Dari Isu Keselamatan hingga Budaya Berjalan Kaki
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dari Isu Keselamatan hingga Budaya Berjalan Kaki

Rabu, 02 Feb 2022 11:15 WIB
Abiyyi Yahya Hakim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pegiat Koalisi Pejalan Kaki saat memperingati Hari Pejalan Kaki 2021 di Halte Tugu Tani, Jakarta
Jakarta -
Sepuluh tahun telah berlalu sejak kecelakaan di Halte Tugu Tani, Jakarta yang memakan korban sebanyak 13 pejalan kaki, 9 di antaranya meninggal. Momen yang kemudian dijadikan peringatan Hari Pejalan Kaki tiap tahunnya itu menjadi momen yang terus mengingatkan kita pada isu keselamatan pejalan kaki. Sebagai pelaku lalu lintasβ€”selain kendaraan, pejalan kaki begitu rentan tidak aman dan selamat. Dan benar, rilis WHO tahun 2013 mengenai Keselamatan Pejalan Kaki menempatkan pejalan kaki sebagai subjek dengan angka kematian kedua terbesar di jalan raya setelah pesepeda motor.

Setelah 10 tahun, banyak hal begitu berkembang, secara diskursif maupun penampakan infrastruktur fisik. Secara diskursif, isu pejalan kaki semakin mencuat dan populer dalam bahasan kelalulintasan, perkotaan, hingga lingkungan hidup. Tidak hanya keselamatan jalan, isu pejalan kaki dapat berkaitan dengan dikotomi kendaraan pribadi dan transportasi publik, kemacetan dan solusinya, hingga penghasil polusi dan minim polusi. Diskursus tersebut kemudian cukup terlihat dalam perkembangan pembangunan infrastruktur kota.

Tetapi entitas pejalan kaki tentu tidak begitu superior (sebagai isu yang penting), melainkan berkaitan dengan peran atau isu lainnya. Bicara inklusivitas pada pemenuhan hak pejalan kaki akan dilanjutkan dengan isu hak-hak penyandang disabilitas, yang bisa sesederhana bagaimana fisik trotoar dibangun (tidak) ramah untuk difabel. Dalam perannya mengurangi kemacetan, pejalan kaki umumnya juga merupakan pengguna transportasi publik, yang kemudian terdikotomis dengan pengguna kendaraan pribadi.

Aktivitas berjalan kaki pun sangat menyentuh isu lingkungan hidup, ketika dibandingkan dengan aktivitas mobilitas yang berpolusi dan mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyumbang perubahan iklim. Apalagi semakin hari isu lingkungan semakin mengarah ke keadaan kritis. UN Environment Programme yang tahun ini menyentuh 50 tahun usia, telah menyebutkan polusi dan perubahan iklim sebagai 2 di antara 3 krisis utama planet ini (selain biodiversitas).

Respons Pembangunan Infrastruktur


Ranah diskursif bisa jadi tidak berkembang jika tidak diikuti perubahan infrastruktur. Kaitan keduanya bisa saling timbal balik. Ketika ada narasi untuk membangun trotoar yang ramah pejalan kaki, maka pembangunan trotoar yang ramahlah yang akan "menyelesaikan" tuntutan itu. Begitu juga masalah trotoar yang terokupasi kendaraan bermotor, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, hingga penyediaan jaringan transportasi publik; itu memengaruhi maupun dipengaruhi oleh diskursus yang ada.

Jakarta sekali lagi dapat menjadi pemulai (tren). Terlepas dari tragedi Tugu Tani terjadi di Jakarta, sudah tidak ayal bahwa Ibu Kota menjadi awal dari berbagai hal. Merespons narasi "trotoar ramah pejalan kaki", Pemprov DKI mulai membangun trotoar dan fasilitas pejalan kaki lainnya disertai jargon "Jakarta ramah pejalan kaki" atau "untuk memanjakan pejalan kaki". Jika direntangkan hingga 10 tahun ke belakang, tentu warga merasakan beberapa perkembangan.

Kota-kota besar lain kemudian mengikuti. Mungkin kita sudah cukup familiar dengan beberapa jalan ikonik di kota-kota yang menampilkan trotoar yang diperbarui, seperti Jl. Asia Afrika di Bandung, Jl. Malioboro di Yogyakarta, dan Jl. Tunjungan di Surabaya. Wajah trotoar di jalan-jalan tersebut direnovasi beberapa tahun lalu dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Hari ini, menjadi tantangan bagi kota-kota tersebut untuk melanjutkan pembangunan/renovasi trotoar di titik lain, karena narasi diskursif berlanjut: bahwa warga tidak hanya berjalan kaki di pusat keramaian kota.

Tren selanjutnya adalah bagaimana infrastruktur pejalan kaki sebagai first and last mile, menunjang layanan transportasi publik (transpub), dan sebaliknya. Bahwa setelah trotoar aman dan nyaman, masyarakat akan mau berjalan kaki ketika layanan transpub juga tersedia. Begitu juga transpub tidak akan diminati ketika fasilitas first and last mile-nya tidak memadai; mencakup fasilitas pejalan kaki maupun moda first and last mile lainnya: sepeda.

Pada kota-kota di Indonesia yang cukup banyak dilayani transportasi bus, pembangunan halte (seharusnya) menjadi paket terintegrasi dengan trotoar, atau akses dari trotoar. Jakarta bisa menjadi preseden integrasi layanan transportasi publik (bus dan kereta) dengan fasilitas first and last mile. Juga, integrasi antarmoda transpub sendiri, yang dapat meningkatkan intensitas masyarakat untuk berjalan kaki.

Menuju Budaya Berjalan Kaki


Mengapa tulisan ini ditutup dengan "budaya"? Mungkin karena itulah titik narasi pada hari ini. Setelah keamanan dan keselamatan yang sepuluh tahun lalu menjadi tonggak keresahan isu, hal-hal mengenai kaitan pejalan kaki dengan kemacetan juga isu lingkungan, adalah soal kebiasaan dan budaya. Infrastruktur dan sistem yang hendak dibangun merupakan upaya untuk membentuk budaya berjalan kaki.

Sebenarnya Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka) sebagai komunitas yang kebetulan mengiringi sebagian besar isu pejalan kaki di perkotaan, sering menarasikan "setiap manusia adalah pejalan kaki". Kita diingatkan bahwa karena kita semua pejalan kaki maka harusnya kita bisa menghargai hak pejalan kaki. Namun jika setiap dari kita adalah pejalan kaki, bukankah seharusnya mudah bagi kita untuk memiliki budaya berjalan kaki?

Nyatanya memang tidak sesederhana itu. Bahkan entitas pedestrian pun diartikan dalam Cambridge Dictionary sebagai "a person who is walking, especially in an area where vehicles go", menggarisbawahi adanya pilihan berjalan kaki di antara area berkendaraan. Ya, sejak manusia mengenal kendaraan memang budaya berjalan kaki telah bergeser. Bahkan terlupakan, hingga dalam konteks lalu lintas pejalan kaki bisa begitu dominan dalam tingkat kematian. Bahkan, meninggal karena tertabrak kendaraan. Cukup ironis memang.

Momen kecelakaan 22 Januari 2012 hanyalah satu pemicu, begitu juga refleksi hari ini yang hanya satu tahap menuju perkembangan diskursus serta pembangunan infrastruktur dan sistem lainnya. Perjalanan sudah cukup panjang untuk bisa menengok kembali sepuluh tahun lalu, begitu juga jalan masih panjang untuk mengharapkan dan membentuk budaya berjalan kaki di Indonesia.

Abiyyi Yahya Hakim
pegiat Koalisi Pejalan Kaki dan Pedestrian Jogja

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads