Banyak sekali pertanyaan menggelayuti benak saya terkait kasus pemerkosaan ini, seperti misalnya bagaimana bisa pemerkosaan sudah berlangsung lima tahun dan tetangga sekitar boarding school tidak ada yang curiga? Begitu juga dengan keluarga korban yang setiap liburan selalu bertemu para korban yang pulang ke rumah masing-masing? Namun biarlah saya cukupkan pertanyaan-pertanyaan itu untuk menjadi ranah kepolisian dan penyidikan.
Yang menjadi concern lebih dalam bagi saya di sini sebagai pengasuh pesantren adalah apa faktor yang bisa menjadi celah terjadinya kekerasan seksual di pesantren?
Ketika memetakan faktor yang menjadi celah terjadinya kekerasan, memang akan banyak sekali muncul berbagai faktor. Sebut saja ketidaktahuan korban bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya sebenarnya termasuk kejahatan. Korban, terutama santri di pesantren atau boarding school, umumnya adalah anak-anak usia pra remaja dan remaja. Kebanyakan di usia SMP dan SMA setara 12 hingga 17 tahun. Anak-anak ini tidak semuanya dibekali edukasi yang baik tentang seksualitas. Beberapa di antara mereka bahkan tidak paham mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak terkait dengan sentuhan orang lain.
Faktor lain terkait santri yang menjadi korban misalnya lagi adalah faktor takut dan ketidakberanian melakukan perlawanan. Atau berani melawan, namun tidak mampu untuk melakukannya. Korban kekerasan seksual di pesantren biasanya adalah santri, yang notabene merupakan posisi 'terkecil' dalam strata pesantren. Di atasnya kita ketahui ada pimpinan pesantren dan guru pesantren yang memiliki kuasa lebih tinggi dibanding santri.
Berbeda dengan institusi pendidikan lainnya, dalam pesantren memang dikenal penghormatan yang wajib dilakukan terhadap guru dan pimpinan pesantren. Hal ini karena sesuai dengan kaidah agama Islam; penghormatan terhadap ilmu merupakan keutamaan dalam agama. Dan termasuk bagian dari penghormatan terhadap ilmu tersebut adalah penghormatan terhadap guru sebagai pembawa ilmu itu sendiri. Ketaatan terhadap guru sudah menjadi bagian penting dari nilai luhur yang terinternalisasi dalam denyut nadi kehidupan pesantren.
Masalahnya, jika pemahaman mulia ini disalahgunakan oleh oknum yang berniat jahat, maka penyelewengan terhadap kaidah 'hormat terhadap guru' bisa menjadi celah; pelaku yang mungkin memiliki strata lebih tinggi karena menjadi pengajar bisa menindas sang korban. Belum lagi jika ada ancaman terhadap keselamatan korban ataupun jika pelaku adalah orang yang terpandang di mata masyarakat dan bahkan punya kekuasaan karena nama besar dan koneksi kuat dengan para penegak hukum. Akan menjadi kesulitan tersendiri bagi korban untuk melakukan perlawanan dan mencari perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya.
Faktor Tabu
Faktor lain yang juga menjadi celah adalah faktor tabu. Seksualitas bukanlah bab-bab yang umum dipelajari dan didiskusikan di banyak institusi pendidikan di Indonesia, termasuk di pesantren. Bahkan di beberapa pesantren, pembicaraan terbuka mengenai seksualitas merupakan sesuatu yang dianggap tidak pantas dan berlawanan dengan nilai-nilai kesopanan dan aturan agama.
Padahal, sebagaimana kita pahami bersama, pendidikan dan edukasi mengenai seks dan seksualitas penting sekali diberikan kepada semua civitas pesantren. Tidak hanya kepada para santri, namun juga segenap guru, ustaz dan ustazah, serta pimpinan pesantren. Tujuannya jelas, agar semua civitas di pesantren punya frame yang sama tentang ancaman terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Apalagi pencegahan terjadinya kekerasan seksual akan lebih efektif jika dilakukan secara top-down. Karena pimpinan pesantren jauh lebih berkuasa dalam hal kebijakan dibandingkan subordinate-nya.
Selain itu, edukasi semacam ini juga penting dilakukan untuk membantu merumuskan tentang sikap yang harus diambil oleh civitas pesantren jika misalnya di kemudian hari ternyata ada kejadian kekerasan seksual di lingkungannya. Pendampingan dan perlindungan korban adalah salah satu tindakan tegas yang harus dirumuskan. Belum lagi termasuk bantuan hukum yang perlu diberikan kepada korban, dan untuk memastikan pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.
Terakhir, faktor remeh yang sering dientengkan namun juga berpotensi menjadi pintu celah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pesantren: setting tempat dan lokasi. Sebagaimana kita tahu, pesantren atau boarding school memungkinkan santri bertempat tinggal di asrama yang biasanya berdekatan atau bahkan menjadi satu dengan tempat tinggal guru ataupun pimpinan pesantren. Yang sering tidak disadari, setting tempat ini terkadang mengaburkan batasan kedekatan antara kedua unsur ini.
Bayangkan jika misalnya ada seorang guru pria yang bertempat tinggal menempel di satu lokasi dengan asrama putri. Tanpa mengecilkan arti kondisi spiritualitas seseorang, namun manusia adalah manusia. Meskipun seandainya sang guru pria tinggal di rumah tersebut bersama dengan istrinya, namun jika setiap hari bertemu dan berinteraksi secara intensif dengan santri-santri putri ini misalnya, maka godaan biologis untuk melakukan pelecehan dan kekerasan seksual bisa saja muncul.
Meski beberapa kejadian pelecehan dan kekerasan seksual terjadi karena faktor ini, namun faktor setting tempat dan lokasi semacam ini seringkali dianggap bukan sebagai ancaman. Anggapan bahwa seorang guru seyogianya tidak mungkin punya hasrat seksual terhadap santrinya sendiri menjadi pemicu kenapa faktor setting tempat semacam ini sering diremehkan.
Pemetaan dari beberapa celah yang memungkinkan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di pesantren bisa menjadi titik pijak awal dalam melakukan langkah-langkah berikutnya. Strategi baru yang disusun berdasarkan celah-celah yang ada diharapkan bisa dirumuskan dengan lebih efektif. Sehingga di masa depan, kejadian serupa bisa dihindari dan bahkan dicegah sejak jauh-jauh hari.
Ita Fajria Tamim seorang dokter sekaligus pengasuh pesantren di Sampang, Madura
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini