Peningkatan penyalahgunaan narkotika tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya faktor psikologis penyalahguna narkotika. Stres yang diakibatkan oleh krisis ekonomi maupun kecemasan atas ancaman kesehatan virus Covid-19 menjadi penyebab peningkatan tersebut (Abramson, 2021).
Selain itu, fokus pemerintah yang lebih banyak dicurahkan dalam menanggulangi pandemi sangat mungkin mempengaruhi pengawasan terhadap peredaran gelap narkotika. Pada saat yang sama, sindikat peredaran gelap narkotika beradaptasi sangat cepat dalam situasi saat ini dengan memanfaatkan transaksi secara online via dark web dan bahkan pengiriman menggunakan drone (WDR, 2021).
Lima Titik Tekan
Fenomena tersebut sesungguhnya menjadi momentum penting dalam mengkaji ulang titik tekan kebijakan dalam penanganan penyalahgunaan narkotika. Paling tidak ada lima catatan penulis terkait hal ini. Pertama, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022, proyek prioritas nasional penanganan penyalahgunaan narkotika berfokus pada (i) pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; serta (ii) peningkatan pencegahan dan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika.
Fokus tersebut harus menjadi titik tolak dan titik tuju dalam menyusun kebijakan nasional penanganan narkotika. Sebagai titik tolak, dua fokus penanganan narkotika tersebut dapat diterjemahkan melalui proses perencanaan nasional dan pemantauan yang terukur. Sebagai titik tuju, fokus tersebut dimaksudkan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional di bidang narkotika, salah satunya melalui indikator angka prevalensi penyalahgunaan narkotika.
Kedua, dengan mempertimbangkan arah kebijakan di atas, aspek terpenting dalam dalam penanganan penyalahgunaan narkotika adalah pencegahan. Dalam perspektif ecological level of analysis, khususnya pada level yang terkecil (microsystem), subjek yang perlu mendapat intervensi melalui program pencegahan penyalahgunaan narkotika adalah keluarga, sekolah, komunitas masyarakat, dan layanan kesehatan.
Intervensi yang ditujukan bagi keluarga dapat berupa peningkatan keterampilan mengasuh anak (parenting skill). Hal ini menjadi penting karena pola asuh anak yang tepat dapat mendukung tumbuh kembang anak untuk terhindar dari penyalahgunaan narkotika (Lathiffah, 2014).
Intervensi di sekolah dilaksanakan melalui program peningkatan kemampuan personal dan sosial dari pelajar. Program tersebut berisikan penanaman karakter unggul, berkepedulian sosial, dan kampanye anti-narkotika. Komunitas masyarakat juga perlu dijamin partisipasinya dengan mendukung inisiatif atau gerakan publik anti-narkotika. Sedangkan pada layanan kesehatan, intervensi yang diberikan adalah peningkatan aksesibilitas layanan rehabilitas.
Ketiga, berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, korban atau pecandu penyalahgunaan narkotika wajib mendapat layanan rehabilitasi medis maupun sosial. Sehingga, layanan rehabilitasi harus diperkuat, baik secara kualitas dan kuantitas, melalui kolaborasi aktif layanan rehabilitasi berbasis masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat perlu diajak dan dilibatkan sebagai agen pemulihan bagi korban atau pecandu penyalahgunaan narkotika sebagai bagian dari proses reintegrasi.
Keempat, kebijakan dalam mengontrol peredaran gelap narkotika (supply control) utamanya dapat dirumuskan melalui penguatan penegakan hukum. Penguatan penegakan hukum ini dapat dipahami sebagai penguatan kontrol di daerah perbatasan yurisdiksi nasional, sinkronisasi pemahaman hukum, pengawasan peredaran narkotika di Lapas, serta pemanfaatan teknologi informasi di bidang penindakan. Selain itu, implementasi program pemberdayaan alternatif untuk mengganti lahan rawan tanaman narkotika menjadi tanaman komoditas pangan harus terus dilakukan.
Kelima, regulasi dalam mengatur preskripsi obat-obatan menjadi aspek yang tak kalah penting. Hal ini untuk memastikan bahwa zat-zat psikoaktif (psychoactive substances) benar-benar dikonsumsi untuk tujuan medis. Penyempurnaan regulasi juga menjadi sebuah kebutuhan, terutama pada diskursus dekriminalisasi tindak pidana narkotika. Sebab, sejumlah dampak buruk seperti overcrowded Lapas ditengarai akibat tingginya pemidanaan kasus narkotika yang berpendekatan punitif dan retributif.
Lima aspek penting dalam penyusunan kebijakan penanganan penyalahgunaan narkotika tersebut dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan. Mulai dari mengurangi peredaran gelap narkotika, meningkatkan kesadaran akan bahaya penyalahgunaan narkotika, dan memenuhi ketersediaan layanan rehabiliasi.
Pada setiap krisis sesungguhnya terbuka peluang untuk tumbuh lebih pesat. Pandemi Covid-19 memungkinkan untuk itu. Dengan demikian, kebijakan di bidang narkotika perlu mendapat prioritas dengan memahami bahwa narkotika merupakan ancaman nyata bagi generasi penerus bangsa.
Rezafaraby Koordinator Kamtibmas Direktorat Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas
(mmu/mmu)