"Layangan Putus", Anak Kucing, dan Rasa Takut
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Layangan Putus", Anak Kucing, dan Rasa Takut

Sabtu, 15 Jan 2022 10:08 WIB
Miki Loro Mayangsari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Graciella Abigail Layangan Putus
Foto: Instagram @graciellaabigail
Jakarta -

Saya sedang asyik nonton Layangan Putus (webseries yang lagi trending, dibintangi Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Geraldine), ketika samar-samar terdengar ribut-ribut di depan rumah. Ternyata, ada kecelakaan! Dan sialnya, yang tertabrak motor itu adalah salah satu anak kucing peliharaan saya. Duh!

Ceritanya, sekitar dua bulan lalu saya mendapat surprise. Entah bagaimana awal mulanya, selepas bangun tidur, saat membuka pintu depan, saya mendapati seekor kucing betina beranak di sudut teras rumah saya. Anaknya tiga, berbulu oranye dengan detail warna putih di beberapa bagian, bola matanya biru, sangat lucu dan menggemaskan.

Saya anggap mereka itu rezeki. Jadi saya sediakan kardus agar tidurnya lebih nyaman, sekadar kain penghangat, dan selalu memastikan agar empat makhluk berbulu itu tak kosong perutnya. Sayang sekali kini saya harus kehilangan salah satunya. Anak kucing seusia itu kan memang sedang aktif-aktifnya. Sukanya bermain, berlarian ke sana kemari tak mengenal rasa takut, mengabaikan kendaraan yang berlalu-lalang di sekitarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merepresentasikan Diri Kita

Tak bisa dipungkiri, terkadang kita pun berperilaku mirip anak kucing. Anak kucing tadi merepresentasikan diri kita yang sering kali mengesampingkan rasa takut. Padahal rasa takut itu bisa berfungsi sebagai alarm tanda bahaya internal. Ketika kita takut karena merasa terancam, secara refleks kita akan bertindak untuk melindungi diri, sebab tubuh kita memang terprogram untuk membentuk sistem pertahanan diri.

ADVERTISEMENT

Rasa takut merupakan respons alami tubuh yang berguna untuk bertahan hidup. Tanpa rasa takut, bisa jadi kita kehilangan kewaspadaan, lalu akan bertindak serampangan dengan mengabaikan segala risiko, dan itu jelas berbahaya. Sehingga, memutuskan untuk membiarkan rasa takut tetap ada bukanlah pilihan yang sepenuhnya keliru. Toh nantinya kita bisa memproses rasa takut itu menjadi sebuah instrumen yang dapat memotivasi diri.

Meskipun begitu, sebagian orang memang sengaja memutuskan untuk menghindari faktor pemicu rasa takut. Karena menganggap ketakutan itu sebagai sumber masalah yang bisa melumpuhkan, membuat kita diam di tempat tak bergerak, tak punya progres sebab selalu takut melakukan apa pun. Sedangkan masalahnya bukan terletak pada ketakutan itu. Reaksi kita terhadap ketakutan itulah yang sebetulnya menjadi biang masalah.

Kita kerap terjebak dengan jargon "yang penting dijalani saja dulu, selebihnya apa kata nanti". Tak ayal, kita terkesan menyepelekan keadaan dan jadi gampang terlena sehingga kurang memaksimalkan usaha. Saya teringat momen saat suami saya memutuskan untuk menikahi saya ya seperti itu, hanya berbekal kalimat sakti "yang penting dijalani saja dulu."

Pada awal menikah, saya masih tinggal bersama mertua. Dan karena waktu itu sudah mendapat pekerjaan, suami saya menjadi enggan melanjutkan kuliah. Sementara dengan ijazah SMA-nya, mentok-mentoknya dia cuma bisa mencapai posisi team leader, sebab di perusahaan tempatnya bekerja, peningkatan karier hanya mungkin dicapai oleh mereka yang berijazah sarjana.

Rasa takut itu hadir tatkala anak pertama kami lahir. Dan saya masih ingat betul betapa pontang-pantingnya dia mempersiapkan bujet untuk biaya persalinan saya. Dengan nominal gaji per bulan yang diterimanya saat itu, terbersit ketakutan di benaknya: "Bisakah aku mengupayakan tempat tinggal yang layak untuk keluarga kecilku? Mampukah aku mempersiapkan masa depan yang lebih baik untuk anak-anakku kelak?"

Nah, berawal dari ketakutan-ketakutan itulah dia bertekat untuk lanjut kuliah. Rasa takutnyalah yang telah memberinya dorongan ekstra agar berupaya meningkatkan jenjang karier. Dan, nyatanya bisa!

Rasa takut mampu menghasilkan energi yang menjadikan kita lebih fokus sehingga membuat otak bekerja jauh lebih efisien. Dan memaksa otak agar secepatnya bereaksi mencari solusi, ketimbang mengulur waktu untuk menganalisa keadaan secara rinci.

Terkadang Dibutuhkan

Ngomong-ngomong, di balik kisah viral Kinan, Aris, dan Lidya di Layangan Putus ada sisipan scene cerita Miranda yang juga lumayan menarik perhatian saya. Miranda (diperankan oleh Frederika Cull) memilih terlibat perselingkuhan, setelah kehilangan rasa percaya terhadap orang yang paling ia percaya dan melewati hari demi hari dalam pernikahannya dengan penuh rasa jenuh. Hingga akhirnya terucap, "I don't love you anymore."

Saat perselingkuhan Miranda terungkap, perceraian tak mungkin lagi dihindari. Dan malangnya, ia pun harus kehilangan hak asuh atas putranya. Sementara, stereotip yang berkembang di lingkungan masyarakat kita, perempuan yang berselingkuh akan dipandang jauh lebih buruk ketimbang laki-laki yang melakukan hal serupa.

Kita semua pasti pernah merasa kecewa dan mengalami kejenuhan dalam hidup ini, tentu dengan kadar yang berbeda. Andai saja sosok perempuan seperti Miranda tetap memelihara rasa takut dalam dirinya, barangkali ia akan berpikir seribu kali sebelum mengambil pilihan yang penuh risiko itu.

Dan seandainya kala itu suami saya mengabaikan ketakutan-ketakutannya, mungkin saat ini dia tengah duduk meratapi kebodohannya telah menyia-nyiakan waktu luangnya dengan tidak melanjutkan studi.

Saya percaya ada banyak hal di dunia ini yang tidak serta-merta bisa dikalkulasi dengan nalar; percaya bahwa ada tangan lain yang bekerja di luar kuasa manusia. Tapi saya juga yakin, rasa takut terkadang dibutuhkan agar kita tetap bisa bertindak rasional, alih-alih pasrah terhadap mekanisme kerja semesta.

Miki Loro Mayangsari ibu dua anak, tinggal di Surabaya

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads