Sayangnya, sejauh yang saya perhatikan, tak ada satu pun anak atau orangtua yang mampir, apalagi nongkrong di arena baca itu. Anak-anak lebih antusias bermain di arena lainnya secara berganti-ganti, sementara orangtua atau pendampingnya sebagian ikut bermain bersama, sisanya menunggu di pojok setiap arena bermain.
Selain di mall, di beberapa ruang publik seperti stasiun kereta, museum, RPTRA juga menyediakan sudut baca. Namun, situasinya hampir sama dengan di mall. Buku hanya tergeletak dalam kesepiannya.
Menyediakan lingkungan literasi adalah sebuah upaya awal yang patut diapresiasi. Namun, itu bisa disebut sebagai prasyarat saja. Tersedianya ruang baca yang nyaman, buku-buku terbaru yang fullcolour, serta alat permainan lainnya tidak serta merta membuat anak akan datang dan mencintai kegiatan literasi. Pun berlaku bagi orang dewasa. Perpustakaan mewah dan nyaman, dengan fasilitas buku dari dalam dan luar negeri, jurnal, koran, dan wifi tak lantas membuat mereka setiap hari berbondong-bondong datang dan menjadikan perpustakaan sebagai tempat nongkrong, layaknya kafe atau angkringan di pinggir jalan, yang tiap hari ramai dan terlihat bergairah.
Begitulah salah satu tantangan besar dalam membangun budaya literasi yang saya temui sejak tahun 2012 bergelut di bidang literasi.
Tantangan
Saat mengajar di salah satu desa terpencil di Aceh Utara, saya mencoba mengajak pihak sekolah untuk menghidupkan kembali perpustakaan sekolah yang sudah lama menjadi gudang. Bukan pekerjaan mudah saat memulainya. Mulai dari meyakinkan Kepala Sekolah, lalu guru-guru, dan selanjutnya kepada siswa sendiri yang akan menjadi pengurus dan pengguna perpustakaan.
Setelah pindah mengajar di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan saya membawa semangat yang sama, ingin membangun budaya literasi pada anak. Situasinya lebih sulit dibanding di Aceh. Jangankan perpustakaan, ruangan kelas saja masih belum cukup sehingga sekolah ini memberlakukan sistem belajar pagi-siang. Tapi bukan berarti otomatis jalan tertutup. Setelah ngobrol dengan Kepala Sekolah, gudang kecil di sudut sekolah pun kami sulap menjadi perpus mini.
Hal di atas terjadi di banyak daerah di Indonesia. Tahun 2015, saya berkeliling ke beberapa sekolah, lalu melatih petugas perpustakaan dan guru se-Provinsi Gorontalo. Dalam pelatihan, hampir semua peserta mengeluhkan hal yang sama: di sekolah sudah tersedia buku baru yang colourfull, ruangan perpus ditata seramah anak mungkin, tapi belum banyak anak yang bisa konsisten ke perpus. Mereka hanya datang sesekali, selebihnya bosan. Atau kalaupun mereka datang karena memang ditugaskan oleh gurunya. Apa masalahnya?
Baik di kota dengan infrastruktur pendukung literasi yang lebih baik atau di desa yang masih minim dalam banyak hal, tantangan membangun budaya literasi hampir sama. Hanya titik startnya saja yang berbeda. Jika di kota sudah mulai memikirkan bagaimana memaksimalkan prasyarat yang sudah ada, di desa masih pada tahap menyiapkan prasyaratnya.
Literasi Kreatif
Tahun 2013, saya menjadi konsultan program Perpuseru, program CSR salah satu lembaga yang berpusat di Amerika, di beberapa daerah Indonesia. Di perpustakaan daerah yang menjadi dampingan lembaga ini, saya melihat suasana yang baru. Jika umumnya image perpustakaan adalah gedung tempat membaca, jauh dari kebisingan, sehingga akhirnya membosankan, di sini berbeda.
Seperti nama programnya, Perpuseru, perpustakaan disulap menjadi tempat kegiatan edukatif-sosial warga sekitar yang menyenangkan dan bernilai ekonomis. Selain menyediakan buku-buku bacaan umum, di perpus ini juga banyak buku-buku terapan, misalnya cara membangun komunikasi dan personal branding, cara berternak lele, ilmu praktis pemasaran, dan manajemen keuangan rumah tangga. Ilmu-ilmu yang memang dekat dan dibutuhkan untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Di perpus ini, masyarakat yang terbentuk dalam komunitas-komunitas hobi melakukan aktivitas membatik, bermain musik dan drama, dan didukung dengan pelatihan dan pendampingan mengoperasikan komputer, menjual produk secara online, menulis, dan masih banyak lagi. Dengan strategi ini, tentu saja masyarakat akan senang dan intens nongkrong di perpus karena kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Ini adalah salah satu strategi dalam membangun budaya literasi berbasis masyarakat.
Belajar dari situ, saya meyakini, budaya literasi akan mudah kita bangun dengan berbagai aktivitas literasi yang kreatif, yang relevan dengan kebutuhan sasaran. Literasi kreatif artinya keluar dari anggapan dan aktivitas literasi umum, yaitu pandangan bahwa literasi hanya sekadar membaca buku, sambil duduk tenang, dan hanya dilakukan di perpustakaan.
Tahun 2015, bersama Perpustakaan Daerah Gorontalo, kami "membawa perpustakaan" ke taman. Maka, jadilah Komunitas Perpus Taman, di alun-alun Kabupaten Gorontalo. Seperti Ki Hajar Dewantara membuat "Taman Siswa", budaya literasi juga mesti dibangun dengan cara seperti bermain di taman. Berbagai aktivitas literasi kreatif kami lakukan setiap minggunya bersama siswa perwakilan sekolah dan anak-anak di sekitar alun-alun.
Bagaimana dengan gedung perpustakaannya? Untuk menghidupkan perpustakaan, tiga kali seminggu, kami mengadakan program "wisata buku" dengan mengundang anak PAUD, TK, dan SD di sekitar perpustakaan secara bergantian. Kegiatan ini ternyata membuat anak makin sering ke perpustakaan, di luar kegiatan wisata buku.
Cara-cara di atas sebetulnya tidak baru-baru amat. Sebelumnya, pihak perpustakaan di Gorontalo sudah biasa keliling kampung atau taman untuk menggelar mobil pintar yang berisi buku dan mainan anak. Awalnya, anak antusias dan senang. Namun tak bertahan lama. "Lama-lama anak-anak bosan," cerita staf perpustakaan.
Mengundang siswa ke perpustakaan juga sudah pernah dilakukan, biasanya untuk tujuan sosialisasi program-program terbaru atau perayaan-perayaan tertentu. Yang membedakan bentuk kegiatan literasinya, teknik fasilitasi dan pendampingannya, serta keyakinan besar dan konsisten bahwa membangun budaya literasi adalah hal mutlak dilakukan sejak dini.
Kembali ke arena baca di mall tadi, kegiatan literasi kreatif adalah kunci untuk menghidupkannya. Saya membayangkan, setiap hari, atau minimal weekend, ada petugas khusus dengan kostum lucu (misalnya, kostum berbentuk buku, pohon, atau Doraemon) yang mengajak anak-anak mampir ke arena baca. Lalu mereka mendongeng cerita pembangun karakter, mengajak anak tebak-tebakan dan bernyanyi lagu daerah dan lagu nasional, bermain boardgame yang mengenalkan tentang budaya Indonesia, games team building antaranak dan orangtua/pendampingnya dengan menggunakan buku sebagai propertinya, atau lomba orangtua membacakan buku untuk anaknya.
Dengan berbagai aktivitas literasi kreatif di atas, budaya literasi akan lebih mudah terbangun. Membangun budaya literasi akan sulit jika hanya dilakukan berbasis program atau peraturan pemerintah saja. Landasannya harus mengakar: literasi adalah perintah Tuhan yang pertama (dalam ajaran Islam) untuk menuntun manusia menjalani kehidupan yang lebih mudah dan bermanfaat. Karena itu, budaya literasi kreatif idealnya dibangun sejak dini di rumah, sekolah, lingkungan permainan, balai desa, mall, taman, dan di ruang publik lainnya, selain di perpustakaan sendiri.
Milastri Muzakkar founder Generasi Literat
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini