Tahun 2021 telah beranjak dan kini kita mulai menapaki tahun baru 2022. Sebagaimana kebiasaan sebelumnya, orang-orang pun menyambut tahun baru dengan berbagai macam resolusi minimal membuat gambaran apa saja yang hendak dilakukan setahun ke depan. Sehingga, seiring wacana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang telah menyiapkan kurikulum baru bertajuk kurikulum prototipe hal itu diharapkan sebagai resolusi pendidikan Indonesia di tahun 2022.
Sebab, mengawali tahun 2022 adalah memikirkan Indonesia masa depan dan fondasi menuju ke sana salah satu yang penting untuk disiapkan adalah sistem pendidikan nasional. Melalui pendidikan, Indonesia masa depan seperti apa yang kita mau bentuk, tantangan apa yang mesti dihadapi, harapan apa saja yang ingin digapai bermula dari sana. Kemajuan suatu bangsa tidak bisa dipungkiri amat bergantung pada kemajuan dunia pendidikannya. Maka dari itu, menjadi keharusan menghadapi berbagai tantangan ke depan, kita tidak bisa dan tak boleh berpaling dari pertimbangan nalar dan pengetahuan.
Kita saksikan bersama krisis global Covid-19 terbukti berhasil mengusik pendidikan di mana-mana. Internet dan teknologi belajar, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, telah menjadi media pembelajaran yang berperan besar. Bukan itu saja, sikap dan perilaku belajar siswa telah berubah lebih cepat ketimbang prediksi awal. Demikian pula, sikap dan pendekatan guru dalam mengajar juga mau tidak mau mengalami perubahan.
Perubahan besar tidak terjadi hanya pada bagaimana menjalankan kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga pada apa yang dibelajarkan guru dan diharapkan dipelajari siswa. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, murid dan guru dalam menjalani tahun 2022 rasa-rasanya sama-sama perlu menetapkan ulang kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dikembangkan. Karenanya, perumusan kurikulum pendidikan nasional secara tepat oleh pemerintah sebelum diterapkan menjadi kunci tak hanya untuk membangun daya saing ekonomi Indonesia, tetapi juga penguatan kapasitas negara dan perbaikan kebijakan serta perencanaan pembangunan.
Meskipun, di tengah kondisi pandemi yang penuh ketidakpastian menjadikan kurikulum baru sebagai sebuah resolusi memajukan Indonesia nampak sebuah "tugas berat" namun pilihan itu tetap penting dilakukan. Dengan modal itu, pendidikan Indonesia minimal telah membuat sikap siap dan tidak terkesan abai terhadap perkembangan zaman atau paling tidak adanya upaya mewujudkan generasi emas di 2045 motivasi kesana terus menyala. Sehingga diharapkan, para orangtua, guru, maupun siswa itu sendiri menjadi punya tujuan hidup, harapan, dan mau melangkah ke mana.
Harus Responsif
Selain masalah intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual yang masih membayangi proses pemajuan pendidikan Indonesia tahun 2022 adalah bagaimana menciptakan sistem pendidikan nasional yang adaptif sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagaimana, didefinisikan J.J. Rousseau dalam bukunya Emile ou de l'Education (1762), pendidikan ialah proses yang memberikan kita (peserta didik) pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi dibutuhkannya pada masa dewasa.
Dengan demikian, jika ditarik kesimpulan kurikulum pendidikan musti responstif dengan tantangan di zamannya atau yang kira-kira akan dihadapi oleh peserta didiknya pada masa mendatang. Mengacu hal itu, tantangan terbesar dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah menyiapkan Generasi Z dan Alpha untuk menghadapi ketidakpastian di era 4.0. Bagaimana, mengembangkan dan mengoptimalkan potensi mereka baik sebagai pribadi dan anggota masyarakat, agar siap menyongsong masa depan sesuai dengan zamannya.
Kemudian, merekonstruksi kebijakan pendidikan yang mengarah pengembangan trans-disiplin ilmu dan program keahlian yang dibutuhkan. Selain itu, mulai diupayakan program cyber school seperti pembelajaran distance learning dimana nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa yang tinggal di pelosok daerah untuk bisa menjangkau pendidikan yang berkualitas. Disini, perlu dipahami bersama esensi merubah kurikulum tidak hanya mengubah konten melainkan menyederhanakan dan mengubah cara penyampaian materi kepada siswa.
Sebab selama ini, politik (kebijakan) pendidikan di Indonesia yang seharusnya merujuk pada cita-cita kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, hal itu sering ditinggalkan saat pengambil kebijakan masuk ke hal-hal teknis penyelenggaraan pendidikan. Yang terjadi sekarang, segala keterbatasan dicoba dipecahkan sehingga proses pendidikan semakin terbiasa dalam memanfaatkan teknologi digital. Padahal, digitalisasi tentu sekadar merujuk cara atau teknis yang pelaksanaannya sangat mendesak, tetapi tujuan dan substansi pendidikan ialah yang mendasar.
Persepsi Guru
Harus diakui, guru seperti punya fobia sendiri pada kehadiran program baru, apalagi kalau perubahan itu mendasar dan menyangkut kurikulum. Meskipun demikian, penulis sebagai guru merasa cukup antusias dengan rencana peluncuran kurikulum baru ini. Kurikulum prototipe disebutkan bukanlah kurikulum baru sebagaimana dituduhkan selama ini.
Sebaliknya, kurikulum prototipe ini menurut Kemendikbudristek, hanyalah merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2013 yang sampai saat ini masih tetap berlaku dan dapat digunakan. Kurikulum Prototipe pada 2022, hanya akan ditawarkan sebagai alternatif atau pilihan acuan pembelajaran bagi satuan pendidikan yang berminat atau siap. Jadi, bukanlah suatu keharusan.
Melihat kenyataan itu, diharapkan mengubah persepsi guru bahwa ganti menteri turut berganti pula kebijakan atau kurikulumnya. Meskipun cukup dapat dipahami, sebaiknya pemerintah menjelaskan secara detail mengenai kurikulum prototipe sebab tidak semua guru memahami, juga tidak seluruhnya kepala satuan pendidikan memiliki inisiatif menggelar diskusi demi kejelasan.
Semua itu, terjadi bukan tanpa alasan lantaran selama ini pemerintah setiap membuat kurikulum tanpa melihat langsung ke lapangan. Alhasil, kebijakan pendidikan kita cenderung elitis, perancang kurikulum seringkali hanya melibatkan ilmuwan dari perguruan tinggi dan sangat jarang melibatkan guru. Tidak heran, jika guru seperti dipaksa mempraktikkan teori yang asing dari para akademisi perguruan tinggi.
Akhirnya, setiap implementasi kurikulum baru akan selalu menghadapi tantangan di lapangan atau di sekolah. Untuk itu, Kemendikbudirstek perlu menyiapkan pelatihan intensif dan masif terhadap guru, baik terkait penguasaan konten (thinking skills), pedagogi, dan literasi penilaian (assessment literacy). Selain itu, kesadaran atas teachers professional identity perlu terus ditumbuhkan di kalangan guru dan pendidik, mengingat semakin luasnya otonomi yang mereka miliki dalam pengelolaan pembelajaran.
Jangan sampai, yang terjadi selama ini yakni kecepatan pemerintah melakukan pembaruan kurikulum namun tidak didahului menyiapkan kemampuan para gurunya lebih awal kembali terulang. Akibatnya, jarang sekali kebijakan baru bisa berjalan seiringan dengan guru di lapangan. Semoga hal itu tidak terjadi di tahun ajaran baru 2022, sehingga kita tidak perlu kembali membuat resolusi pendidikan Indonesia di tahun 2023 yang mana tentu bertujuan sama tidak lain dan tidak bukan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lilis Erfianti guru di MTSN Kabupaten Semarang
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini