"Presidential Threshold" Jangan Nol Persen
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

"Presidential Threshold" Jangan Nol Persen

Rabu, 05 Jan 2022 12:00 WIB
Ransis Raenputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi surat suara pemilu 2019
Foto ilustrasi: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Bebas dan adil adalah dua prinsip utama dalam pemilihan umum. Bebas berarti keterlibatan dalam pemilihan umum itu dilakukan dengan tanpa ada ada tekanan, ancaman, dan paksaan. Adil berarti adanya kesetaraan bagi semua, baik itu kandidat peserta pemilu maupun masyarakat pemilih.

Aspirasi yang ramai di ruang publik belakangan ini, agar presidential threshold (ambang batas syarat pencalonan presiden) menjadi nol persen, pada hakikatnya adalah persoalan tuntutan terhadap dimensi keadilan dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Presidential threshold itu sendiri diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berisi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."

Banyak kalangan menganggap bahwa aturan presidential threshold itu telah menciptakan sistem pemilu yang tidak adil karena partai-partai politik dengan minoritas kursi di DPR sulit mengajukan kadernya sebagai calon presiden. Melalui cara berkoalisi di antara sesama partai minoritas pun tetap sulit. Pengalaman pemilu capres dan cawapres 2019 lalu yang hanya terdiri dari dua pasangan adalah bukti bahwa presidential threshold itu sulit dijangkau oleh partai-partai dengan minoritas kursi di DPR. Namun, hemat saya, kita juga perlu awas terhadap aspirasi bahwa presidential threshold menjadi nol persen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belajar dari Transisi Demokrasi

Transisi demokrasi di Indonesia dalam banyak hal justru memperkuat struktur elite tradisional daripada menyingkirkan mereka (Sparringa, 2004). Fenomena ini bertentangan dengan pengalaman transisi demokrasi di negara-negara Barat yang ditandai dengan melemahnya dan menghilangnya peran elite tradisional. Elite tradisional ini di Indonesia berhasil memanfaatkan otoritas yang berbasis pada agama dan adat untuk melakukan pelibatan politik secara efektif di wilayah publik. Para tokoh agama atau kerabat mereka yang menduduki jabatan eksekutif atau legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah contoh untuk itu.

Kemudian, fenomena lain yang cukup masif terjadi di negeri adalah para selebriti dengan lenggang menjadi anggota legislatif berkat kepopuleran mereka. Menyoal para selebriti seperti ini bukan berarti hendak membatasi hak politik mereka tetapi lebih untuk mempertegas keyakinan klasik bahwa demokrasi hanya akan bertumbuh dengan baik apabila diisi oleh elite-elite politik dengan kapabilitas mumpuni. Keterlibatan para selebriti tersebut membuat publik menjadi ragu tentang komitmen partai politik dalam melakukan fungsi rekrutmen atau penyaringan terhadap setiap kadernya yang akan berkontestasi dalam pemilihan umum.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut menjadi naif apabila kita dengan gampangnya menghendaki presidential threshold menjadi nol persen. Menjadikan presidential threshold nol persen berarti setiap orang dapat menjadi calon presiden asalkan ada partai politik yang mengajukannya. Akibatnya, kita justru sedang memperluas kemungkinan munculnya pemimpin-pemimpin yang memenangi pemilu karena modal wibawa tradisional, kepopuleran, atau pencitraan dan bukan karena modal kapabilitas, visioner, atau kredibilitas.

Juga bukankah kita menyadari bahwa daya kritis masyarakat Indonesia masih rendah? Kondisi yang membuat masyarakat kita dalam memilih calon pemimpin masih dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik partikular seperti kesamaan dalam gaya hidup, agama, daerah, ras dan etnis daripada berdasarkan karakteristik universal seperti kapasitas kememimpinan, visi terhadap pembangunan, dan semangat calon pemimpin terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, pluralisme dan multikulturalisme.

Dikurangi

Pilihan yang masuk akal bagi kita untuk menciptakan pemilihan umum yang adil adalah mengurangi angka presidential threshold. Melalui itu, partai-partai yang menguasai kursi sedikit di DPR dapat mengajukan kadernya dalam kontestasi pemilihan umum presiden. Data KPU tentang persentase perolehan kursi pemilu legislatif 2019 adalah sebagai berikut: PDI-P (19,33 %), Gerindra (12,57 %), Golkar (12,31 %), PKB (9,69 %), Nasdem (9,05 %), PKS (8,21 %), Demokrat (7,77 %), PAN (6,84 %), dan PPP (4,52 %). Berdasarkan data tersebut, apabila misalnya presidential threshold dikurangi menjadi 10 persen, maka partai-partai dengan persentase kursi di bawah 10 persen hanya cukup berkoalisi dengan satu partai saja sudah dapat mencalonkan kadernya dalam kontestasi pilpres.

Sementara itu, kita juga perlu belajar dari perkembangan awal demokrasi. Walaupun Plato (427-347 SM) memperkenalkan istilah demokrasi, dia sendiri memiliki pandangan sinis terhadap gagasan demokrasi itu. Menurutnya, "pemerintahan oleh rakyat hanya akan melahirkan kekacauan."

Meskipun pandangan plato itu secara tersirat berciri elitis, maksud yang ingin disampaikan adalah soal pentingnya kapabilitas dari seseorang ketika menjalankan tugas sebagai pemimpin negara. Salah satu cara untuk menjamin hadirnya pemimpin berkapabilitas adalah dengan membatasi jalur politik menuju kekuasaan. Dalam konteks itu, presidential threshold menjadi semacam sarana rekrutmen atau penyaring bagi hadirnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kapabilitas. Maka, dalam upaya menciptakan pemilu capres yang adil, angka presidential threshold perlu dikurangi tetapi jangan menjadi nol persen.

Ransis Raenputra mahasiswa sosiologi FISIP Universitas Airlangga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads