Di saat semua orang riuh berbincang dengan kode-kode dari semesta serial Layangan Putus, saya sedang sibuk-sibuknya dan belum mampu mengalokasikan waktu untuk menonton sepuluh episodenya. Meski demikian, puji Tuhan, saya sempat mengintip film Don't Look Up yang juga menarik minat saya. Dan ketika saya sampai di dua pertiga bagiannya, saya langsung merasa itu bukan film tentang Amerika. Itu tentang kita. Kita di masa yang begitu banal, instan, dan jauh dari pemahaman atas realitas.
Alkisah, ada dua astronom muda yang menemukan satu kejutan. Satu komet berukuran raksasa sedang meluncur ke arah Bumi. Kemungkinan seratus persen komet itu akan menubruk Bumi dalam enam bulan. Akibatnya bukan cuma kawah besar yang akan memunahkan sebagian penghuni Bumi semacam dinosaurus atau para buzzer politik, tapi menumpas semua-mua makhluk di muka Bumi.
Mau tak mau, mereka segera melapor kepada pihak otoritas, bahkan langsung menghadap Presiden. Celakanya, Presiden abai kepada temuan itu. Dia sedang sibuk dengan kampanyenya agar naik jadi presiden lagi untuk periode selanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putus asa, kedua ilmuwan itu mendatangi stasiun televisi. Di sana, mereka mendapat porsi waktu sedikit sekali. Bahkan alih-alih memahami apa yang sedang terjadi, para penonton pun lebih suka berkomentar atas sisi-sisi personal tidak penting pada diri kedua ilmuwan itu.
Tapi kemudian mendadak Presiden tertarik menyambut temuan kedua astronom. Bahkan ia segera mempersiapkan peluncuran pasukan pesawat luar angkasa untuk menghancurkan si komet agar batal menabrak bumi. Kenapa tiba-tiba Presiden berubah pikiran? Sebab skandal seksnya baru saja terbongkar, dan dia ingin membuat sebuah gebrakan yang bisa mengalihkan perhatian jutaan orang. Dan dia berhasil dengan misi pengalihan isu itu.
Namun, sesaat setelah pasukan luar angkasa berangkat, secara tiba-tiba lagi misi dibatalkan. Gara-garanya, ada satu konglomerat penyumbang dana terbesar bagi kampanye Si Presiden yang bilang bahwa dalam komet itu ada material tambang yang luar biasa nilainya, dan sayang sekali kalau komet itu dihancurkan.
Maka, dia menyarankan agar komet dipecah kecil-kecil saja dengan alat bikinan perusahaannya. Kalau cuma dipukul remahan komet, Bumi memang tetap akan rusak, tapi tidak akan hancur-hancur amat, dan material triliunan dolar itu bisa diambil untuk kepentingan industri. Begitu teori si konglomerat.
Sampai di sini saya belum sempat menyimak lanjutannya. Tapi baru sepenggal saja, sudah tampak sindiran keras atas jerohan di balik apa-apa yang selama ini menggelisahkan kita.
Ini tentang kebenaran, dan nasib kebenaran itu di hadapan kebenaran yang lain atau di hadapan nilai-nilai yang lain. Sains itu kebenaran mutlak, itu setidaknya yang kita pahami sebagai orang yang makan sekolahan. Sayangnya, nasib kebenaran sains itu tak akan selalu sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenapa? Sebab eksekutor yang mampu menindaklanjuti kebenaran sains itu berada pada kungkungan kebenaran lainnya. Bukan kebenaran agama atau hal-hal di luar rasionalitas saintifik, melainkan kebenaran pragmatis dalam politik dan industri.
Benar, ini tentang uang dan kekuasaan. Pendek kata, selama kebenaran sains tidak bisa berjalan seiring dengan kepentingan politisi dan kepentingan pengerukan laba bagi industri, ia tak akan membawa perubahan apa-apa. Menyakitkan, bukan? Memang. Tapi sepertinya memang begini kenyataannya.
Ini bukan cerita baru. Saya pernah membaca satu teori yang menjelaskan kenapa kejayaan ilmu pengetahuan dari dinasti-dinasti Islam di masa lalu tidak berlanjut, bahkan kemudian nyungsep di bawah bayang-bayang kejayaan Eropa dengan teknologinya. Penyebabnya adalah ilmu pengetahuan di zaman kejayaan Islam berjalan semata sebagai ilmu pengetahuan belaka.
Ketika ada seorang Lang Ling Lung di zaman itu membikin suatu alat, misalnya, itu semata karena dia ingin bereksperimen dengan alat. Kekuasaan politik memang menghidupi ilmuwan, namun sebatas menghidupi, dan tidak secara praktis memanfaatkan kemampuan para ilmuwan untuk kepentingan kekuasaan mereka.
Di Eropa, lain modelnya. Orang merangkai alat untuk kebutuhan praktis banyak orang. Itu yang pertama. Selanjutnya, ilmu pengetahuan juga dihidupi oleh kekuatan politik dan industri. Maka kita tahu, proyek-proyek pelayaran yang menjalankan ekspedisi ke seberang lautan masa itu melibatkan izin dan modal dari raja dan ratu, untuk kepentingan keagungan mereka. Bahkan investasi pun bisa datang dari para pengusaha.
Di dalam kapal itu bukan cuma ada pelaut dan tentara penakluk, namun juga ada ahli geologi, ahli geografi, ahli zoologi dan botani, dan ahli-ahli yang lain. Kita tentu ingat bagaimana HMS Beagle, misalnya. Kapal Angkatan Laut Kerajaan Inggris itu memuat pemuda pecundang yang belakangan menjadi legenda, yaitu Charles Darwin.
Tidak berhenti di situ. Hasil dari ekspedisi-ekspedisi itu bukan cuma operasi penaklukan, namun juga penelitian atas potensi alam di koloni-koloni baru, dan potensi alam itu kemudian digunakan untuk kepentingan industri dunia kolonial.
Klop sudah. Ilmu pengetahuan Eropa akhirnya berjaya karena berkawin-mawin dengan uang dan takhta.
Itu memang bukan cerita baru, namun juga tidak berhenti menjadi cerita lama. Apa yang terjadi dengan nasib kebenaran sains di cerita komet raksasa dalam Don't Look Up itu pun persis sama. Kebenaran sains tak akan bergerak ke mana-mana, kecuali didukung oleh kekuatan politik dan industri. Atau lebih vulgar lagi: kebenaran sains hanya akan ditindaklanjuti jika dan hanya jika kebetulan berjalan seiring dengan kepentingan politik dan kepentingan industri.
Ini juga yang rasa-rasanya kita hadapi di dunia kita hari ini. Kita terus meratap sedih karena temuan sains tidak dihiraukan oleh pemegang kuasa. Kita prihatin melihat ilmuwan-ilmuwan brilian menjalani hidup yang terlunta-lunta. Tapi coba tanyakan saja: seberapa jauh temuan dan kreativitas ilmiah mereka bisa melayani kepentingan para politisi dan para saudagar di negeri ini? Jika tidak, saatnya kita berhenti berharap.
Ini memang realitas yang menyedihkan. Tapi percayalah, sebagian besar kesedihan kita pun tak akan banyak berguna, ketika air mata kita tidak berjalan seiring dengan kepentingan-kepentingan harta dan kuasa.
Jadi, sudahi tangis kita. Mari tertawa saja.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)