Fenomena perubahan iklim tersebut tidak hanya telah menjadi perhatian global namun juga pemerintah Indonesia, tepatnya pada pengujung akhir 2021, Indonesia dan negara-negara yang terlibat dalam COP26 telah menyepakati Pakta Iklim Glasgow pada 13 November 2021 untuk mendorong aksi-aksi ketahanan perubahan iklim yang meliputi: Mitigasi (pengurangan emisi), Adaptasi (saling membantu negara-negara terdampak perubahan iklim), Keuangan (dukungan terhadap negara-negara yang sedang mencapai climate goals, dan Kolaborasi (saling bekerja sama untuk melakukan tindakan yang lebih besar).
Berangkat dari hal tersebut, maka pembangunan ekonomi nasional harus berlandaskan pada prinsip-prinsip pertumbuhan ekonomi hijau mengingat pula usia planet bumi yang semakin senja. Langkah-langkah bersifat regeneratif dalam upaya memperbaharui sumber daya alam dan perbaikan kualitas lingkungan harus sejalan dengan pembangunan ekonomi agar tidak terjadi kelangkaan sumber daya alam dan rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai akibat turunnya kualitas lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi hijau atau juga sering disebut pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) diharapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan di masa yang akan datang. Tantangan inklusivitas dalam implementasi pembangunan ekonomi hijau akan menghadapi gap yang harus diatasi di antaranya adalah dukungan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang belum terintegrasi antara pusat dan daerah, kemudian sejauh mana dukungan pendampingan teknis dari pemerintah pusat ke daerah, lalu aspek keuangan dan investasi hijau (green business), upaya capacity development atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia aparatur, transfer pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan, dan lain-lain.
Tulisan ini secara khusus akan membahas urgensi dalam capacity development atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia aparatur, mengingat saat ini secara umum roda pemerintahan baik pusat maupun didaerah secara total didukung penuh oleh sekitar 4,1 juta ASN baik dalam operasional pelayanan publik maupun dalam suatu pemutusan kebijakan publik strategis.
Belajar dari Kesalahan
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah telah berkomitmen bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu fokus dalam memberikan akses pembangunan yang adil, inklusif, dan mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selain itu, Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2016 dalam Konvensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan, mendorong Komitmen Jakarta (Jakarta's Commitment) dalam hal ini Indonesia menyatakan komitmennya melalui Nationally Determined Contributions (NDC), yaitu upaya penurunan emisi karbon/gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan dari pihak eksternal atau bantuan internasional pada 2030.
Namun kita sadari pula kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi baik pusat dan daerah memiliki konsekuensi dampak negatif bagi lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya; hal ini perlu dikaji ulang benefit and cost kebijakannya karena acap dampak negatif yang telah muncul menimbulkan waktu pengembalian fungsi yang panjang (long-term recovery).
Beberapa kilasan dampak yang telah terjadi dan perlu menjadi pelajaran bagi pemerintah, di antaranya perubahan alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi lahan perumahan yang kemudian berakibat terhadap makin sedikitnya daerah resapan air. Selain itu, pencemaran pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang umumnya disebabkan limbah industri, limbah pertanian/peternakan, dan limbah rumah tangga, juga mencemarkan aliran-aliran sungai. Tidak hanya itu, ditambah dengan pola penanganan sampah/limbah domestik rumah tangga dan industri yang menyebabkan bencana banjir dan pencemaran air tanah.
Dalam hal cemaran udara, emisi karbon dan metan dari industri dan mis-tata kelola transportasi yang berakibat terhadap menurunnya kualitas dan pasokan udara bersih bagi masyarakat. Belum lagi pembalakan hutan untuk alih fungsi ladang/kebun tanpa disertai perencanaan recovery lahan atau reboisasi yang matang oleh industri/user sehingga hutan kering dan mendorong kebakaran hutan.
Meningkatkan Kapasitas
Dalam COP 26 secara khusus Indonesia terlibat aktif yaitu dalam aksi mitigasi dan kolaborasi. Aksi mitigasi yang dimaksud meliputi keterlibatan Indonesia dalam mendukung The Asian Development Bank Energy Transition Mechanism, yaitu upaya mempercepat penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan transisi ke energi bersih, kemudian juga menandatangani Global Methane Pledge untuk mengurangi emisi metana global sebesar 30% pada 2030.
Adapun untuk aksi kolaborasi, Inggris dan Indonesia telah membentuk Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue untuk menyatukan negara-negara produsen dan konsumen utama komoditas pertanian agar saling bekerja sama dalam melindungi hutan sambal memajukan produksi dan perdagangan yang berkelanjutan, mendukung petani kecil, meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan mendorong lahirnya inovasi.
Merespon dari fakta-fakta perubahan iklim, efek samping pembangunan ekonomi dan keterlibatan Indonesia dalam kesepakatan global COP26, kebutuhan akan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia aparatur semakin mendesak dalam menyiapkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Green Capacity Development ASN dimaksud dalam tulisan ini adalah serangkaian program yang masif dan terstruktur dalam memandirikan dan membangun kapabilitas ASN agar mampu dan berdaya dalam hal kompetensi mengenai kesadaran prinsip-prinsip pertumbuhan ekonomi hijau pada seluruh level atau jenjang jabatan, dari staf hingga jabatan pimpinan tinggi, begitu pula dengan para pemangku jabatan fungsional.
Diharapkan dengan program-program Green Capacity Development, ASN dapat paham dan tahu apa yang harus dilakukan (know-how), sehingga dapat capable baik untuk dirinya maupun organisasinya, serta mampu mengambil win-win solution agar dalam menghasilkan kebijakan dan implementasi kebijakan dapat linier dengan tujuan pembangunan berkelanjutan nasional dan kesepakatan global. Terlebih lagi karena pertumbuhan ekonomi hijau merupakan investasi jangka panjang untuk anak cucu kita di masa datang.
Sofyan Eko Putra Widyaiswara Ahli Pertama Lembaga Administrasi Negara
(mmu/mmu)