Konstitusionalitas Otorita IKN
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Konstitusionalitas Otorita IKN

Rabu, 02 Feb 2022 14:54 WIB
Rino Irlandi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Zaki Alfarabi
Jakarta -

Pada sidang tahunan MPR yang berlangsung tahun lalu, Presiden Jokowi menyampaikan keinginannya untuk memindahkan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur. Ia mengatakan, tujuan pemindahan tersebut adalah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi yang selama ini terfokus di Pulau Jawa.

Keinginan tersebut akhirnya terwujud pasca RUU IKN yang diusulkan pemerintah disetujui oleh mayoritas fraksi di DPR. Tercatat, hanya fraksi PKS yang menolak. Sementara fraksi yang lain: PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PPP, PKB, Demokrat, dan PAN menyetujui usul tersebut. Dukungan yang lebih dari cukup untuk meloloskan RUU IKN menjadi undang-undang. Ada beberapa catatan kritis yang disampaikan publik atas disetujuinya RUU IKN ini menjadi undang-undang.

Pertama, proses pembentukan UU IKN dinilai cacat formil lantaran memakan waktu pembentukan yang relatif singkat (hanya 43 hari) dan minim partisipasi publik. Kedua, soal pemberian nama Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara yang dianggap tidak cocok. Ketiga, soal pemerintahan khusus otorita yang akan menyelenggarakan pemerintahan di ibu kota baru yang dianggap inkonstitusional karena konstitusi (UUD 1945) tidak mengenal istilah pemerintahan otorita.

Berkenaan dengan tiga persoalan itu, tulisan ini akan membahas mengenai konstitusionalitas pemerintahan khusus otorita. Persoalan ini saya anggap penting karena beberapa tokoh nasional sudah ancang-ancang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga ada potensi pembangunan ibu kota baru mangkrak kalau MK ternyata menyatakan UU IKN inkonstitusional.

Penafsiran Konstitusi

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menyimpulkan apakah suatu pasal dalam undang-undang konstitusional atau tidak dibutuhkan penafsiran terhadap maksud pasal yang ada dalam undang-undang yang akan diuji dan pasal konstitusi yang dijadikan batu uji.

Penafsiran tersebut dilakukan dengan berbagai macam metode penafsiran yang bebas untuk dipilih dan digunakan. Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), metode penafsiran hukum itu ada 23 metode. Namun, untuk menilai konstitusionalitas pemerintahan khusus otorita IKN, saya hanya akan menggunakan satu metode pendekatan penafsiran, yaitu metode penafsiran originalisme.

ADVERTISEMENT

Pendekatan penafsiran originalisme merupakan metode penafsiran yang menitikberatkan penafsiran suatu pasal dalam konstitusi berdasarkan pemahaman dan tujuan dibentuknya suatu pasal tersebut menurut pemahaman pembentuknya (Saldi Isra, 2010). Artinya, kehendak, tujuan, dan pemahaman perumus pasal konstitusi itulah yang menjadi acuan utama untuk menafsirkan maksud suatu pasal dalam konstitusi.

Penelusuran kehendak, tujuan, dan pemahaman perumus pasal konstitusi tersebut ditelusuri dari risalah sidang pembentukan konstitusi. Dalam hal ini, saya akan menggunakan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 terbitan MK yang memuat risalah sidang dan perdebatan pembentuk UUD 1945 yang berlangsung pada 1999-2002.

Sementara, alasan saya menggunakan metode penafsiran orginalisme untuk menilai konstitusionalitas pemerintahan khusus otorita adalah karena metode inilah yang sering digunakan hakim MK. Hal ini didasarkan pada penelitian Muchammad Ali Safa'at, Aan Eko Widiarto, dan Fajar Laksono Suroso tentang pola penafsiran konstitusi dalam putusan MK periode 2003-2008 dan 2009-2013.

Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan bahwa (1) penafsiran originalis lebih umum atau sering digunakan oleh hakim MK ketika memutus perkara; (2) metode penafsiran originalis itu tidak hanya digunakan oleh hakim MK pada periode tertentu, tetapi umum digunakan oleh semua hakim MK.

