Diumumkannya Ibu Kota Negara (IKN) baru bernama Nusantara ternyata berimbas pula pada obrolan ringan keluarga kami. Tadinya, saya dan suami sebagai sesama alumni Geografi kerap mendiskusikan problematika banjir Jakarta yang tak kunjung usai siapa pun gubernurnya.
Mitigasi struktural dan nonstruktural yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta tampaknya tak kunjung menjadi solusi menghadapi tingginya intensitas hujan belakangan ini. Beberapa peneliti mengutarakan solusi berbasis alam untuk tangani banjir Jakarta, misalnya penambahan ruang terbuka hijau dan mengembalikan dengan baik fungsi sungai atau saluran air yang telah ada.
Nah, ada hal lain ternyata yang perlu mendapatkan perhatian agar kedua jenis pendekatan mitigasi tersebut terlaksana dengan baik. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan terhadap banjir di Amerika Serikat, kesimpulan riset menyampaikan bahwa penanganan banjir di tingkat kelembagaan lokal diperlukan. Salah satunya dengan peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan bencana banjir.
Yang dimaksud dengan kapasitas kelembagaan ini di antaranya adalah koordinasi dan komunikasi efektif dari Gubernur hingga tingkat Rukun Warga/Rukun Tetangga (RW/RT) dan pengaktifan gotong royong agar peduli terhadap lingkungan di tingkat RW/RT. Bagaimana implementasinya di DKI Jakarta?
Peran multi-pihak sangatlah diperlukan, kemudian kesemuanya kembali pada bagaimana membangkitkan kesadaran warga Jakarta untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Misalnya dimulai dari hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, membersihkan gorong-gorong/saluran air, bahkan mungkin melaporkan ke pemerintah setempat jika ada kerusakan lingkungan yang sekiranya tidak bisa ditangani oleh masyarakat setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, melihat perkembangan perubahan penggunaan lahan wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya melalui citra satelit penginderaan jauh multi-temporal tampak makin bertambahnya lahan terbangun. Hal tersebut berbanding lurus dengan naiknya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Lahan-lahan yang semula hijau pada tahun 1970-an dikonversi menjadi lahan terbangun sehingga air hujan pun tidak akan cepat meresap ke dalam tanah.
Belum lagi ditambah permasalahan wilayah pesisir Jakarta yang mengalami penurunan tanah dari tahun ke tahun. Suami sempat cerita pengalamannya saat membantu riset peneliti dari Jerman tentang survei banjir pesisir di Muara Angke pada pertengahan tahun 2010. Sudah 10 tahun lebih dan ternyata kejadian banjir rob maupun banjir kiriman masih kerap terjadi.
Bahkan, pada 18-19 Januari lalu jumlah RT yang terendam genangan banjir cukuplah tinggi. Suami bilang bahwa masyarakat yang terbiasa mengalami banjir Jakarta pada dasarnya mempunyai upaya dan kesadaran geografis terhadap tempat tinggalnya. Namun, lagi-lagi persoalan sosial ekonomi menjadi faktor pembatas gerak bagi mereka untuk dapat tinggal atau pindah di tempat yang tidak terdampak.
Kami pun kembali membuka buku-buku karya Prof. Hadi Sabari, seorang Profesor Geografi di bidang perkotaan. Problematika dan perkembangan wilayah urban Jakarta sebenarnya telah disadari oleh sejumlah pakar dan berbagai tulisan ilmiah maupun populer telah mengupasnya dengan komprehensif dari berbagai sudut pandang.
Riset yang sempat menggugah kembali kesadaran bangsa Indonesia adalah saat NASA (lembaga antariksa Amerika Serikat) menayangkan citra penginderaan jauh multi-temporal dengan judul Tenggelamnya Jakarta. Kemudian diperkuat lagi oleh pidato Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengatakan bahwa Jakarta mungkin tenggelam 10 tahun lagi.
Singkat cerita, kami pun jatuh pada kesimpulan sederhana bahwa sejatinya kompleksitas banjir, penurunan tanah, dan permasalahan sosial ekonomi di DKI Jakarta tak akan pernah selesai. Mungkin saja permasalahan akan terurai jika Ibu Kota Negara telah pindah ke Nusantara. Ataukah justru akan menimbulkan permasalahan baru di Nusantara?
Diskusi kami pun bergeser ke sejauh mana kesiapan dan kesadaran geografis seluruh elemen bangsa Indonesia. Pertanyaan yang kerap menjadi diskusi kami, akankah kondisi DKI Jakarta akan dialami juga oleh Nusantara? Harapan baru agar Nusantara menjadi lokasi idaman Bu Sri Mulyani yaitu terciptanya new way of living and working akankah tercipta?
Ada dua hal yang kemudian kami soroti. Pertama, penegakan hukum agar tertib dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan sebagai rencana tata ruang yang telah ditetapkan untuk IKN Nusantara. Misalnya, di dalam rencana tata ruang IKN Nusantara terdapat wilayah yang difungsikan untuk area resapan air apabila ada yang mengalihfungsikan wilayah tersebut menjadi lahan terbangun harus mendapatkan sanksi. Jangan lagi terulang munculnya hunian di dekat sempadan sungai dan sebagainya.
Kedua, pengendalian jumlah penduduk yang menghuni wilayah IKN Nusantara. Saya teringat ibu saya yang kala itu aktif sebagai kader penggerak PKK yang giat mensosialisasikan tentang 10 Program Pokok PKK. Bagi saya adanya kegiatan dan program tersebut merupakan bagian dari literasi geografi dalam menjaga dan membangkitkan kepedulian terhadap keluarga dan lingkungan sekitar.
Masih ingatkah kita dengan program KB? Keluarga Berencana dengan slogan dan simbolnya yang mudah dikenali yaitu dua anak cukup. Pembatasan seperti itu sejatinya bagian dari pengendalian ledakan jumlah penduduk yang imbasnya pada berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat.
Ada hal yang esensial dari program KB yang sepertinya kita lupakan, yaitu pembatasan dua anak cukup adalah upaya menjaga kesehatan mental keluarga. Bisa kita lihat belakangan ini di Youtube, ada salah seorang youtuber yang bergerak di bidang sosial masyarakat. Salah satu tayangan yang masih saya ingat adalah kisah pasangan suami-istri yang mempunyai lebih dari dua anak.
Karena desakan ekonomi, pasangan tersebut mengeksploitasi anaknya dengan menjual keterbatasan ekonominya melalui media sosial. Kejadian tersebut merupakan satu dari sekian permasalahan potret Ibu Kota Negara. Keluarga yang kurang direncanakan dengan baik dan kurangnya literasi maupun edukasi berkeluarga pada akhirnya menumpuk menjadi permasalahan sosial di perkotaan. Besar harapan, kejadian di Ibu Kota Negara saat ini tidak terulang di IKN Nusantara.
Terlebih IKN Nusantara akan hanya menjadi pusat pemerintahan yang diharapkan memantik pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Semoga pengendalian tata ruang di IKN Nusantara kelak dapat dijaga sehingga tidak terjadi ledakan penduduk yang memicu permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi.
Tugas menjaga IKN Nusantara kelak bukan hanya tugas pemerintah semata; semua lapisan masyarakat yang berada di wilayah IKN Nusantara dan sekitarnya perlu menjaga lingkungan dan memiliki kesadaran geografis. Pada akhir diskusi, kami pun kerap bertanya ke diri sendiri, siapkah keluarga kami dipindah ke Nusantara? Menjadi bagian kecil untuk bergerak bersama membangun Ibu Kota Negara.