Literasi ala Sinetron

ADVERTISEMENT

Kolom

Literasi ala Sinetron

Jefrianus Kolimo - detikNews
Jumat, 14 Jan 2022 11:12 WIB
Sebuah pos ronda di kawasan Cakung, Jakarta, disulap menjadi perpustakaan mini. Hal itu dilakukan demi meningkatkan literasi anak-anak.
Foto ilustrasi: Agung Pambudhy
Jakarta -

Abdur Asyad, komika asal Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah bercerita dalam salah satu satirenya tentang kebiasaan dari mamanya yang suka menonton sinetron. Jika saya kutip penggalan satirenya, kira-kira begini: saya punya mama itu adalah perempuan yang paling suka nonton sinetron. Itu yang dari zaman tersanjung, sampai sekarang yang tukang tuak naik haji itu. Saya punya mama itu layak mendapat piala citra dalam kategori penonton sinetron garis keras Indonesia.

Sudah tentu cerita dari Abdur ini memantik gelak tawa dari para penonton yang hadir. Apalagi Abdur bercerita menggunakan logat serta dialek khas orang Timur. Jika kita telisik lebih jauh, satire ini memang benar adanya. Sebab bukan hanya mamanya Abdur, tetapi pada umumnya masyarakat Indonesia memang sangat gemar terhadap tayangan sinetron.

Abdur benar bahwa tayangan sinetron dari sejak dulu hingga sekarang selalu mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Misalnya sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Tersanjung hingga sinetron yang sedang ramai dibicarakan saat ini yaitu Ikatan Cinta. Kekuatan tayangan sinetron di Indonesia memang tidak dapat dibantah. Bahkan pengaruhnya juga sangat kuat terhadap karier dari para artis pemerannya.

Misalnya Rano Karno, pemeran si Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Berkat perannya tersebut, dia bahkan sukses berkarier dalam dunia politik hingga terpilih menjadi seorang kepala daerah. Begitu pun dengan Amanda Manopo sebagai Andin dalam sinetron Ikatan Cinta. Nama Amanda Manopo melejit bahkan mendapat penghargaan dari Google karena menjadi yang paling dicari (trending) dalam sistem Google Search pada 2021.

Jika dilakukan survei, maka mungkin saja sinetron juga akan menempati urutan teratas tayangan yang selalu ditonton oleh masyarakat Indonesia. Hal ini karena tayangan sinetron dapat menampung dan mewakili esensi beragam permasalahan sosial budaya yang dapat menyentuh dan merespons kenyataan yang ada di tengah masyarakat.

Jika sinetron mempunyai pengaruh yang sedemikian kuat, maka tentu ini adalah hal baik. Baik dalam artian bahwa tayangan sinetron dapat dimanfaatkan sebagai media dalam mengakarkan budaya literasi di masyarakat kita.

Sebagai Media Literasi

Tidak dapat dimungkiri bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Indeks aktivitas literasi membaca di 34 provinsi yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbudristek), pada 2019 menunjukkan bahwa hasil terendah ada pada dimensi budaya baca (25,80 %) dan akses (23,09 %). Data ini tentu harus segera kita perbaiki. Minimal prosentase angkanya perlu kita naikkan. Karenanya kita perlu pendekatan lain.

Pendekatan yang harus bersentuhan dengan kebiasaan masyarakat kita sehingga literasi itu dapat melekat, mengakar sehingga menjadi budaya. Karena itu alternatif lain yang perlu dicoba adalah pendekatan literasi ala sinetron. Maksudnya begini, sinetron yang selama ini hanya dalam rupa tayangan layar kaca, diubah juga ke media lain yaitu berupa bacaan atau tulisan. Dari bacaan inilah diharapkan nantinya akan menarik minat masyarakat untuk mulai dan terus membaca.