Konstitusionalitas Otorita

Dalam Pasal 8 UU IKN, penyelenggara pemerintahan daerah khusus IKN Nusantara adalah otorita IKN Nusantara. Adapun yang dimaksud dengan otorita IKN Nusantara adalah lembaga setingkat kementerian yang beroperasi paling lambat akhir 2022.

Sebagai sebuah konsekuensi penempatan otorita IKN Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian, Pasal 9 ayat (1) UU IKN menyatakan bahwa kepala dan wakil otorita IKN Nusantara ditunjuk, diangkat, dan ditunjuk langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Adanya dua pasal tersebut dalam UU IKN menandakan kekhasan dan keunikan tersendiri dari pemerintahan daerah IKN dibandingkan dengan pemerintahan di daerah lain.

Bila didaerah lain kepala pemerintahannya adalah Gubernur, Bupati, Wali Kota yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum, maka IKN Nusantara dipimpin oleh kepala dan wakil otorita yang diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

Selain itu, pemerintahan IKN Nusantara juga tidak mengenal adanya perwakilan rakyat daerah atau DPRD seperti di daerah lain. Hal itu tampak dari Pasal 13 ayat (1) UU IKN yang tidak menyebut pemilu DPRD sebagai salah satu pemilu yang akan dilaksanakan di IKN Nusantara.

Keunikan dan kekhasan IKN Nusantara itu menurut tim pembentuk UU IKN dimaksudkan sebagai pemerintahan daerah khusus sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Secara lengkap pasal ini berbunyi: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Namun, betulkah bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan satuan pemerintahan daerah khusus yang dimaksud pembentuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945?

Kalau kita membaca secara saksama risalah sidang pembentukan UUD 1945 yang ada dalam Buku ke IV Jilid 2 Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, awalnya yang dimaksud dengan pemerintahan daerah khusus dan istimewa dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 adalah pemerintahan asli Indonesia.

Pemerintahan asli Indonesia itu merujuk pada pendapat Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 dalam rapat besar yang berlangsung pada 15 Juli 1945. Ia mengartikan pemerintahan asli tersebut sebagai jenis pemerintahan kerajaan, dusun, nagari, marga, swapraja, dan kesultanan yang pada zaman penjajahan Belanda diperbolehkan untuk dijalankan oleh rakyat Indonesia.

Namun, tafsiran itu kemudian diperluas ketika beberapa peserta sidang pembentukan UUD 1945 yang berlangsung pada tahun 1999-2002 di MPR menyebut DKI Jakarta, Aceh, Yogyakarta, dan Papua sebagai salah bentuk pemerintahan daerah khusus dan istimewa.

Atas perluasan tafsir itu, Bagir Manan yang hadir sebagai ahli konstitusi tidak menyalahkan pendapat tersebut. Bahkan, ia memaklumi dan menerima pendapat itu selama disepakati bersama oleh peserta sidang, yang sepanjang persidangan tidak ada yang membantah.

Dengan begitu, maka DKI Jakarta yang saat itu merupakan Ibu Kota Negara diakui sebagai salah satu bentuk pemerintahan daerah khusus. Kekhususan itu terlihat dari tidak adanya pemilu untuk memilih Wali Kota dan DPRD ditingkat Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Hal yang perlu digaris bawahi atas pemberian kekhususan kepada DKI Jakarta adalah karena daerah ini merupakan wilayah Ibu Kota Negara. Maka, dengan beralihnya ibu kota negara ke IKN Nusantara pasca berlakunya UU IKN, bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan bentuk pemerintahan daerah khusus dan istimewa yang dimaksud pembentuk UUD 1945 yang konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, mekanisme pengisian kepala dan wakil kepala otorita IKN Nusantara tetap perlu dikritisi. Dalam masa peralihan Ibu kota negara, mungkin pengangkatan kepala dan wakil kepala otorita IKN Nusantara secara langsung oleh Presiden dibutuhkan untuk percepatan pembangunan. Tetapi, ketika masa peralihan itu sudah selesai dan penyelenggaraan pemerintahan di IKN Nusantara sudah mulai normal, maka kepala dan wakil kepala otorita IKN Nusantara harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum sebagai bentuk perwujudan demokrasi.

Rino Irlandi alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads