Mereka setia bertani bukan karena bertani menguntungkan. Bisa jadi karena tidak ada pilihan lain atau karena cinta. Namun petani tetap mesti mendapatkan penghasilan yang wajar. Untuk bisa mendapatkan penghasilan yang wajar tadi, petani mesti memiliki lahan minimal satu hektar. Sesuai rekomendasi pakar ekonomi pertanian. Itu pun hanya cukup untuk mendapatkan penghasilan setara garis kemiskinan. Mengapa petani kecil sulit sejahtera?
Pertama, petani sangat bergantung pada input produksi yang meliputi benih, pupuk, obat hama/penyakit dan sebagainya. Semua kebutuhan tersebut mesti dibeli di pasar. Harganya fluktuatif. Tiba-tiba mahal. Bahkan ia mengalami kelangkaan seperti sering terjadi pada pupuk. Petani sama sekali tidak memiliki kuasa kendali atas input produksi tadi.
Di sisi lain, kebutuhan pupuk dan obat-obatan kimia per satuan luas lahan semakin meningkat sebagai dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia dalam waktu lama. Ia telah menyebabkan tanah miskin unsur hara, lingkungan tercemar dan kemunculan ragam penyakit dan hama baru atau meningkatkan resistensi mereka terhadap obat-obatan. Pada sisi yang sama, mereka telah kehilangan plasma nutfah alami akibat praktik pertanian monokultur. Sehingga kemampuan mereka menyediakan benih sendiri semakin berat.
Kedua, praktik pertanian semacam itu telah menghasilkan produk pertanian yang mengandung residu bahan kimia yang berbahaya. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan. Dewasa ini ragam penyakit degeneratif banyak ditemukan di pedesaan. Penulis yakin hal ini ada kaitannya dengan tercemarnya lingkungan dan produk-produk pertanian.
Ketiga, para petani tidak memiliki modal yang cukup. Pendapatan dari hasil panen hanya cukup untuk membayar pinjaman biaya produksi ke tengkulak. Mereka memilih tengkulak karena akses mereka ke lembaga keuangan formal masih terkendala persyaratan jaminan. Pada saat gagal panen atau harga lagi jatuh mereka sering harus nombok. Ironis sekali. Persoalan lama yang tak kunjung ada solusinya. Ragam skim pembiayaan lembaga perbankan sejatinya belum menyelesaikan persoalan permodalan petani kecil.
Keempat, petani sudah menderita penyakit serba instan. Mereka tidak mau repot-repot menyediakan benih, pupuk, obat-obatan sarana produksi lainnya. Mereka korban penerapan revolusi hijau secara masif demi meningkatkan produksi dan mencapai swasembada beras. Target tercapai, tetapi petani terkena dampaknya. Mereka kehilangan kemampuan memilih bibit, menyediakan benih, membuat pupuk dan obat-obatan alami yang sejatinya mereka warisi secara tradisional (local knowledge) dari leluhurnya. Itulah mengapa petani berlahan kecil menanggung beban biaya produksi yang sangat mahal.
Kelima, para ilmuwan pun sepertinya tidak memiliki sudut pandang lain atas persoalan ini. Mereka seakan tidak punya pilihan pendekatan bagaimana cara bertani pada lahan kecil yang menguntungkan dan menyejahterakan. Analisis usaha tani hanya berkutat soal subsidi pupuk, tenaga kerja, harga, rantai pasok dan sebagainya. Kajian mengenai hal tersebut sudah melimpah. Ribuan skripsi, tesis, dan disertasi serta publikasi penelitian lainnya telah dihasilkan.
Kesimpulannya tetap. Jika petani ingin sejahtera mereka harus memiliki lahan minimal satu hektar. Padahal, hal tersebut merupakan kemustahilan. Ilmuwan seakan ikut menghapus mimpi petani kecil untuk bisa sejahtera.
Keenam, petani kecil tidak memiliki kapasitas mengendalikan harga jual hasil panen. Harga jual ditentukan oleh para pengepul dengan rantai pasar yang panjang pula. Sangat ironis. Petani yang lelah dan menanggung segenap risiko produksi. Namun pada saat panen harga ditentukan oleh pedagang sekaligus sebagai penikmat margin keuntungan terbesar.
Ketujuh, petani kecil masih menggunakan tenaga manusia. Umpamanya dalam menyiram dan menyemprot hama. Padahal penggunaan tenaga manusia dalam pekerjaan tersebut sangat tidak efisien dan efektif.
Transformasi Mendasar
Itulah tujuh alasan yang jadi penyebab petani kecil sulit sejahtera. Semuanya dilegitimasi teori dan hasil penelitian para ilmuwan. Maka, jika petani kecil ingin sejahtera mereka mesti keluar dari keyakinan tadi lalu melakukan transformasi secara mendasar. Mereka mesti berani keluar dari kutukan teori dan metodologi yang telanjur salah tempat. Itulah yang dilakukan oleh para petani muda Desa Gobleg, Buleleng, Singaraja, Bali dengan spirit Petani Muda Keren (PMK). Bagaimana mereka melakukannya?
Pertama, para petani desa Gobleg telah menemukan hero yang mengubah mindset para petani tentang pertanian dan petani serta melakukan perubahan radikal. Hero tersebut adalah petani dan hadir bersama para petani. Para hero tersebut berhasil pula menciptakan hero-hero lain di tiap desa melalui mekanisme pelatihan, praktik dan fasilitasi. Maka, perubahan pun terjadi secara bergelombang dan menjalar.
Kedua, para petani desa Gobleg sukses memutus ketergantungan pada input eksternal melalui pengembangan dan penerapan teknologi pupuk dan obat-obatan organik. Hal ini berdampak terhadap pemulihan kesuburan tanah, terkendalinya hama/penyakit dan peningkatan efisiensi produksi. Para petani pun berhasil menemukan kombinasi ragam tanaman yang tepat hingga berdampak terhadap keberlanjutan produksi dan ekologis.
Pada saat yang sama, mereka juga menerapkan teknologi cerdas sesuai kebutuhan seperti penggunaan irrigation drip, sprinkle dan greenhouse sederhana. Teknologi cerdas ini mampu mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang.
Ketiga, para petani desa Gobleg telah berhasil memangkas rantai pasar lewat pengembangan kelembagaan koperasi. Dengan literasi teknologi digital mumpuni mereka memfungsikan koperasi sebagai online hub. Teknologi ini memudahkan mempertemukan petani dan pembeli langsung. Mereka dapat menyepakati harga secara transparan sehingga para petani mendapatkan harga jual layak. Pembeli pun mendapatkan kepastian supply dan jaminan kualitas barang.
Selain itu, koperasi juga menyediakan sarana produksi yang diperlukan petani seperti pupuk dan obata-obatan organik.
Keempat, petani desa Gobleg sukses menghasilkan produk pertanian organik, bebas bahan pencemar dan ragam residu berbahaya. Produknya sangat berkualitas dan memiliki pangsa pasar yang baik. Petani pun mendapatkan harga dan margin keuntungan memadai.
Itulah empat transformasi mendasar yang dilakukan petani Desa Gobleg. Transformasi yang telah meruntuhkan ragam stigma buruk bahwa petani kecil tidak akan sejahtera. Petani Des Gobleg telah membuktikan petani dengan lahan 1000 meter persegi (10 are) bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 55.000.000 per lima bulan atau sekitar 11 juta per bulan. Informasi ini penulis dapatkan dalam perbincangan langsung dengan mereka pada 18 Desember 2021.
Mengapa mereka mendapatkan pendapatan setinggi itu? Karena, mereka tidak membeli pupuk dan obat-obatan kimia yang sangat mahal.
Mereka juga dapat memangkas rantai pasar dan menentukan harga terbaik. Selain itu, mereka juga mendapatkan bonus berupa produk organik yang memiliki harga yang baik. Di luar itu, dan yang paling penting, adalah petani berdaulat atas input produksi dan proses bertani, sebagai syarat terwujudnya kedaulatan pangan. Satu hal yang belum mereka mampu adalah menyiapkan benih sendiri. Mereka masih memerlukan proses dan waktu untuk sampai pada kemampuan ini.
Selain itu, petani Gobleg juga berhasil mengembangkan pertanian rendah energi dan emisi sehingga berkontribusi terhadap pendinginan suhu bumi.
Peran Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi (PT), khususnya PT pertanian mesti segera melakukan riset terkait dengan fenomena transformasi ala Desa Gobleg ini. Saya yakin banyak kasus serupa di tempat lain. Jika kita fokus menjadikan hal ini sebagai objek riset dengan ragam kasus, maka kita akan memiliki informasi yang kaya.
Bahkan, tidak mustahil akan dihasilkan teori baru yang lebih sesuai kondisi empiris Indonesia. Tanpa rumus-rumus matematika dan ekonometrika yang mempersulit memahami dan menjauhkan pertanian dari fakta empiris. Sebaliknya, teori sederhana membuat petani kecil memiliki harapan. Inilah transformasi pertanian yang dijelaskan secara gamblang oleh Paul Wojtkowski (2008) dalam bukunya berjudul Agroecological Economics: The Sustainability and Biodiversity. Buku ini menyajikan sekelumit kisah sukses transformasi yang menumbuhkan harapan petani kecil di berbagai belahan dunia.
Kini sudah saatnya bercermin dari petani Gobleg dalam membangun pertanian yang menyejahterakan petani tanpa bergantung pada input kimiawi yang merusak ekologi. Pertanian yang menyehatkan, menyejahterakan, dan mendinginkan bumi yang semakin panas.
(mmu/mmu)