Tentu pendekatan seperti ini bukan hal baru. Bukti penguatnya adalah Harian Kompas yang dalam beberapa waktu terakhir selalu rutin menurunkan bacaan dengan format cerita bersambung seperti halnya sinetron. Jadi setiap hari, pada halaman depan Harian Kompas, selalu ditampilkan bacaan dengan format cerita bersambung. Misalnya pada periode Juni-Juli 2021, bacaan yang ditampilkan adalah cerita perjalanan dengan judul Indonesia dari Seberang Batas karya novelis Agustinus Wibowo yang dibagi dalam 30 episode tulisan dan dimuat selama 30 hari berturut-turut.

Termutakhir ada cerita karya Sindhunata dengan judul Anak Bajang Mengayun Bulan. Konsepnya sama yaitu pada halaman depan, ditampilkan cerita tersebut per episode tulisan yang penayangannya sudah dimulai sejak September lalu dan masih ditayangkan hingga tulisan ini dibuat. Terobosan yang dilakukan Harian Kompas ini tentu bukan tanpa tujuan. Sangat jelas bahwa Harian Kompas ingin menyasar pembaca di Indonesia dan berupaya membuat mereka untuk kasmaran membaca.

Artinya begini, jika seseorang membaca tulisan dengan format bersambung maka harapannya adalah dapat memunculkan rasa penasaran. Ya, sama persis seperti tayangan sinetron. Dengan begitu maka pembaca pasti akan membaca lagi pada besok harinya saat koran tersebut terbit atau beredar. Begitu seterusnya.

Dalam konteks Indonesia sendiri yang adalah sebuah negara kepulauan, pendekatan literasi ala sinetron ini saya percaya dapat dilakukan. Sebab setiap daerah di Indonesia pasti punya harian cetak atau koran lokal yang beredar hingga ke pelosok daerah. Meski begitu, masih ada tantangan yang perlu kita hadapi secara bersama-sama.

Pertama, selama ini harian cetak atau koran lokal kita yang ada di daerah-daerah selalu memuat berita atau tulisan yang hanya berkutat pada persoalan politik dan peristiwa yang viral. Padahal jika tulisan atau bacaannya juga berupa sinetron atau dibuat ala-ala sinetron dimana format ceritanya adalah bersambung, maka saya yakin banyak masyarakat kita yang akan dibuat kasmaran untuk membaca. Pekerjaan tambahannya adalah tinggal melakukan promosi secara gencar terkait tulisan atau bacaan tersebut agar informasinya dapat diketahui masyarakat luas.

Kedua, harus diakui bahwa minat baca masyarakat kita seperti membaca harian cetak atau koran sangat rendah. Mungkin tidak ada data yang secara khusus mendukung pernyataan ini tetapi dapat saya pertanggungjawabkan. Beberapa waktu lalu, saya sempat mengunjungi salah satu kantor koran ternama di daerah asal saya yaitu di NTT. Dari sana, saya peroleh informasi bahwa untuk daerah tempat tinggal saya, koran tersebut belum bisa beredar karena tidak banyak pelanggan. Jika dipaksakan, maka dapat membebankan pengeluaran sehingga akan berujung pada kerugian perusahaan.

Tentu kenyataan seperti ini tidak dapat kita mungkiri sebab memang benar demikian adanya. Padahal harian cetak atau koran menjadi salah satu media literasi yang di banyak negara seperti di Finlandia digunakan sebagai salah satu media pendukung untuk menjadi penopang terciptanya budaya literasi di masyarakat. Karena itu kondisi ini juga harus segera dan perlu kita perbaiki.

Menurut hemat saya, untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan mewajibkan semua lembaga sekolah atau pemerintah mulai dari tingkat desa untuk berlangganan harian atau koran setiap harinya. Dengan begitu, sekalipun daerah tersebut berada jauh di pelosok, keluhan terkait tidak tersedianya bahan bacaan tidak akan lagi menjadi sebuah alasan. Jika kedua solusi ini dapat dilakukan secara beriringan, maka saya pastikan budaya literasi masyarakat Indonesia pada waktu-waktu mendatang akan semakin baik.

Jefrianus Kolimo guru di SMP Negeri Satu Atap Eirobo, Sabu Raijua, NTT

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT