Ekonomi Virus dan Ekonomi Lebah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ekonomi Virus dan Ekonomi Lebah

Senin, 10 Jan 2022 11:07 WIB
Ali Ansh
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi lebah
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Robby_Holmwood
Jakarta -
Every mammal on this planet instinctively develops a natural equilibrium with the surrounding environment but you humans do not. You move to an area and you multiply and multiply until every natural resource is consumed and the only way you can survive is to spread to another area. There is another organism on this planet that follows the same pattern. Do you know what it is? A virus.

Kutipan itu disampaikan oleh Agen Smith, seorang robot, untuk melegitimasi The Matrix 'menidurkan' manusia. Film yang sekuelnya kembali menggemparkan industri film akhir tahun ini, menggambarkan kerakusan manusia telah mengeksploitasi habis alam hingga sinar matahari tidak bisa mencapai bumi. Meski fiksional, klaim manusia sebagai virus tersebut mungkin relevan melihat kontribusi manusia terhadap fenomena krisis alam.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun ini menegaskan bahwa manusia adalah pelaku utama dari krisis iklim. NASA (2021) mencatat tiap detiknya manusia membuang 1.000 ton karbon dioksida ke atmosfer atau 40 miliar ton per tahunnya, dan angka ini terus terakumulasi di atmosfer. Hanya ada 200 miliar ton 'budget carbon' yang tersisa atau lima tahun sebelum pemanasan suhu akan mencapai 1,5 Celcius. Perlu dicatat, pemanasan 1,2 Celcius yang terjadi sekarang sudah memiliki dampak luas dari kekeringan atau kebakaran, pola hujan ekstrem, hingga meningkatnya permukaan laut.

Salah satu penyebab terbesar memburuknya krisis iklim adalah perusahaan ekstraktif skala besar dari negara-negara maju yang menyumbang 92% emisi gas karbon global (Hickel, 2020). Laporan dari The Guardian (2019) juga menunjukkan bahwa 35% kontribusi emisi gas karbon sejak 1965 dilakukan oleh 20 perusahaan saja.

Change Conference of the Parties 26 (COP26) yang November lalu dihadiri para pemimpin dunia untuk membahas penanggulangan krisis iklim sangatlah krusial. Tetapi, hasil dari COP26 dinilai belum memuaskan. Para perwakilan dunia ini tentu mengetahui dampak besar dari kerusakan ekologi, namun minim political will demi kepentingan ekonomi.

Uniknya, ekologi dan ekonomi sebenarnya memiliki satu akar kata yang sama yaitu oiko atau rumah. Patut disayangkan melihat kedua terminologi tersebut sering mewakili kepentingan yang bertentangan. Dalam ekonomi pasar, manusia diposisikan sebagai Homo economicus atau makhluk yang terus berusaha memenuhi hasrat ekonomi. Kepentingan ekonomi mendorong manusia untuk memaksimalkan kepentingan pribadi agar mendapatkan kepuasan optimal. Pandangan ini tidak berbeda dengan klaim 'virus' oleh Agen Smith; kita mengejar pertumbuhan ekonomi hingga kepentingan-kepentingan stakeholder lainnya hanya diperlakukan sebagai eksternalitas.

Tidak heran bahwa setelah pandangan kapitalistis ini diadopsi luas sejak 1900-an, eksploitasi alam terjadi sangat ekstrem. Seperti virus, manusia menormalisasi hal-hal menggerogoti 'inang'-nya. Kita menghancurkan dua per tiga hutan dunia, kita memompa polusi ke sungai dan lautan, kita berkontribusi pada mencairnya es di kutub. Dampaknya, kekeringan meningkat sejak tahun 1900 dan kenaikan suhu global melonjak dua kali lipat lebih cepat sejak 1980. Jika ini dibiarkan dengan dalih efisiensi dan profit, keserakahan moda produksi 'ekonomi virus' ini mengancam kehidupan generasi selanjutnya untuk hidup dengan layak.

Berbagai strategi yang implementatif dan aplikatif telah dirumuskan, namun seperti yang terjadi di COP26, para pembuat keputusan dan pihak-pihak yang berkaitan erat dengan eksploitasi alam menemui titik buntu. Hal ini disebabkan karena kita umumnya memiliki perspektif hidup yang bersandar pada 'ekonomi virus' sehingga kepentingan ekologi selalu dianaktirikan.

Di sini, ekonomi Islam menawarkan paradigma yang holistis berlandaskan aspirasi rahmatan lil alamin, atau rahmat bagi seluruh alam. Dalam membuat keputusan, ekonomi Islam mendorong sebuah kesadaran ekonomi yang universal dan tidak hanya mempertimbangkan kapital dan pekerja, namun juga lingkungan hidup.

Alih-alih seperti virus, moralitas ekonomi Islam yang dibumikan dapat menggerakkan pelaku ekonomi untuk berkontribusi seperti lebah. Hewan ini diistimewakan dalam Islam sebagai nama surat dan juga makhluk yang menerima wahyu. Nabi Muhammad menegaskan bahwa "sesungguhnya perumpamaan orang-orang beriman itu benar-benar bagaikan lebah." Setidaknya ada tiga poin dari keseluruhan hadis tersebut yang dapat mewakili paradigma ekonomi Islam terhadap lingkungan hidup.

Pertama, lebah makan dengan tayyib (baik). Lebah mengambil makanannya dari bunga-bunga dengan memindahkan serbuk bunga antar satu bunga ke bunga lain. Lebah tidak mendatangi bunga kecuali bermanfaat bagi bunga-bunga itu lebih banyak. Ada hubungan resiprokal antar dua pihak. Sesuai dengan tingkah laku lebah ini, timbal balik pada ekonomi Islam dilandasi tanggung jawab sosial kepada berbagai stakeholder, bukan hanya program amal atau CSR semata.

Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa seorang muslim semestinya tidak menjadikan halal sebagai standar utama, namun tayyib. Sehingga substansi dari ajaran Islam juga dapat terartikulasikan. Kegagalan dalam mengupayakan tayyib menjadi akar dari pandangan miring; ekonomi Islam hanya digunakan pemilik modal untuk menghalalkan suatu produk dan institusi. Isu ini diangkat pada film dokumenter Sexy Killer; terdapat perusahaan 'halal' meski memberi dampak negatif terhadap ekosistem dan masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai rahmatan lil alamin dan perlu menjadi evaluasi bagi penggiat ekonomi Islam.

Kedua, Nabi Muhammad melanjutkan bahwa lebah hinggap tanpa merusak. Jika lebah menghisap nektar bunga dengan meletakkan seluruh beban tubuhnya, maka tempat yang didudukinya dapat patah. Oleh karena itu, lebah menggunakan seluruh tenaganya untuk mengepakkan sayap-sayapnya agar badannya tidak membebani bunga.

Seperti lebah yang memiliki hasrat untuk makan, keinginan mendapatkan profit adalah hal yang niscaya bagi seorang manusia. Meski demikian, semestinya ini tidak menjustifikasi keserakahan manusia lalu abai terhadap ekulibrium dengan alam dan sosial. Inovasi dan kreatifitas adalah 'sayap lebah' kita yang semestinya digunakan untuk memitigasi eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, bukan sebaliknya.

Ketiga, lebah menghasilkan madu yang mujarab. Ini menekankan bahwa untuk dapat menghasilkan manfaat, diperlukan proses panjang yang mengharmonikan berbagai kepentingan, termasuk alam. Dengan demikian, ekonomi Islam dapat mencapai tujuannya sebagai bagian dari rahmatan lil alamin.

Substansi dari ajaran Islam, seperti nilai-nilai terhadap lingkungan, perlu diartikulasikan agar ekonomi Islam tidak hanya dilihat sebagai formalitas. Eksploitasi 'inang' kita bukan sesuatu pilihan dan ekonomi Islam diharapkan dapat menjadi 'madu' terhadap dunia. Jangan sampai institusi syariah gagal menjadi ekonomi lebah, lalu mengadopsi 'ekonomi virus'.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads