Menyambut Pendidikan Tanpa Kompetisi

Kolom

Menyambut Pendidikan Tanpa Kompetisi

Hanifatul Hijriati - detikNews
Selasa, 11 Jan 2022 13:10 WIB
PT Timah Tbk kembali memberikan kesempatan bagi anak bangsa yang ada di wilayah operasional perusahaan secara ekonomi kurang mampu agar dapat mengenyam pendidikan terbaik.

Tentunya semua itu diberikan secara gratis dan cuma-cuma untuk jenjang SMA yang dilaksanakan dengan sistem asrama.

Untuk pembelajaran secara akademik tetap dilaksanakan di SMAN 1 Pemali, sementara untuk asramanya dilaksanakan di kawasan Timah Learning Center.
Foto ilustrasi: Rachman Haryanto
Jakarta -
Seorang rekan mengeluhkan pada saya tentang prestasi belajar putrinya yang saat ini berada di Kelas 9 atau setara dengan Kelas Tiga SMP. Menurutnya, semakin dekat waktu kelulusannya dari SMP semakin ia melihat penurunan semangat belajar.

Di luar masalah pandemi yang secara umum telah menurunkan motivasi belajar pada sebagian siswa, ternyata putri dari rekan saya ini memiliki alasan yang mendasar. Menurutnya tak perlu lah belajar dengan keras sekali karena toh ia pasti akan lulus dari SMP tanpa perlu ada ujian atau evaluasi dengan standar tertentu.

Alasan mendasar lainnya adalah jarak SMA yang ia idam-idamkan kelak di mana ia akan melanjutkan pendidikan dari SMP jaraknya sangat dekat dari rumah. Dengan sistem zonasi, ia memiliki kemungkinan sangat besar untuk bisa lolos masuk ke SMA Negeri tersebut. Toh, tidak butuh nilai tinggi-tinggi dan tidak perlu ujian yang memaksanya belajar lebih giat untuk bisa lulus SMP dan diterima di SMA Negeri idaman.

Penurunan daya juang ini juga saya temui pada siswa-siswa Kelas 12. Tentu saja dengan alasan yang hampir sama, yaitu tidak perlu ujian kelulusan karena dengan sendirinya akan lulus dari SMA. Medan perjuangan selanjutnya yang harus mereka siapkan adalah medan untuk berkompetisi masuk ke perguruan tinggi negeri. Pada tahap ini, seleksi masuk jelas diukur dari kompetensi lulusan SMA dengan standar ujian dari perguruan tinggi.

Di sisi lain, seorang rekan yang telah puluhan tahun mengajar di SMA Negeri yang favorit mengeluhkan tentang penurunan daya juang serta motivasi siswa di sekolahnya. Setelah sistem zonasi diterapkan, ia mendapat tantangan untuk mengajar siswa dari kemampuan akademis yang beragam. Tantangan yang juga hampir dihadapi setiap guru adalah menumbuhkan daya juang untuk belajar di saat tak ada lagi standar kelulusan secara nasional.

Pertanyaan kemudian banyak bermunculan di kalangan pendidik hingga masyarakat tentang bagaimana kita membuat standar kompetensi di saat tak ada lagi kompetisi? Pada prototipe kurikulum baru yang akan diluncurkan sekitar dua tahun ke depan, unsur-unsur tertentu dalam pendidikan mulai dihapus. Salah satunya KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Jumlah pelajaran juga mengalami pengurangan.

Dengan berubahnya sistem ujian yang diganti dengan AKM ( Asesmen Kompetensi Minimun) dengan sendirinya berbagai standar untuk mengukur kompetensi siswa secara menyeluruh juga tidak berlaku. AKM sendiri dilaksanakan tidak untuk seluruh siswa, hanya perwakilan itu pun digunakan sebagai alat ukur kemampuan sekolah. Lalu atas dasar apa kita bisa menakar kompetensi saat tak ada lagi kompetisi?

Pergantian Kurikulum
Selama puluhan tahun sistem pendidikan di Indonesia berjalan dengan berkali-kali pergantian kurikulum; paradigma tentang prestasi sekolah yang selalu terlihat dari peringkat serta angka-angka nilai yang tinggi pada hampir semua mapel telah mengakar cukup kuat. Namun, seiring berjalannya waktu keberhasilan seorang individu dalam membuat pencapaian pada dirinya tidak selalu dipengaruhi oleh keunggulan-keunggulannya pada saat mereka menempuh pendidikan formal.

Salah seorang siswa saya yang dikenal sangat biasa-biasa, bahkan nilai tak jarang hanya sebatas KKM, diterima kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di jurusan Antropologi. Tidak butuh waktu lama ia untuk lulus dan menggondol predikat cumlaude. Kini ia pun menempuh pendidikan lanjutan ke S2. Siapa sangka siswa yang bahkan nilai Sosiologi serta Ekonomi-nya saat SMA biasa-biasa saja, namun begitu cemerlang saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi?

Seorang siswa saya yang lain yang begitu hobi sepak bola dengan nilai akademis yang biasa-biasa saja diterima di jurusan Olahraga. Kemudian saat ini ia bisa menjadi atlet BUMN yang tentu saja bayarannya sangat tinggi.

Aspek-aspek kompetensi semacam ini tentu saja di luar dari kendali nilai-nilai akademis berupa angka-angka yang sangat dominan di rapor. Dengan kuasa angka-angka itu kita bisa dengan mudah menggolongkan siswa pintar, menengah hingga tidak pintar. Saat ini kriteria itu mulai dihapus sedikit demi sedikit. Pencapaian siswa tidak lagi diukur dari peringkat, kemampuan akademis cemerlang pada hampir semua mapel. Tetapi pada minat bakat hingga kemampuan yang dimiliki siswa tersebut.

Seorang siswa yang di atas kertas memiliki nilai tinggi memutuskan untuk tidak kuliah. Siswa itu saya kenal dari Kelas X sangat berprestasi. Hampir seluruh nilai mapel ia memperoleh nilai tinggi. Saat saya tanya apa masalahnya, ia menjawab bahwa ia kebingungan dengan minat dan bakat yang ia miliki. Saya sarankan untuk mengambil jurusan teknik, tapi ia bersikukuh bahwa ia belum memiliki minat ke sana. Guru BK bahkan menyarankan ia bisa mendaftar ke teknik Sipil karena nilai Fisika-nya sangat tinggi. Lagi-lagi ia enggan.

Tentu saja memiliki nilai tinggi pada tiap mapel bisa jadi menunjukkan keunggulan yang baik dari siswa. Namun ternyata itu belum mampu menjadi tolok ukur sebuah kompetensi yang mumpuni pada bidang tertentu. Siswa saya yang justru secara akademik biasa saja, dan tertarik menjadi atlet sepakbola, bisa saya katakan ia memiliki kompetensi yang baik untuk menjadi atlet.

Paradigma tentang esensi kompetisi ini tampaknya memang harus segera diubah. Saya masih sering melihat orang tua siswa mempermasalahkan nilai, peringkat hingga keunggulan anaknya tanpa mau membuka mata akan potensi atau pun kompetensi yang khusus dimiliki oleh anaknya. Angka-angka pada rapor masih menduduki posisi penting dalam memberikan kebanggaan.

Harapan Positif
Tentu saja, lahirnya kurikulum baru yang mulai mengarahkan tiap individu menemukan potensi serta kompetensi khusus pada dirinya memberikan harapan positif ke depan bahwa kualitas SDM kita bisa lebih baik. Namun, terkadang gambaran itu bisa jadi terlalu muluk-muluk setelah saya sadar bahwa hampir setiap pergantian kabinet bisa dipastikan ada pergantian kurikulum.

Belum genap enam tahun kurikulum berganti. Dan belum ada satu dekade, di mana kita bisa mengukur seberapa layak kurikulum itu dan seberapa besar memberi pengaruh pada keberlangsungan kualitas SDM kita, kita harus dihadapi pada kurikulum baru. Di mana kita harus kembali mengikuti diklat, pelatihan hingga sosialisasi yang pastinya akan menghabiskan anggaran yang sangat banyak.

Untuk kurikulum terbaru bolehlah saya berharap agar ada landasan hukum untuk tidak mengubah kurikulum setidaknya untuk satu hingga dua dekade. Tapi mungkinkah? Tentu saja berharap tidak ada salahnya to?
Hanifatul Hijriati guru SMA di Sragen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads