Pancasila yang digali oleh Bung Karno dari jati diri bangsa Indonesia sendiri pada saat kelahirannya tanggal 1 Juni 1945 semula dipahami sebagai ideologi, yaitu suatu cita-cita bagi bangsa Indonesia yang pluralis ini untuk bersatu mengamankan dan menyejahterakan dirinya secara bersama-sama. Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 pemahaman kita terbentuk oleh ajaran bagaimana masyarakat bangsa kita harus ditata, di tengah banyaknya perbedaan dalam orientasi dasar masing-masing yang berlainan suku, agama, ras dan golongan.
Dengan perasaan kebangsaan yang mengemuka, secara sadar kita susun UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia yang baru berdiri. Situasi geopolitik selama Perang Dingin (1947-1991) yang membuat dunia didominasi oleh kekuatan bipolar komunisme Uni Soviet dan liberal kapitalisme Amerika Serikat, telah membuat negara bangsa Indonesia yang baru lahir memilih politik bebas dan aktif di arena global.
Kebenaran pilihan tersebut merupakan antisipasi para pendiri negara kita yang mempertimbangkan perlunya mendahulukan persatuan nasional dan jatidiri bangsa, sehingga menyepakati Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI) pada tanggal 1 Juni 1945. Pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Pancasila diancam oleh ideologi komunis 1948 (PKI Madiun), ideologi agama yang eksklusif pada 1949 (NII), subversi Amerika Serikat pada 1957 (PRRI/Permesta) yang sejak 1975 berkembang menjadi konsep kiri-baru (Neo-liberal) dan pengepungan Inggris pada 1962 (Malaysia).
Kepentingan nasional kita terhadap persatuan di atas kebhinnekaan untuk menghadapi ancaman yang bertubi-tubi, telah membawa kita kepada pemikiran Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagai suatu ideologi, maka Pancasila berperan sentral dalam kebenaran, yang tertutup bagi nilai-nilai sistem pemikiran asing. Namun praksis ideologi tertutup tersebut sejak 1959 (Dekrit) membawa kita ke arah negara nasional sosialis totaliter yang menolak semua diskursus rasional.
Pada tahun 1965 (G-30-S/PKI) Indonesia mengoreksi secara berangsur-angsur penolakan tersebut untuk kemudian sejak tahun 1986 menyatakan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka yang inklusif bagi kesepakatan-kesepakatan baru yang demokratis.
Pancasila sebagai ideologi yang terbuka berarti menjadi filsafat dari bangsa Indonesia, yang dipahami sebagai suatu orientasi dasar kehidupan bernegara yang etis. Dengan Pancasila tidak lagi sebagai ideologi kita tetapi sebagai filsafat bangsa Indonesia, maka reformasi nasional terbukti pada 1998 telah berjalan lancar dan terus bergulir sampai sekarang.
Istilah ideologi kini semakin sirna karena terbukti dalam sejarah politik bangsa kita, hanyalah sebagai topeng dari kekuasaan totaliter-diktatoris. Kekuasaan demikian itu rawan digunakan oleh kaum totalitarian komunis, neo-liberalis dan radikal agama. Sejarah politik dunia juga telah membuktikan bahwa ideologi rintisan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) tersebut, rawan untuk hadirnya suatu rezim teror ala Robespierre.
Karena itu dengan pemikiran filsafati yang konsisten, kita harus melanjutkan tekad 1986 bahwa Pancasila bukan lagi suatu ideologi. Pancasila adalah filsafat bangsa kita yang sejati dan telah terbukti sakti.
AM Hendropriyono,
Ketua Senat Dewan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer.
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara
Simak juga 'Wapres Sebut Toleransi yang Dimiliki RI Dikagumi Berbagai Kalangan di Dunia':