Pemerintah memastikan ekspor batu bara mulai dibuka bertahap pada 12 Januari 2022. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, saat ini pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri mencapai 15 hari operasi menuju 25 hari operasi. Dengan demikian, ke depan akan ada beberapa kapal yang diverifikasi dan pembukaan akan segera dilakukan bertahap.
Adanya pengumuman ini sekaligus menyelesaikan polemik besar atas kebijakan larangan ekspor batu bara. Sebelumnya, pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan bahwa ekspor batu bara dihentikan selama sebulan pada periode 1 Januari sampai 31 Januari 2022.Kebijakan ini diambil pemerintah seiring menipisnya pasokan batu bara pada 17 pembangkit listrik tenaga uang (PLTU) baik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun Independent Power Producer (IPP)
Larangan ekspor batu bara tertuang melalui surat Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 dan diterbitkan Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba). Keputusan larangan ekspor batu bara ini langsung ditujukan kepada pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta perusahaan pemegang izin pengangkutan dan penjualan batu bara.
Surat itu dikeluarkan sehubungan surat Direktur Utama PLN (Persero) pada 31 Desember 2021 perihal krisis pasokan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), PLN, dan IPP. Ditegaskan pula dalam surat, yang dalam pokok intinya menyampaikan kondisi terkini pasokan batu bara saat ini kritis dan ketersediaan batubara sangatlah rendah. Karena itu kebijakan larangan ekspor batu bara terpaksa dilakukan untuk menjamin stok pasokan guna kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri.
Sasaran kebijakan tersebut adalah pengusaha pemegang IUP khusus (IUPK) produksi dan kelanjutan operasi serta PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara). Awalnya pemerintah telah mengingatkan para eksportir batu bara untuk memenuhi pasokan batu bara ke PLN. Namun, realisasi itu masih di bawah kewajiban persentase penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan batu bara bagi PLN akhir 2021 terakumulasi defisit, yaitu seharusnya per 1 Januari 2022 tersedia 5,1 juta metrik ton ternyata baru terealisasi 35 ribu metrik ton (kurang dari 1 persen).Kondisi ini jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU nasional.
Berangkat dari alasan itulah, pemerintah sejatinya mewajibkan pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri minimal 25 persen dari rencana produksi yang disetujui dengan harga jual USD 70 per metrik ton. Berdasar Pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi dapat mengekspor batu bara yang diproduksi setelah kebutuhan batu bara dalam negeri terpenuhi.
Konsekuensi Kebijakan
Dampak besar terjadinya larangan ekspor batu bara adalah kerugian pihak eksportir dan berkurangnya devisa negara yang menurut Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) sekitar USD 3 miliar per bulan. Citra Indonesia juga buruk di mata investor karena pemerintah dianggap kurang mampu mengantisipasi pasokan batu bara di dalam negeri. Salah satu keluhan eksportir adalah produk yang seharusnya bisa dijual di pasar global (USD 150–170 per metrik ton) harus dijual seharga USD 70 per metrik ton di dalam negeri. Hal ini jelas sangat merugikan.
Di sisi lain dari kestabilan tata kelola, adanya larangan ekspor batu bara ke luar negeri akan membuat volume produksi batu bara nasional terganggu sebesar 38-40 juta MT per bulan. Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih US$ 3 miliar per bulan. Pemerintah kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti); hal ini berdampak kepada kehilangan penerimaan pemerintah daerah.
Begitu pula dengan arus kas produsen batu bara akan terganggu karena tidak dapat menjual batu bara ekspor. Kapal-kapal tujuan ekspor hampir semuanya adalah kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor. Kapal tersebut tak akan dapat berlayar menyusul penerapan kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini, dan perusahaan terkena biaya tambahan perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) besar (US$20,000 - US$ 40,000 per hari per kapal) yang membebani perusahaan pengekspor yang akan berdampak terhadap penerimaan negara.
Kapal yang berlayar ke perairan Indonesia juga mengalami ketidakpastian dan ini berakibat pada reputasi dan citra Indonesia selama ini sebagai pemasok batu bara dunia karena tak mengirimkan batu bara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak, sehingga nantinya akan timbul banyak sengketa penjual dan pembeli batu bara. Hal yang tak kalah merugikan adalah lahirnya ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi pertambangan mineral dan batu bara.
Banyak kalangan pengusaha yang menilai keputusan pemerintah melarang aktivitas ekspor batu bara sebagai kebijakan yang tergesa-gesa dan sepihak. Apalagi saat ini pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk memulihkan roda perekonomian nasional yang limbung dihantam pandemi Covid-19. Dalam posisi ini, pemerintah harusnya memulihkan perekonomian nasional ini tidak sendirian, tapi bersama-sama dengan pelaku usaha, termasuk aktivitas ekspor batu bara yang selama ini faktualnya menjadi penyumbang terbesar dari devisa negara.
Terkait klaim langkanya pasokan batu bara dalam negeri, tidak semua PLTU grup PLN termasuk IPP mengalami kondisi kritis persediaan batu bara. Selain itu pasokan batu bara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batu bara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok.
Perusahaan pemasok batu bara di Indonesia sesungguhnya telah banyak berupaya maksimal memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% yang sebagaimana diatur Kepmen 139/2021, bahkan telah memasok lebih dari kewajiban penjualan batu bara ke domestik (DMO) tersebut sesuai harga untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP. Dalam rasional ini, harapannya pemerintah dapat berpikir secara jernih untuk melihat dan juga menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan larangan sepihak kepada seluruh perusahaan batu bara.
Tantangan Keseimbangan
Larangan ekspor ke luar negeri jelas telah membuat banyak perusahaan pemasok batu bara ke pasar global kehilangan pendapatannya. Konsumen batu bara yang selama ini menjadi pembeli seperti Tiongkok, India, Filipina, Jepang, dan Malaysia, Korea Selatan, Vietnam, dan Taiwan jelas merasakan dampak besar akibat larangan ekspor. Padahal lebih dari 80% produksi batu bara Indonesia dipergunakan untuk kebutuhan ekspor.
Adanya polemik larangan ini dapat saja menempatkan industri batu bara Indonesia pada posisi yang rentan terhadap perkembangan dinamika global batu bara. Karena bisa saja negara dunia beramai-ramai mencabut kontrak kerja samanya dengan Indonesia. Ketergantungan yang amat besar kepada batu bara untuk memasok energi Indonesia masa kini dan masa depan idealnya harus memberi jalan yang menguntungkan rantai distribusi dan pasokan ketahanan energi. Termasuk kepentingan pemerintah untuk membuat sumber daya energi yang mudah terbarukan.
Besarnya aktivitas pertambangan jelas akan memberi dampak kenaikan suhu global bumi yang menyebabkan perubahan iklim dan juga polusi udara setempat. Dalam data riset Asia Development Bank (ADB), emisi Indonesia dari sektor energi diperkirakan meningkat tiga kali lipat dari 168 juta ton CO2e menjadi 498 ton CO2e pada 2030. (ADB, 2018).
Seiring waktu, sudah sepatutnya pemerintah memberikan inovasi yang efektif dalam membangun sumber daya energi terbarukan yang sangat rendah karbon sebagai pengganti sumber daya energi berbasis fosil. Nalar seperti ini dirasa menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah demi mencapai target besar kepentingan ekonomi bisnis maupun keselamatan lingkungan nasional.
Haris Zaky Mubarak, MA Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia