Tahun ini adalah kali yang ke-12 masyarakat Tionghoa memperingati Imlek secara terbuka di negeri ini. Sebelum tahun 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional, masyarakat Tionghoa memperingati Tahun Baru Imlek secara tertutup alias sembunyi-sembunyi. Selama Orde Baru, peringatan Imlek atau tahun baru China dilarang oleh pemerintahan rezim Soeharto karena menganggap bahwa Beijing punya andil yang besar dan serius dalam peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965. Karenanya, peringatan Imlek di Indonesia adalah salah satu perayaan Imlek yang pernah mengalami politisasi di dunia.
Keputusan Gus Dur tersebut juga menggerakkan penutupan salah satu bab kelam dalam lembaran sejarah bangsa ini yang telah menempatkan warga keturunan Tionghoa sebagai korban diskriminasi negara. Banyak dari mereka yang tentu masih ingat ketika kartu tanda penduduk (KTP) mereka dicantumkan kode tertentu yang menegaskan latar belakang etnis mereka. Tak kalah pedihnya bagaimana mereka juga dilarang untuk masuk ke sekolah-sekolah dan universitas negeri.
Kita kelewat yakin dan cenderung menipu diri sendiri bahwa potensi dan sentimen anti-China tak akan meledak lagi di negeri ini. Kerusuhan masif dan berdarah 1998 yang menumbangkan Soeharto jelas-jelas memuat sentimen anti-China yang amat kental. Protes terhadap pertunjukan barongsai (tarian singa) dan liong (tarian naga) di Kalimantan Barat pada 2008 merupakan alarm bahwa sentimen anti-China masih hidup dan menyala kuat di kalangan kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejatinya, keraguan dan pikiran kita terhadap saudara-saudara kita warga Tionghoa agaknya lebih merupakan refleksi dari fallacy (sesat pikir) ketimbang hal-hal yang secara intrinsik salah dengan mereka. Bahwasanya mereka relatif lebih sukses dalam bisnis dibandingkan saudara-saudara mereka warga pribumi tak lepas dari fakta bahwa mereka bekerja lebih keras dan giat dari kebanyakan kita. Ini adalah hukum alam: siapa yang giat pasti mendapat --bunyi sebuah pepatah Arab.
Benar bahwa masih banyak di antara mereka yang masih mempertahankan keterpautan dengan daratan China. Hanya saja ini mereka perbuat semata-mata dikarenakan penghormatan mereka terhadap tanah leluhur dan akar budaya mereka. Banyak di antara warga Tionghoa tersebut, terutama mulai generasi yang ketiga, yang tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Mereka bergaul dengan warga pribumi secara leluasa tanpa harus berlaku eksklusif. Mereka menganggap bahwa Indonesia bukanlah tempat transit. Keberhasilan negara ini adalah kebanggaan mereka dan kegagalan bangsa ini juga merupakan tanggung jawab mereka.
Imlek adalah saat perjumpaan keluarga dan handai taulan buat sama-sama menunjukkan apresiasi dan syukur satu sama lain. Ia juga merupakan simbol dari suatu permulaan dan harapan yang baru agar tahun baru ini penuh dengan nasib dan kemakmuran yang lebih baik. Peringatan Imlek ini dapat berperan sebagai sebuah kontemplasi yang lebih dalam. Warga Tionghoa bisa menunjukkan ciri khas perayaan Imlek dalam bingkai paradigma baru tanpa menekankan secara berlebihan asal leluhur Tionghoa. Pertemuan keluarga, makan malam di antara sanak famili, dan kunjungan ke lembaga-lembaga sosial yang membutuhkan uluran bantuan jauh lebih bermakna.
Dengan perencanaan yang lebih matang, perayaan Imlek ini juga menghasilkan benefit jangka panjang, seperti penyediaan lapangan kerja, pemberian bantuan kesehatan, hingga penyaluran beasiswa.
Revitalisasi kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak perlu ditakuti bakal menggerus persatuan dan kesatuan bangsa. Ini malah akan memperkaya mozaik dan khazanah budaya Indonesia sepanjang dilakukan dalam pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban. Revitalisasi kebudayaan Tionghoa di Indonesia amat berbeda dengan apa yang terjadi di Malaysia dan Singapura dilihat dari perbedaan identitas dan sosiopolitik di Indonesia. Namun satu hal yang pasti, mereka bahkan bisa lebih nasionalis melebihi anak-anak pribumi sendiri, sebagaimana yang kerap diungkapkan oleh Sofyan Wanandi.
Dalam konteks keindonesiaan, memberikan kebebasan kepada warga Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terang-terangan merupakan suatu tonggak signifikan untuk sebuah integrasi bangsa yang sudah punya komitmen serius menegakkan pluralisme dan toleransi. Di negara seperti Indonesia, lebih banyak persoalan lain yang lebih besar seperti perekonomian dan kesejahteraan rakyat daripada mengurusi latar belakang suku seseorang.
Perayaan Imlek atas dasar ide yang lebih konkret dan aktivitas yang aktual diyakini akan menjadikan Imlek ini menjadi berkah bukan saja bagi warga keturunan Tionghoa tapi juga bangsa dan negara secara keseluruhan. Dengan semakin diakuinya aneka budaya khas Tionghoa di berbagai segi hidup masyarakat Indonesia, diharapkan akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, pembauran yang hakiki, bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era sebelumnya. Meskipun pelabelan negatif dan diskriminasi masih ada.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa penggambaran distorsi etnis hanya memperburuk sentimen laten anti-China, sebagaimana tercermin di masa lalu oleh berbagai kerusuhan anti-China. Representasi yang memadai di lembaga-lembaga politik yang akan memungkinkan warga Tionghoa untuk membela kepentingan tidak hanya dari rekan-rekan etnis mereka, tetapi juga kepentingan kolektif dari masyarakat umum. Warga Tionghoa-Indonesia memiliki kesempatan lebih baik dari sebelumnya hari ini untuk melayani di lembaga-lembaga publik guna membantu membangun Indonesia yang non-diskriminatif.
Banyak orang Tionghoa-Indonesia masih mengalami trauma masa lalu. Mereka cenderung menggeneralisasi bahwa semua masyarakat pribumi sama saja. Di sisi lain, pribumi cenderung untuk melihat warga Tionghoa sebagai komunitas ekonomi eksklusif yang tidak mau berbaur dengan orang Indonesia lainnya. Kita harus ingat bahwa terlepas dari garis keturunan masing-masing, kita semua adalah orang Indonesia dan kita berbagi masa depan bersama. Kita semua memiliki kepentingan yang sama dalam memastikan bahwa bangsa ini terus berkembang untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Selamat Tahun Baru Imlek.
Donny Syofyan Dosen Universitas Andalas, Padang
Simak juga 'Keseruan Jelajah Kampung Pecinan Solo Jelang Imlek':