Sepanjang 2021 lalu, ancaman perubahan iklim kian terasa nyata bagi masyarakat di seluruh dunia. Mulai dari banjir hingga gelombang panas yang menimbulkan kebakaran hutan, masyarakat semakin menuai dampak dari peningkatan suhu bumi. Sebagai konsekuensinya, perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam hubungan internasional kontemporer dan menjadi agenda politik prioritas bagi berbagai negara. Meskipun berbagai langkah telah diambil, belum terdapat pembentukan rezim serta kerangka kelembagaan yang mumpuni untuk mengatasi perubahan iklim dan serangkaian bencana alam yang mengikutinya.
Pergeseran
Kajian hubungan internasional awalnya berfokus pada pendekatan keamanan tradisional yang mengedepankan isu-isu high politics, seperti mengenai perang atau konflik perbatasan antarnegara. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, orientasi ilmu hubungan internasional mulai mengalami pergeseran. Isu-isu low politics yang berkaitan dengan permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan berkesempatan untuk masuk dan mewarnai diskursus hubungan internasional.
Pada 1972, isu lingkungan mulai memasuki agenda hubungan internasional dengan diadakannya The United Nations Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia. Sejak saat itu, komunitas internasional telah berupaya untuk menangani masalah-masalah yang mengancam keberlanjutan bumi. Salah satu kisah sukses komunitas internasional dalam merumuskan solusi atas ancaman perubahan iklim adalah Protokol Montreal, suatu perjanjian di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berfungsi untuk menghentikan pengikisan lapisan ozon oleh zat berbahaya seperti klorofluorokarbon (CFC) dan hidrofluorokarbon (HCFC).
Kendati dunia internasional masih bergulat dengan pandemi Covid-19, isu perubahan iklim semestinya tidak lantas dipinggirkan begitu saja. Seperti pandemi Covid-19, perubahan iklim juga dapat bersifat mematikan jika penanganannya terus ditunda-tunda. Penanganannya turut memerlukan aksi kolektif yang bersifat lintas batas negara.
Pada 2020, pemerintah negara seharusnya menetapkan target pengurangan emisi yang lebih ketat dan menyerahkan target Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui ke Sekretariat Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Sebagai akibat dari pandemi, hanya terdapat segelintir negara yang melakukan hal ini dengan tepat waktu. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan peminggiran dari isu-isu iklim dan lingkungan, yang ditandai dengan penurunan kemauan politik dan pendanaan karena sebagian besar perhatian dan sumber daya negara lebih dialokasikan untuk penanganan pandemi.
Katalis
Aktivitas manusia dan industri yang menghasilkan emisi karbon menjadi penyebab dari kenaikan suhu bumi. Fenomena globalisasi --peningkatan arus barang, jasa, modal, orang, dan gagasan melintasi batas-batas internasional-- menjadi katalis dalam proses tersebut. Beberapa dampak utama dari globalisasi adalah kemunculan pasar-pasar baru serta aktor-aktor baru, seperti perusahaan transnasional (TNC).
Secara umum, negara akan berusaha untuk bersaing di pasar global dengan mengimplementasikan kebijakan yang berpusat pada deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Meskipun strategi ini mungkin akan mendorong perekonomian negara dengan membuka jalur investasi asing, ia juga kerap diasosiasikan dengan praktik deforestasi hutan dan degradasi lingkungan.
Dalam perbincangan mengenai penanganan perubahan iklim, terdapat konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara maju mampu menjadi makmur secara ekonomi karena emisi gas rumah kaca yang telah dilakukan sejak Revolusi Industri. Oleh karena itu, negara-negara maju dianggap bertanggung jawab untuk membagikan teknologi, pengetahuan, dan pendanaan kepada negara-negara berkembang untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Nyatanya, penyediaan bantuan dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2016 sampai 2020 yang dijanjikan dalam Konferensi Para Pihak (COP) belum dipenuhi oleh negara-negara maju.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tata Kelola
Pada masa kini, arus globalisasi hampir tidak mungkin untuk dihentikan. Persoalannya adalah bagaimana mendistribusikan dampak positif dari globalisasi ke seluruh masyarakat dunia. Beberapa akademisi seperti Elinor Ostrom menyoroti potensi kemunculan bentuk tata kelola global yang lebih beragam dan multi-polar, atau suatu tatanan 'polisentris' yang bersifat lebih inklusif. Pandangan ini sejalan dengan perspektif transformasionalis dalam memandang globalisasi, seperti yang pernah dikemukakan David Held dan beberpaa koleganya dalam buku Global Transformations: Politics, Economics, and Culture.
Dalam perspektif globalisasi transformasionalis, globalisasi dipandang sebagai proses jangka panjang yang mampu menghasilkan perubahan sosial, politik, dan ekonomi secara signifikan. Meskipun masih mengakui pentingnya konsep negara, para penganut paradigma globalisasi transformasionalis berpendapat bahwa posisi negara dipengaruhi pula oleh kemunculan berbagai aktor yang didorong oleh globalisasi, seperti perusahaan transnasional, lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai gerakan sosial global.
Selama ini, upaya penanganan perubahan iklim tersentralisasi pada mekanisme tata kelola global neoliberal. Protokol Kyoto, misalnya, didasarkan pada mekanisme pasar di mana karbon dioksida diperdagangkan sebagai komoditas. Perjanjian Paris juga masih bersifat kurang memuaskan, mengingat bahwa banyak negara belum mampu memenuhi target yang ditetapkan.
Secara makro, sistem tata kelola iklim global diartikulasikan melalui mekanisme multilateral seperti UNFCCC dan COP, yang nyatanya belum berhasil memberikan perubahan yang signifikan. Sebagai alternatif, para transformasionalis berupaya mengadvokasikan "demokratisasi globalisasi" atau sistem tata kelola demokratis berbasis partisipasi masyarakat sipil yang harapannya mampu mendistribusikan dampak positif globalisasi ke seluruh lapisan masyarakat.
Dalam skala kecil, globalisasi transformasionalis dapat dilihat dalam kehadiran Koalisi COP26 yang mengedepankan prinsip climate justice dan mengundang berbagai komponen masyarakat sipil sebagai alternatif dari COP26 yang elitis. Isu perubahan iklim memang kian menarik perhatian masyarakat sipil baik sebelum maupun di tengah kondisi pandemi. Pandemi Covid-19 mengajarkan masyarakat akan konsekuensi riil dari suatu krisis yang bersifat lintas-batas negara.
Aktivisme iklim baru didominasi oleh generasi muda, seperti sosok Greta Thunberg yang menjadi wajah dari gerakan sosial global "Fridays For Future". Aktivisme ini juga bersifat transnasional dengan menggunakan media sosial sebagai mode pertukaran informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. Harapannya, partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas dapat mendesak para pemangku kebijakan untuk benar-benar bertindak dalam menyelamatkan iklim bumi kita.