Beberapa waktu lalu, terdapat aksi penyampaian keluhan dari sekelompok individu terkait asuransi unit link. Kelompok ini telah melakukan berbagai aksi dan usaha untuk menuntut pengembalian premi 100% dari total jumlah premi yang sudah mereka bayarkan sejak polis (perjanjian) asuransi tanpa persyaratan apapun, kepada tiga perusahaan asuransi jiwa yakni Prudential Indonesia, AXA Mandiri, dan AIA Financial.
Sebenarnya ketiga perusahaan tersebut telah mengupayakan beberapa kali dialog untuk mencari solusi penyelesaian dengan mereka. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah memfasilitasi terjadinya mediasi di Kantor Wilayah serta Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun selalu gagal dan tidak berhasil mencapai titik temu.
Berbagai upaya lainnya juga dilakukan oleh kelompok ini untuk mendapatkan tuntutan mereka, seperti menyuarakan keluhan mereka ke pihak Komisi XI DPR RI, Bareskrim POLRI, hingga Ombudsman agar lembaga terkait melakukan penyelidikan/penyidikan pada perusahaan asuransi untuk permasalahan yang mereka hadapi hingga menginap di kantor perusahaan asuransi.
Dari permasalahan yang dipersengketakan dan uraian di atas, untuk lebih mudah dipahami pembaca yang bukan orang hukum, penulis secara singkat dan sederhana melakukan analisis hukum dari segi hukum asuransi, hukum penyelesaian sengketa, dan aspek Best Practice Supervisory atas persengketaan dan tuntutan kelompok ini.
Perlu diketahui bahwa asuransi diwujudkan fisiknya dalam sebuah dokumen yang dinamakan polis. Polis adalah perjanjian asuransi antara pihak pemegang polis (nasabah) dengan pihak perusahaan asuransi yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak, syarat-syarat, ketentuan serta kondisi penutupan asuransi.
Sifat dan keberadaan polis sebagai suatu perjanjian dan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan perusahaan asuransi, sehingga semua pihak dan semua lembaga harus dan wajib untuk menghormati polis atau perjanjian asuransi.
Karena polis sebagai perjanjian hanya mengikat pemegang polis (nasabah) dan perusahaan asuransi, maka metode dan cara penyelesaian setiap sengketa diatur dalam polis yang wajib dipatuhi nasabah dan perusahaan asuransi. Selain itu, polis yang satu dengan yang lain belum tentu sama syarat-syarat dan ketentuannya.
Oleh karena itu, cara dan tempat yang tepat untuk menyelesaikan sengketa asuransi adalah dengan mengacu pada klausul yang telah tertera pada polis. Dalam klausul penyelesaian sengketa polis, tercantum bahwa setiap sengketa diupayakan penyelesaian secara musyawarah.
Jika tidak berhasil, maka pemegang polis (nasabah) dapat memilih penyelesaian melalui Mediasi atau Arbitrase atau pengadilan. Penyelesaian secara Mediasi dan Arbitrase dilakukan di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) sejak Januari 2021 dan pihak nasabah tidak dipungut biaya (gratis) untuk Mediasi.
Sebelum LAPS SJK didirikan, Mediasi, Ajudikasi, dan Arbitrase di sektor jasa keuangan asuransi dilakukan oleh Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). BMAI yang didirikan oleh pelaku usaha perusahaan asuransi dan reasuransi pada tahun 2006 dan telah menyelesaikan sengketa asuransi selama 15 tahun hingga akhir tahun 2020.
BMAI dan lima LAPS dari sub-sektor jasa keuangan yang lain, harus dilikuidasi/ditutup karena LAPS SJK sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Terintegrasi yang direncanakan oleh OJK telah didirikan dan mulai menyelesaikan sengketa asuransi dan jasa keuangan lainnya.
LAPS SJK yang pembentukannya didasarkan pada POJK Nomor 61/POJK.07/2020 menjadi harapan industri jasa keuangan dan terutama para konsumen untuk mencari penyelesaian sengketa saat ini dan di masa depan.
Pembentukan LAPS SJK juga sebagai pelaksanaan dari Roadmap OJK tentang Penguatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dan Strategi Perlindungan Konsumen Keuangan.
Dengan enam asas dan prinsip yang dianut LAPS SJK dalam penyelesaian sengketa: independen, adil, efektif dan efisien, serta mudah diakses, dan dipercaya oleh Konsumen dan PUJK sebagaimana bunyi Pasal 2 huruf a dan b POJK Nomor 61/POJK.07/2020, sudah sepatutnya semua pihak mendorong dan mempercayai penyelesaian sengketa asuransi antara kelompok tersebut dengan perusahaan asuransi supaya dilakukan di LAPS SJK.
Timbul pertanyaan, mengapa kelompok tersebut tidak berupaya menyelesaikan sengketa mereka di LAPS SJK? Mereka pun tidak pernah ke BMAI padahal sengketa mereka telah timbul sebelum tahun 2021 .
Kelompok tersebut mengklaim bahwa keluhan mereka tidak dapat ditangani oleh LAPS SJK, dengan alasan karena kasus mereka adalah tergolong kasus mis-selling dan masif. Sesungguhnya alasan tersebut kurang tepat karena di BMAI kasus mis-selling yang tidak masif pun juga dapat ditangani.
Selain itu, kasus yang mereka adukan, tidak/belum tergolong masif, karena yang dimaksud masif adalah jika mayoritas atau semua nasabah dari satu perusahaan asuransi mengadukan kasusnya.
Seperti yang terjadi pada salah satu perusahaan asuransi, yang mana jutaan nasabahnya tidak dapat mencairkan manfaat polis, karena perusahaan tidak lagi mampu membayar hak-hak pemegang polis dan kewajiban finansial lainnya.
Sementara ketiga perusahaan asuransi jiwa yang dikeluhkan oleh kelompok ini adalah perusahaan yang kuat dan sehat finansialnya. Keluhan nasabah termasuk yang mis-selling, akan dapat diselesaikan di suatu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa seperti BMAI dan LAPS SJK, jika pihak nasabah (pemegang polis) bersedia melakukan dialog antara nasabah dan wakil/pihak perusahaan asuransi dalam suasana yang kondusif dengan Mediator, tidak memaksakan kehendak sendiri, dan mengindahkan aturan dan tata cara mediasi.
Perlu diingat bahwa perjanjian di polis asuransi adalah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi, oleh karena dalam Mediasi dan Arbitrase pun, hanya dapat diselesaikan secara individual, antara nasabah dengan perusahaan asuransi yang menerbitkan polisnya.
Jika di LAPS SJK tidak berhasil, maka upaya dan tempat terakhir adalah ke pengadilan dan bukan secara memaksakan kehendak dengan cara apa pun. Upaya melakukan tekanan yang dilakukan seperti salah satunya menduduki kantor adalah suatu perbuatan yang tidak tepat.
Apalagi jika demo yang dilakukan berjalan di luar peraturan yang berlaku, maka tindakan tersebut dapat dipermasalahkan secara hukum oleh perusahaan asuransi dan juga pihak Kepolisian ataupun SATGAS COVID-19, karena telah mengganggu kegiatan masyarakat umum, dan juga melanggar protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19.
Demikian juga ternyata ada beberapa individu yang keluhannya sudah diselesaikan dan sudah membuat pernyataan bahwa klaim atau keluhannya sudah diselesaikan, tetapi masih ikut demo dan mengajukan tuntutan.
Mereka ini tidak lagi mempunyai hak untuk melakukan suatu tuntutan apalagi ikut melakukan demo dan mengemukakan sesuatu tuntutan. Saran penulis agar mereka ini jangan lagi menjadi provokator karena hal itu rawan sekali terhadap suatu tuntutan hukum.
Jika dalam tuntutannya kelompok ini mendalilkan atau memberikan alasan bahwa telah terjadi mis-selling atau pemberian informasi yang tidak benar, atau penipuan oleh tenaga penjual polis atau agen asuransi, hal itu haruslah dapat dibuktikan dan terbukti. Jika tidak, maka mis-selling dan penipuan tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengembalian premi.
Kesimpulan
Dari uraian dan analisis di atas, penulis menyimpulkan bahwa dengan bergerombol, demo, dan menduduki kantor perusahaan asuransi, mengadukan dan membawa kasus ini ke berbagai Lembaga negara, kecuali OJK selaku pengawas perasuransian, adalah sesuatu perbuatan yang tidak tepat.
Oleh karena itu penulis menyarankan kepada kelompok individu yang menyampaikan keluhan tentang asuransi unit link agar kasus yang dihadapi, secara individual (nasabah demi nasabah) membawa kasus/sengketanya ke LAPS SJK untuk diupayakan penyelesaian.
Saya percaya bahwa LAPS SJK akan mengupayakan penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dan jika tidak berhasil diselesaikan di LAPS SJK, supaya dibawa ke Pengadilan Negeri untuk mencari dan mendapatkan penyelesaian akhir yang seadil-adilnya sebagai Lembaga Yudikatif yang wajib dan harus dihormati oleh setiap orang termasuk OJK, DPR RI, Perusahaan Asuransi sebagai PUJK, dan Kelompok individu ini.
Penyelesaian sengketa bisnis tidak tepat dilakukan melalui pendekatan penyelesaian secara politis, apalagi bernuansa tekanan politis, dan jika hal itu dipaksakan oleh pihak manapun, akan sangat berdampak pada iklim investasi dan dapat menjadi suatu preseden yang buruk dalam penyelesaian bisnis di Indonesia, yang pada akhirnya juga menyia-nyiakan keberadaan LAPS SJK. Semoga hal itu tidak terjadi.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., Dosen senior hukum asuransi Program Sarjana dan Pascasarjana pada FH UI. Pernah menjadi Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI), AAUI, dan ASEAN Insurance Council, konseptor BMAI, Pengawas dan Ketua terakhir di BMAI, Ahli Asuransi, dan telah menjadi mediator dan arbiter untuk sengketa asuransi sejak tahun 2000.
(ncm/ega)