Istilah food resilience (kemandirian pangan) selama ini sepertinya kalah populer ketimbang food estate yang telah dijadikan salah satu instrumen penting dalam strategi ketahanan pangan di masa pandemi dan Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Namun, sejatinya kemandirian pangan merupakan arah kebijakan pangan yang lebih tinggi dari sebatas ketahanan pangan.
Isu pangan akan selalu menjadi isu strategis yang terus meronai dinamika perkembangan politik dan ekonomi suatu bangsa. Masalah ini tidaklah berlebihan, pasalnya, pangan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup. Stabilitas pangan berkelindan sangat erat dengan isu dan stabilitas politik serta ekonomi.
Impor
Saat ini orientasi kebijakan pangan Indonesia yang masih lebih fokus kepada ketahanan pangan (food security), sehingga impor pangan bukanlah hal tabu untuk dilakukan. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Jadi tidak ada persoalan dari mana pangan diperoleh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Impor pangan memang tidak selalu bisa dihindari. Masalah disparitas antara harga dalam negeri dan impor untuk komoditas utama seperti beras, menjadi salah satu daya tarik tersendiri mengapa impor masih terjadi. Bahkan impor pangan kadang bisa menjadi semacam "candu" terutama bagi para pemburu rente ekonomi. Sementara itu, kemandirian pangan, kondisi terpenuhinya pangan dari hasil produksi dalam negeri sepenuhnya, hanya akan terwujud jika kita bisa memulihkan martabat dan preferensi pangan lokal pengganti beras.
Selama ini kita sangat tergantung pada beras. Padahal pangan sumber karbohidrat non-beras di negara kita sangatlah melimpah dan beragam. Diversitas pangan merupakan modal penting untuk kemandirian pangan. Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversitas kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Hal itu menjadi alasan utama mengapa keanekaragaman pangan menjadi aset jangka panjang yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa.
Salah satu bukti potensi besar diversitas pangan tergambar dari riset yang telah dilakukan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementan. Hasil riset ini menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, serta 450 jenis buah.
Apa lacur, pangan lokal sumber karbohidrat masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras. Sementara kelompok umbi-umbian, masih tersisih dan terkesan inferior serta lekat dengan kemiskinan. Martabat pangan lokal non-beras memang masih memprihatinkan. Artinya upaya untuk mewujudkan kemandirian pangan sepertinya masih jauh dari harapan.
Turunnya konsumsi pangan berbasis beras ternyata tidak diikuti secara linier dengan kenaikan konsumsi pangan lokal non-beras. Justru pangan berbasis gandum atau terigu yang terus mengalami kenaikan secara signifikan. Padahal gandum sebagai bahan baku terigu, 100% berasal dari impor. Hal ini juga menjadi tanda kegagalan upaya pemerintah dalam merealisasikan peta jalan diversifikasi pangan non-beras.
Merujuk pada data BPS (2020) Indonesia telah mengimpor biji gandum sebanyak 10,3 juta ton senilai lebih dari Rp 30 triliun. Biji gandum merupakan bahan baku tepung terigu dan 100 persen dari kebutuhan nasional dipenuhi dari impor. Kemudian, impor kedelai 2,5 juta ton senilai lebih dari Rp 10 triliun dan setara dengan 83 persen kebutuhan nasional. Belum lagi impor gula 5,5 juta ton senilai lebih Rp 25 triliun, setara dengan 92 persen kebutuhan nasional. Meskipun relatif sedikit, beras ternyata masih ada impor 0,356 juta ton senilai lebih dari Rp 2 triliun.
Keragaman
Gastronomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan seni, praktik, dan kajian tentang pemilihan, preparasi, produksi, dan penyajian makan makanan yang baik. Gastronomi tradisional Indonesia memiliki kekayaan, kearifan lokal, serta keragaman yang luar biasa.
Meskipun bukan kata yang umum, namun gastronomi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Merujuk pada Gastronomi Indonesia, Garjito et al. (2019), disebutkan bahwa dalam Serat Centhini, sebelum abad ke-19, masyarakat Jawa sudah mengenal kegiatan yang disebut ngrowot, yakni kegiatan mengonsumsi umbi-umbian (pala kependhem) dan sayuran baik yang segar maupun dikukus atau direbus terlebih dahulu.
Umbi-umbian mengandung senyawa-senyawa yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh tubuh manusia, yang disebut senyawa fungsional, misalnya senyawa antioksidan atau penangkal radikal bebas seperti beta-karoten dan antosianin yang mampu menghambat penyakit degeneratif. Salah satu contohnya adalah Garut, umbi yang mempunyai kemampuan dapat mengatasi masalah pencernaan serta mengandung fosfor, kalsium, zat besi, vitamin C, vitamin A, riboflavin dan niasin yang dibutuhkan agar tubuh lebih sehat dan bugar.
Sebagai negara mega-biodiversitas, Indonesia memiliki ragam kuliner dan gastronomi yang besar. Jika dikelola dengan manajemen yang baik, keduanya bisa berdampak luas bahkan mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia, terutama para petani lokal. Keragaman pangan lokal merupakan sumber daya yang mumpuni dan mampu menjadi solusi yang paripurna bagi kemandirian pangan, apalagi di saat krisis dan keadaan darurat.
Rendahnya preferensi atau kesukaan terhadap gastronomi lokal menjadi salah satu ancaman terbesar dalam usaha diversifikasi pangan lokal pengganti beras. Tentu masih ada tantangan lainnya, misalnya masih terbatasnya ketersediaan bahan baku pangan lokal serta harga yang kurang kompetitif.
Jadi, selama martabat gastronomi lokal Indonesia belum bisa dipulihkan preferensinya, maka keragaman pangan lokal hanya akan sekedar menjadi potensi yang tidak bermakna. Kegagalan kemandirian pangan akan kembali terulang serta kesejahteraan rakyat pun masih akan menjadi mimpi belaka.
Sunardi Siswodiharjo food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan