Pandemi Covid-19 dengan varian omicron masih menjadi momok beringas bagi dunia. Pasalnya, varian omicron telah memicu kecemasan global. Fenomena itu ditopang oleh pandangan BKPM bahwa dengan munculnya varian omicron di berbagai negara, termasuk Indonesia telah menggoyahkan analisis para ahli bahwa pada 2022 pandemi dapat menjadi endemi. Secara eksplisit, fakta ini memaparkan bahwa bakal banyak skenario strategis yang batal pada 2022. Namun, secara implisit fakta itu memaparkan ketakutan kita terhadap dinamisnya Covid-19. Alhasil, di tengah proses vaksinasi pandemi global dengan varian omicron masih menjadi momok beringas bagi dunia.
Pandemi global sudah berlangsung sekitar dua tahun lebih dan selama itu juga Covid-19 masih menjadi momok beringas. Tampaknya, paradigma kita meleset dalam melihat Covid-19 dengan varian omicron. Melihat Covid-19 sebagai momok beringas adalah sumber kecemasan dan kekeliruan kita. Karena, paradigma momok merupakan ekspresi penolakan kita terhadap dinamika dan perubahan lanskap dunia. Alhasil, reaksi kita terhadap omicron cenderung memerangi, bukan mengevaluasi secara global.
Kita tidak rela "normal lama" direnggut oleh Covid-19 dan varian turunannya.Dengan begitu, paradigma momok adalah sumber kecemasan dan kekecewaan kita terhadap realitas pandemi global. Akhirnya, kita perlu mengevaluasi dan mengakhiri paradigma momok. Karena, paradigma ini membuat kita sulit menerima pandemi global ini sebagai desakan perubahan tatanan. Kita perlu mereset paradigma itu agar kultur "normal baru" bisa mewujud secara konkret, bukan sekadar wacana belaka.
Lalu, paradigma seperti apa yang harus kita kembangkan di tengah merebaknya omicron yang kembali memicu kecemasan global?
Paradigma Sakramental
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara umum, kalangan Kristiani memahami sakramen sebagai sebuah ritus atau upacara agama seperti pembaptisan atau perjamuan kudus dan lainnya. Tetapi, sakramen memiliki arti dan makna yang lebih luas dari itu. Leonardo Boff dalam Sakramen-sakramen Hidup dan Hidup dari Sakramen-sakramen (2007) mengatakan bahwa sakramen adalah suatu cara berpikir atau logika. Sebagai sebuah logika, ia akan melahirkan sebuah paradigma sakramental. Artinya, melihat segala realitas atau materi sebagai simbol atau tanda dari Allah. Materialitas menjadi terlihat secara transparan.
Alhasil, melalui paradigma sakramental materialitas tidak hanya menjadi sekedar benda mati, melainkan menjadi penanda kehadiran Ilahi. Namun, tanda Ilahi itu tak selalu tampak baik secara industrialis, melainkan baik secara etis. Artinya, tanda dari Allah kerap mendesak ciptaan, khususnya manusia untuk melepas laku represif-manipulatif. Dengan demikian, paradigma sakramental memiliki sisi partisipatif untuk mewujudkan kebaikan komunal.
Dengan demikian, paradigma sakramental memungkinkan kita melihat pandemi Covid-19 dengan varian Omicron sebagai tanda dari Allah. Cyril Hovorun dalam Covid-19 and Christian (?) Dualism (2020) mengatakan bahwa virus, bakteri, dan mikroorganisme, termasuk Covid-19 adalah bagian dari ekosistem yang diciptakan oleh Allah. Jadi, pandemi Covid-19-omicron bukan musuh atau entitas asing yang tidak terkait dengan eksistensi manusia, melainkan bagian dari tatanan semesta yang diciptakan oleh Allah. Dengan demikian, secara sakramental pandemi global adalah pertanda dari Allah bahwa ada kerusakan ekosistem.
Melalui dinamisnya Covid-19, umat manusia didesak mereset relasi dengan lingkungan hidup menjadi lebih etis-partisipatif seperti melihat ciptaan di luar manusia sebagai ciptaan yang setara di dalam sang Pencipta. Lalu, kita sudah harus melepas laku hidup lama serta menerima pandemi global ini sebagai entitas yang ada dalam udara kita. Tentu, penerimaan itu harus dibarengi kesadaran etis-saintifik seperti taat protokol kesehatan, vaksinasi, dan beralih kepada teknologi alternatif yang tidak menindas ekosistem.
Tahun Baru, Paradigma Baru
Dengan hadirnya varian omicron di pengujung tahun 2021 telah memicu kecemasan global karena Covid-19 begitu dinamis dan masif. Kemudian, pada tahun baru 2022 kita masih dibayangi oleh kecemasan dan kerentanan. Polarisasi pulih dan rentan ini berbasis pada paradigma momok tadi, maka kita perlu mengganti paradigma agar tahun-tahun pandemi global ini dapat dihayati sebagai tahun rahmat. Sebuah tahun yang memungkinkan hadirnya kebaikan sekaligus keburukan secara bersamaan guna membangun tatanan yang etis-partisipatif.
Oleh sebab itu, dalam tahun-tahun itu sejarah mendesak kita untuk menata ulang tatanan kehidupan ciptaan yang melekat dengan kesenjangan dan kejahatan. Itu dapat terwujud apabila kita melihat dunia rapuh ini dalam paradigma sakramental.